Albertus Patty: Indonesia Kesampingkan Praktik Pancasila
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Dr. Albertus Patty tokoh Kristen dari GKI Maulana Yusuf Bandung menilai praktik nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 seringkali diabaikan bangsa Indonesia.
Diabaikannya nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 menurut Albertus Patty karena bangsa Indonesia hanya berwacana saja. Seharusnya mempraktikkan dalam kehidupan, dalam sistem hukum, dan kebijakan-kebijakan politik.
Seperti korupsi adalah tidak benar dan masyarakat Indonesia tahu bahwa itu bertentangan dengan ideologi Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dalam ideologi tersebut tidak dipraktikkan, hanya diwacanakan.
“Praktik UUD 1945 dan Pancasila ini yang justru sering terabaikan padahal keberadaannya sudah menjadi ideologi dan kultur. Ini semua karna kita hanya berwacana saja,” kata Albertus saat menjadi penyelaras dalam seminar bertajuk “Kedaulatan Rakyat untuk Kemandirian Bangsa” yang diselenggarakan oleh Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih (Piska) di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika 136D Cawang, Jakarta Timur, Jumat (10/10).
Dijelaskannya bahwa sebagai ideologi, Pancasila merupakan spirit dari kultur bangsa. Namun, keberadaanya selalu dihadapkan dalam persimpangan.
“Apakah kita akan biarkan kultur kita dikuasai oleh ideologi kekuasaan yang mendominasi dan memecah belah kita? Atau kultur yang memihak rakyat pada kesatuan kita sebagai bangsa dan kemanusiaan?,” kata Albertus. Hal ini mematik kegelisahan tentang keberadaan ideologi sebagai jati diri bangsa.
Semua ini menurut dia kembali pada implementasinya. Di dalam kelompok-kelompok sosial yang terbentuk dalam gereja Kristen, saat ini nyaris tidak ada percakapan-percakapan mengenai penyelewengan nilai-nilai Pancasila, seperti korupsi dan kurangnya keberpihakan terhadap kaum-kaum yang dieksploitasi.
“Kita seringkali dikuasai dengan persoalan-persoalan yang personal, individual, dan segala macamnya,” ujar Albertus.
Simbol-Simbol Perbedaan
Pikiran yang terjebak dalam perbedaan juga merupakan penyakit yang dialami bangsa Indonesia. Albertus melihat seringkali perbedaan menimbulkan perpecahan sehingga nilai Pancasila sulit diimplementasikan. Sejak dini, manusia sudah dihadapkan dengan perbedaan, contohnya di sekolah. Menurut Albertus, sekolah adalah tempat paling segregatif di Indonesia sehingga anak-anak sejak dini sudah dihadapkan dengan simbol-simbol perbedaan.
“Ketika belum sekolah, mereka belum mengenal ada perbedaan. Begitu masuk sekolah mereka langsung tahu bahwa mereka berbeda. Jadi sekolah merupakan tempat yang paling segregatif,” kata Albertus menekankan pentingnya pendidikan multikuluturalisme.
Dagelan Politik
Di sisi lain, Albertus menilai berbagai dagelan politik muncul ditandai dengan tepukan-tepukan tangan tokoh-tokoh politik di gedung DPR yang menggambarkan ekspresi kegembiraan atas kemenangan kekuasaan yang diraih di ruang sidang. Melalui tayangan di ruang panas tersebut, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan pertarungan perebutan kekuasaan, pertarungan ideologi, dan pertarungan visi terhadap bangsa ini.
Tepuk tangan ini di sisi lain justru menciptakan tanda bahaya bagi bangsa Indonesia. Albertus mengatakan bahwa kedaulatan bangsa sebagai rakyat yang dijamin pada Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD sudah terancam padahal UUD menurutnya adalah spirit demokrasi.
“Tanpa kedaulatan rakyat demokrasi tidak ada,” kata Albertus.
