Alih Fungsi Hutan Membawa Banjir di Aceh
BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM – Banjir dan tanah longsor, yang belakangan melanda beberapa bagian Aceh, menyebabkan permukiman tergenang, sejumlah rumah warga rusak, jalan terputus, tanggul jebol, kegiatan sekolah terganggu, dan petani gagal panen.
Warga Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Jaya termasuk yang ikut merasakan dampaknya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur, menyebut alih fungsi hutan dan daerah resapan sebagai penyebab utama banjir yang melanda bagian-bagian provinsi di ujung paling barat Sumatera itu.
Perambahan hutan lindung, pencurian kayu, penanaman kelapa sawit di daerah resapan, dan kegiatan penambangan membuat sebagian wilayah "Bumi Serambi Mekah" menjadi langganan banjir.
"Penyebab utama banjir adalah deforestasi," katanya di Banda Aceh, Senin (19/11).
"Pengalihan fungsi hutan dan daerah resapan di Provinsi Aceh tergolong parah, dan setiap tahun 23.000 hektare lebih hutan lindung Aceh hilang, karena aktivitas illegal logging dan pertambangan serta pembukaan lahan pertanian," ia menambahkan.
Hutan Susut
Luas areal hutan Provinsi Aceh sepanjang 2017, menyusut 17.333 hektare menurut lembaga swadaya masyarakat Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Di 23 kabupaten/kota Aceh, penyusutan hutan terbesar terjadi di Aceh Utara (2.348 hektare), Aceh Tengah (1.928 hektare) dan Aceh Selatan (1.850 hektare).
"Banjir yang terjadi di Aceh Utara awal tahun dan Aceh Selatan akhir tahun lalu, patut diduga akibat tingginya laju penyusutan hutan," kata Sekretaris Yayasan HAkA Badrul Irfan.
HAkA bersama Forum Konservasi Leuser (FKL), juga merilis data kerusakan hutan Aceh sejak Januari hingga Juni 2018, yang menunjukkan peningkatan luas hutan yang rusak menjadi 34.212 hektare dari 30.922 hektare pada akhir 2017.
Dalam upaya memulihkan hutan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), bersama aparat terkait menebangi pohon-pohon kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan lindung.
Menurut data FKL, sejak September 2014 hingga November 2018, aparat telah membabat tanaman kelapa sawit ilegal di lahan seluas 2.000 hektare dalam kawasan hutan lindung, suaka marga satwa rawa Singkil dan Taman Nasional Gunung Leuser.
Belakangan, aparat KPH bersama petugas dari instansi terkait menebangi pohon kelapa sawit di areal seluas 14,6 hektare, yang masuk kawasan hutan lindung di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Subulussalam, Provinsi Aceh.
"Kami melakukan penebangan sawit di kawasan hutan lindung seluas 14,6 hektare tahap pertama," kata Kepala KPH VI Subulussalam, Irwandi.
Menurut dia, warga yang telah terlanjur menanam kelapa sawit di kawasan hutan lindung tersebut tidak keberatan tim menebangi tanaman mereka, setelah mendapat penjelasan bahwa ke depan pemerintah akan menjadikannya lahan perhutanan sosial.
"Masyarakat juga ikut menebang bersama kita di lokasi, tidak ada yang merasa keberatan setelah kita menjelaskan bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Ke depan akan diupayakan sebagai kawasan perhutanan sosial bagi warga sekitar," katanya. (antaramews.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...