Anak-anak Suriah di Pengungsian Menghadapi Krisis Serius
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menunjukkan bahwa anak-anak pengungsi Suriah di Lebanon dan Yordania menderita tekanan psikologis yang luas.
Banyak dari mereka yang hidup sendiri atau terpisah dari orangtua mereka, dan sebagian besar tidak menerima pendidikan, serta terlibat dalam pekerja ilegal.
Sebuah survei yang mendalam untuk pertama kali dilakukan oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) tentang masa depan Suriah dan anak-anak pengungsi dalam krisis.
Sejak pecah perang saudara pada Maret 2011, gelombang pengungsi dari Suriah terus membanjiri negara-negara tetangga. Dan survei itu menemukan bahwa banyak anak-anak pengungsi Suriah yang tumbuh di dalam keluarga yang retak.
Bahkan ditemukan anak-anak sering menjai pencari nafkah utama bagi rumah tangga. Lebih dari 70.000 keluarga pengungsi Suriah hidup tanpa ayah, dan lebih dari 3.700 anak-anak pengungsi yang tidak ditemani oleh kedua orangtua atau keluarga terpisah.
Perlu Tindakan Cepat
"Jika kita tidak bertindak cepat, generasi orang tak berdosa yang menjadi korban perang akan mengalami nasib mengerikan," Komisaris Tinggi untuk Pengungsi, Antonio Guterres, dalam sebuah keterangan persnya.
Ada lebih dari 1,1 juta anak-anak pengungsi Suriah. Sebagian besar tinggal di negara-negara tetangga. UNHCR mencatat bahwa konflik yang sedang berlangsung meninggalkan bekas luka fisik dan emosional yang dalam.
Di Libanon, enam bulan pertama tahun 2013, sebanyak 741 anak pengungsi Suriah dibawa ke rumah sakit untuk perawatan karena cedera. Di Yordania, lebih dari 1.000 anak di kamp pengungsi Za'atri dirawat karena cedera yang berhubungan dengan perang selama tahun lalu.
Ingin Berjuang
Selama diskusi kelompok fokus dengan anak-anak pengungsi, beberapa menyatakan keinginan untuk kembali ke Suriah untuk melawan. Para peneliti juga mendengar laporan dari anak laki-laki yang dilatih untuk berjuang dalam persiapan untuk kembali ke Suriah.
Banyak keluarga pengungsi mengirim anak-anak mereka untuk bekerja dan menjamin kelangsungan hidup mereka. Di kam pengungsi di Yordania dan Lebanon, para peneliti menemukan anak-anak berumur tujuh tahun bekerja berjam-jam untuk mendapatkan sedikit imbalan, kadang-kadang dalam kondisi yang berbahaya atau eksploitatif.
Sebagian besar dari 680 toko-toko kecil di kam Za'atri Yordania, anak-anak pengungsi dipekerjakan. Penilaian di 11 dari 12 provinsi di Yordania ditemukan ada pengungsi yang dipekerjakan di satu dari dua rumah tangga, dan sebagian besar anak-anak.
"Dunia harus bertindak untuk menyelamatkan anak-anak yang mengalami trauma, terisolasi dan menderitaan akibat bencana perang di Suriah," kata aktris Hollywood dan Utusan Khusus UNHCR, Angelina Jolie.
Menuju Kehancuran
Studi itu juga mengungkapkan kesaksian anak-anak. "Hidup kami hancur. Kami tidak dididik, dan tanpa pendidikan tidak ada masa depan. Kami sedang menuju pada kehancuran," kata Nadia, seorang pengungsi yang baru tiba di Yordania.
Lebih dari separuh anak-anak pengungsi Suriah di Yordania tidak bersekolah. Di Lebanon, diperkirakan 200.000 anak usia tidak sekolah pada akhir tahun ini.
Selain itu, bayi-bayi lahir di pengasingan tanpa akte kelahiran, sebuah dokumen penting dalam pertempuran melawan masalah tanpa kewarganegaraan.
Sebuah survei baru-baru oleh UNHCR pada pencatatan kelahiran di Lebanon mengungkapkan bahwa 77 persen dari 781 bayi pengungsi sampel tidak memiliki akte kelahiran resmi. Antara Januari dan pertengahan Oktober 2013, hanya 68 sertifikat yang dikeluarkan untuk bayi lahir di kamp Za'atri.
Guterres dan Jolie menyerukan dukungan untuk tetangga Suriah agar menjaga perbatasan mereka tetap terbuka, dan meningkatkan layanan masyarakat setempat. (un.org)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...