Oleh karena itu, demokrasi diprediksi sedang ada dalam kondisi yang cukup berbahaya. Sebagian besar aktor politik yang dipilih oleh rakyat, kini lebih mementingkan kedaulatan partai dan koalisi. Berbagai institusi politik yang seharusnya digunakan untuk melayani kedaulatan rakyat di segala bidang, kini telah menjadi arena kekuasaan. Institusi politik berpotensi dimanipulasi oleh kekuasaan oligarkis untuk dijadikan alat penghancur kedaulatan rakyat.
Hal yang seharusnya dikhawatirkan oleh masyarakat Indonesia sebetulnya adalah perubahan kebudayaan politik. Budaya politik yang egaliter, partisipatif, mengutamakan transparansi, dan bisa mengkritik siapapun tiba-tiba sedang diubah dengan budaya politik yang feodalistik, otoriter, dan minus partisipasi rakyat.
“Salah satu indikasinya adalah lahirnya UU Pilkada,” ujar Albertus.
Kebijakan ini menurut Albertus justru telah merampok hak rakyat untuk memilih. Apabila kebudayaan politik ini berubah, etos kerja para politisi berubah seperti penyakit politik lama, yaitu menjadi bos yang menikmati kekuasaan tanpa memberikan kontribusi bagi kepentingan rakyat. Dengan ini, kesenjangan elite politik dengan rakyat akan semakin besar.
“Kalau sudah begitu, hukum tidak akan lagi jadi panglima, tapi kekuatan oligarkis. Konstitusi bangsa tidak lagi menjadi nilai yang mengikat etos kerja dan kehidupan bersama sebagai bangsa, tetapi menjadi sekadar simbol tanpa makna,” kata dia menambahkan bahwa potensi perpecahan elite politik dan rakyat yang diwakili pun akan menjadi semakin tampak.
Relevansi Gereja di Tengah Bangsa dan Dunia
Gereja menurut Albertus seharusnya ada untuk melaksanakan tranformasi sosial. Transformasi sosial yang dilakukan gereja ialah pemihakan terhadap kedaulatan rakyat.
“Ada keberpihakan pada kedaulatan rakyat. Gereja harus melihat hal tersebut dari pembaruan murni. Gereja jangan hanya fokus agar keberadaannya tetap ada, tetapi supaya bangsa ini tetap hidup.” ucapnya.
Celakanya, gereja kini hanya berfokus pada nilai eksistensi agar keberadaannya tetap bertahan di tengah-tengah keberagaman padahal gereja harus mengupayakan keutuhan keberadaan manusia dan keberadabannya. Untuk itu, gereja harus mampu melihat pekerjaan Allah dalam dunia dan bergabung dalam pekerjaan itu. Itulah sebabnya, ada tiga tugas gereja yang perlu mengalami revitalisasi dan kontekstualisasi sesuai kebutuhan zaman saat ini.
Sementara itu, dalam tugas pemerintahan, gereja harus mewartakan kepada umat manusia atau kepada bangsa-bangsa bahwa mereka masih memiliki pengharapan. Gereja juga harus menolong siapapun yang menjadi korban diksriminasi, eksploitasi, segregasi, bukan hanya berbentuk charity serta menjunjung martabat umat manusia di manapun ia berada.
“Kita boleh punya spiritualitas yang dalam, kita boleh punya segala macamnya, tetapi jika kita tidak mempunyai intelektualitas yang tinggi gereja tidak akan jadi garam. Gereja harus mempunyai intelektualitas tinggi sehingga punya kontribusi. Jika intelektualitas gereja kurang, keberadaannya akan terpinggirkan,” Albertus memaparkan.
Gereja dalam perkembangannya harus mampu merobohkan sekat-sekat etnik, agama, ideologi, gender, dan sebagainya yang telah menghambat persatuan umat manusia.
“Mulailah mempraktikkan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Dengan mempraktikkan itu gereja akan menjadi terang dan garam bagi dunia. jadi bukan hanya sekadar berhenti pada wacana saja,” kata Albertus.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...