Album Karya Rahib Penyanyi Puncaki Tangga Lagu Billboard
SATUHARAPAN.COM – Kota kuno Norcia di Italia Tengah dikenal dengan sosis babi hutan dan jamur truffle hitam. Namun, sekarang dikenal untuk sesuatu yang lain: Rahib Penyanyi.
“Kami menyanyikan pujian Allah sembilan kali sehari. Jadi, jika Anda menjumlahkan semua, itu mungkin lima jam setiap hari, hujan atau cerah, 365 hari setahun,” kata Cassianus Folsom, biarawan kelahiran Amerika Serikat yang memimpin Biara St Benediktus dari Norcia.
Orang tidak perlu lagi melakukan perjalanan ke tempat kelahiran Santo Benediktus untuk mendengar kemerduan para biarawan itu. Sebab, nyanyian dan himne mereka di cakram kompak (CD) menduduki puncak tangga lagu Billboard musim panas ini pada jenis musik klasik dan tradisional.
“Ada rasa lapar dan haus yang besar dari orang-orang—bahkan, juga di kalangan bukan Kristen—pada spiritualitas,” kata Folsom, 63. “Jika CD dapat menanggapi kebutuhan itu, kita akan sangat senang.”
Di Amerika Serikat, musik monastik tersebut mengalami kebangkitan. Kelompok suster Benediktin Maria Ratu Para Rasul dari Gower, Missouri, menduduki puncak tangga lagu Billboard tiga kali dalam dua tahun terakhir dengan rekaman mereka. Juga, kelompok suster Maria Dominika dari Ann Arbor, Michigan merilis CD. Beberapa merilis CD, seperti Biara Gunung St Scholastica dan Biara St Benediktus, di Atchison, Kansas, untuk peringatan ke-150 mereka.
Nada lembut dari nyanyian Gregorian menenangkan. Ini bukan sekadar kemerduan suara. Ini adalah doa.
“Anda harus percaya pada apa yang Anda nyanyikan,” kata Folsom, yang belajar suara di Indiana University ketika ia merasakan panggilan untuk hidup di sebuah biara.
CD para biarawan, Benedicta, adalah musik berdasarkan Alkitab, terutama Mazmur dan kehidupan Perawan Maria, ditambah ayat-ayat dari buku berumur 1.500 tahun untuk hidup membiara, Peraturan St Benediktus.
“Beberapa di antaranya adalah doa yang sangat akrab dengan kami,” kata Basil Nixen, 33, seorang imam kelahiran Arizona dan pemimpin biduan biara. “Saya hanya berharap bahwa keindahan, ketertiban dan kedamaian musik akan memimpin semua yang mendengarkan untuk mencari sumber perdamaian itu.”
Christopher Alder, produser dari Inggris, pemenang Grammy, melakukan perjalanan ke Norcia untuk mengawasi sesi rekaman.
“Lagu yang kami rekam sangat berarti bagi mereka,” kata Alder. “Anda dapat mendengar ketulusan nyanyian mereka. Lagu itu hipnotis, meditatif, dan punya sesuatu yang kekal.”
Meskipun Norcia adalah kota sangat tua di bawah Pegunungan Umbria, tidak ada biarawan yang tinggal di sana selama hampir 200 tahun terakhir ini. Sampai mereka pindah kembali 15 tahun yang lalu.
Pada awal 1800-an, para biarawan diusir di bawah hukum Napoleon dalam gelombang anti-klerikalisme. Sekitar 15 tahun yang lalu, hampir semua orang di kota itu—sekitar 5.000 orang—menandatangani petisi meminta pemimpin Benediktin untuk membawa mereka kembali.
Dalam biara itu ada 17 rahib, 12 adalah warga Amerika Serikat.
“Warga kota, mereka mencari para biarawan jika mereka memiliki masalah, jika mereka ingin berbicara dengan seseorang tentang kehidupan keluarga mereka,” Folsom menjelaskan. “Memiliki biarawan kembali setelah hampir 200 tahun membantu untuk menyempurnakan identitas kota.”
Para biarawan juga harus mandiri, sehingga ketika mereka tidak berdoa atau bernyanyi, mereka membuat bir—yang disebut “Birra Nursia,” nama latin untuk kota.
Mereka belajar rahasia pembuatan bir dari biarawan Trappist Belgia, yang terkenal dengan bir mereka. Sebuah garasi di bawah biara disulap sehingga berfungsi sebagai ruang minuman dan ruang bawah tanah sebagai ruang pembotolan. Lima biarawan ditugaskan sebagai anggota “tim pembuatan bir,” tapi semua biarawan bekerja dengan shift dalam proses pembotolan.
Birra Nursia disajikan pada konklaf para Kardinal tahun 2013, seusai Paus Benediktus XVI mengundurkan diri. Konklaf ini memilih Paus Fransiskus. Dan, tentu saja para biarawan Norcia sesekali minum bir dingin karya mereka.
Bagi biara ini, bir lebih menarik perhatian daripada musik, Folsom mengakui.
“Bahkan, bagi orang yang tidak ke gereja. Semua orang suka minum bir,” katanya. “Jadi, mereka datang ke biara untuk bir dan segera mereka mulai berbicara tentang hal-hal lain, hal-hal lain yang lebih penting.”
Yang penting untuk Folsom. Biarawan itu baru-baru ini didiagnosis kankernya kambuh, yaitu multiple myeloma. Pada 2006, pertama kali ia terserang kanker itu, sampai-sampai ia merasa tidak akan bertahan. Sekarang agak reda, tapi ia telah diberi tahu penyakit itu bisa kembali dan mungkin berakibat fatal waktu berikutnya.
“Siapa saja yang didiagnosis dengan kanker, itu akan mengubah hidup Anda,” katanya. “Saya pikir itu memberi saya kesabaran yang lebih besar, toleransi yang lebih besar.”
Diagnosis ini juga telah membawa dia lebih dekat dengan rakyat Norcia.
“Siapa pun yang saat ini didiagnosis akan datang ke saya, karena ada semacam ikatan,” kata Folsom. “Jadi selain menerima kondisi bahwa sewaktu-waktu ia akan dijemput kematian, kanker ini membuat saya lebih penuh kasih kepada orang-orang yang menderita hal serupa.” (huffingtonpost.com)
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...