Albertus Patty: Persoalan Singkil Bukan Hanya Soal PBM 2006
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua PGI, Albertus Patty, mengatakan persoalan di Singkil bukan hanya persoalan PBM (Peraturan Bersama Menteri) Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9/8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadat.
Menurut dia, persoalan utamanya adalah pada pelaksanaan PBM yang harus segera dievaluasi, apakah lebih banyak menciptakan mudaratnya atau justru menciptakan kerukunan beragama seperti yang diharapkan.
Hal itu dikatakan Albertus Patty dalam acara “Diskusi Aceh Singkil” yang diselenggarakan Tim Pokja Oikotree Indonesia bekerjasama dengan satuharapan.com, di Aula Sinar Kasih, Jakarta, hari Kamis (29/10).
“Saya pikir memang agak sedikit salah kalau kita membidik persoalan di Singkil itu sebagai persoalan PBM. Saya rasa tidak cuma itu rasanya. Ada dua hal yang mesti dibicarakan, pertama, mengevaluasi pelaksanaan PBM yang selama ini terjadi. Baik di tingkat provinsi maupun di tingkat lokal, bahkan sampai di daerah. Apakah dia (PBM) lebih banyak menciptakan mudaratnya atau malah menciptakan kerukunan seperti yang diharapkan?” kata dia.
“Yang kedua, kalau memang harus dievaluasi point-point PBM mana yang mesti dievaluasi? Ini harus dibicarakan dengan matang sekali,” kata dia menambahkan.
Lebih lanjut, Ketua PGI itu mengatakan, kita harus menyikapi persoalan-persoalan konflik-konflik antaragama ini dalam konteks menghadapi Pilkada tahun ini. Menurut dia, kemungkinkan konflik-konflik antaragama, antaretnik, antarmarga itu akan justru akan semakin mengencang dengan adanya Pilkada ini.
“Oleh karena itu kita harus hati-hati,” katanya.
Untuk mengatasi konflik yang terjadi, Albertus Patty menyebutkan dua hal pendekatan yang mesti dilakukan bersama, yakni pendekatan struktural politik dan pendekatan kultural.
“Ada dua hal pendekatan, politik struktural. Politik apa sih sebetulnya yang mau mesti kita bereskan dalam konteks politik ini? Salah satunya apakah PBM-nya mesti diberesin, dievaluasi pelaksanaannya? Apakah cocok dalam konteks Aceh Singkil atau memang setiap daerah harus punya “PBM” sendiri-sendiri sesuai dengan kearifan lokalnya sendiri-sendiri dan sebagainya. Jadi harus ada pendekatan struktural politik terutama tentu mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Itu yang harus kita pegang,” kata dia.
“Yang kedua, memang saya masih percaya pada pendekatan kultural. Relasi antaragama. Jadi tampaknya perlu suatu konstruksi budaya. Konstruksi budaya yang memang harus dilakukan oleh pemerintah termasuk pemerintah lokal, supaya kita jauh lebih siap menghadapi perbedaan dan keanekaragaman di dalam konteks agama, di dalam konteks internal agama bahkan. Konstruksi sosial budaya itu memang sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, yang harus kita lakukan bersama,” kata dia menegaskan.
Jangan Dihilangkan
Sebelumnya, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan sepanjang tahun 2005 hingga 2006, para tokoh agama telah melakukan belasan kali diskusi untuk mencari titik temu bagi penyelesaian masalah dan sengketa rumah ibadah.
Hasilnya, kata Menag, mereka menyepakati sebuah rumusan yang lantas dijadikan Pemerintah sebagai Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan dasar dan acuan pengurusan izin pendirian rumah ibadah.
Jadi, lanjut Menag, PBM tahun 2006 itu bukanlah rumusan dari Pemerintah, melainkan rumusan yang datang sebagai hasil dari serial diskusi tokoh agama yang masing-masing diwakili dua orang.
“Itulah yang menjadi acuan kita bersama sampai saat ini dalam kita mendirikan rumah ibadah, apa pun agamanya,” kata Menag dalam kesempatan bersilaturahim dengan para tokoh dari majelis-majelis agama di Kantor Bupati Aceh Singkil, hari Senin (26/10) sehubungan dengan adanya tuntutan dari sejumlah pihak agar PBM tersebut dicabut.
Menag memandang bahwa selama belum ada pengganti yang lebih baik, PBM tersebut tidak bisa dicabut. Sebab, kalau dicabut, maka tidak ada acuan yang bisa dijadikan sebagai dasar.
“Kementerian Agama saat ini sedang menyiapkan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama, salah satunya mengatur terkait rumah ibadah ini. Tapi ini masih rancangan dan belum selesai. Selama belum ada penggantinya yang baru yang lebih baik, maka yang ada jangan dihilangkan dulu,” kata Menag.
Editor : Bayu Probo
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...