Anak Kristen Aceh Singkil Dipaksa Belajar Islam di Sekolah
SATUHARAPAN.COM – Anak-anak Kristen di Aceh Singkil dipaksa belajar agama Islam di sekolah. Sudah diterapkan sejak tahun 1970-an.
Dengan bibir bergetar dan mata membasah Dita berkisah tentang kekhawatirannya pada masa depan anak-anak Kristen di Aceh Singkil. Ibu tiga anak ini sangat peduli pada perkembangan pendidikan dan spiritualitas anak-anak Kristen yang sejak awal Orde Baru sampai saat ini terus diperlakukan tidak adil oleh pemerintah.
“Dari SD sampai SMA semua peserta didik yang beragama Kristen diwajibkan ikut pelajaran agama Islam,” tutur Dita (35) di sela-sela pelatihan Jurnalisme Advokasi untuk Warga yang digelar di Kuta Kerangan Aceh Singkil (23/3) oleh Open Doors Indonesia dan Yakoma PGI bekerja sama dengan Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Tidak berhenti sampai di situ, Dita melanjutkan, semua peserta didik yang beragama Kristen juga mendapat perlakuan berbeda dengan siswa Muslim di setiap pembagian rapot. Kendatipun banyak siswa-siswi Kristen belajar keras dan nilai-nilai harian pelajaran agama Islam yang jika dirata-rata bisa mencapai di atas tujuh, tetapi dalam rapot oleh pihak sekolah tidak pernah diberikan nilai lebih dari angka 6.
“Bagaimana bisa anak-anak Kristen dapat ranking kalau sekolah-sekolah di Aceh Singkil menerapkan aturan seperti ini?” protes Dita yang juga pernah mempertanyakan bentuk-bentuk ketidakadilan ini pada wali kelas dan pihak sekolah di mana ketiga anaknya belajar. Ketika protes itu disampaikan, pihak sekolah makin keras bereaksi bahwa semua peserta didik yang beragama Kristen harus mematuhi aturan yang dibuat di Aceh Singkil jika ingin tetap bersekolah di sini.
Diskriminasi Menguat
Tekanan yang harus ditanggung peserta didik yang beragama Kristen makin berat setelah meletus tragedi penyerangan dan pembakaran terhadap gereja Aceh Singkil (13/10/2015). Bermunculan perlakuan-perlakuan yang makin menyisihkan mereka dari lingkungan sekolah. Siswa-siswi yang beragama Islam bahkan menuntut agar dibuat pemisahan kelas untuk murid-murid Muslim dari murid yang Kristen. Bahkan, di SMA Negeri 1 Suro, Aceh Singkil, sempat pecah tawuran antara siswa Islam dan Kristen (21/11/2015) yang kemudian kasusnya diselesaikan di Koramil.
Hal-hal semacam itulah yang menyembulkan tuntutan dari ketiga anaknya agar Dita memindahkan sekolah mereka di luar Aceh Singkil. Namun begitu, ia tidak meluluskan permintaan anak-anaknya karena mereka adalah orang-orang Aceh Singkil yang lahir dan tumbuh besar di wilayah yang menjadi bagian dari Nanggroe Aceh Darussalam.
“Kenyataan yang sangat menyakitkan ini mengganggu sekali pertumbuhan anak-anak kami dalam meningkatkan sisi rohani dan pendidikan mereka,” keluhnya dengan napas tersengal-sengal menahan perasaannya sebagai seorang ibu sekaligus penyelenggara sekolah Minggu yang mana diskriminasi dan tekanan-tekanan yang menimpanya dan umat Kristen lainnya akhir-akhir ini makin berat.
Salah seorang pelajar di sebuah SMA di wilayah Aceh Singkil yang tidak mau disebutkan namanya membenarkan cerita-cerita Dita bahwa setelah tragedi penyerangan gereja Aceh Singkil Oktober tahun lalu, berbagai bentuk pemaksaan terutama dalam mengikuti pelajaran agama Islam terus meningkat.
“Selain KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal-red) pelajaran agama Islam nilainya harus 7,5, belakangan tugas hafalan ayat-ayat yang berbahasa Arab dengan terjemahannya makin bertambah,” kata siswi yang tahun ini duduk di kelas 3 SMA.
Tidak ada pilihan baginya kecuali harus mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah.
Hal yang sama juga disampaikan rekannya Ernita Berugajah (21). Ernita mengisahkan, ketika ia duduk kelas 3 SMA di mana harus mempersiapkan ujian nasional, Ernita pernah menanyakan kepada guru agamanya mengapa siswa dan siswi Kristen diharuskan mengikuti pelajaran agama Islam, bukan diberikan pelajaran Kristen yang tidak ada hafalan bahasa Arabnya? Ia pun mendapat jawaban serupa dari gurunya bahwa pelajar Kristen di Aceh Singkil harus tunduk pada aturan yang berlaku.
Ternyata, praktik pemaksaan terhadap peserta didik Kristen untuk mengikuti pelajaran agama Islam telah berlangsung sejak Dita sekolah. Fakta tersebut diamini pengurus Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) Lesdin Tumangger.
“Keharusan ikut bidang studi agama Islam bagi siswa Kristen sudah saya ikuti sejak saya sekolah SD sekitar tahun 1976. Sampai sekarang aturan itu masih berjalan,” ungkap Lesdin yang tengah masygul karena jemaat gereja-gereja Aceh Singkil mengalami ketertindasan dan hingga kini pemerintah pusat yang sudah didatangi mereka belum menunjukkan komitmennya untuk memberikan jaminan dan pemulihan hak-hak beribadah yang telah dirampas negara.
Padahal, beberapa perwakilan gereja Aceh Singkil sudah menemui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya.
Paskah tahun ini pun harus digumuli jemaat-jemaat gereja dengan kesulitan menjalankan ibadah karena berbagai bentuk tekanan dan persekusi yang dilakukan Bupati Aceh Singkil Safriadi. Selain gereja HKI yang dibakar, 10 gereja dihancurkan pemerintah setelah tragedi Aceh Singkil Oktober 2015. Bulan ini, Maret 2016, adalah batas waktu gereja-gereja lainnya untuk mengurus perizinan pendirian rumah ibadah dengan penetapan persyaratan-persyaratan yang hampir mustahil dipenuhi.
Lesdin menjelaskan banyak dari jemaat harus beribadah Paskah di tenda-tenda, karena gerejanya diratakan pemerintah, yang beberapa dari tenda-tenda itu pun sudah mulai diancam untuk dirobohkan.
Tidak Dibenarkan
Dihubungi secara terpisah, penggerak Rumah Baca Hasan-Savvas yang didirikan di Gampong Jambo Timu Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Zainah Rahmiati mengaku kaget dengan pemaksaan pelajaran agama Islam kepada siswa non-Muslim terjadi di Aceh. Sebab hal itu tidak pernah berlaku di kotanya.
“Di Lhokseumawe siswa-siswi non-Muslim boleh memilih untuk tetap di kelas atau keluar ketika jam pelajaran agama Islam. Untuk ujian agama, mereka ikut di gerejanya masing-masing,” tutur peraih gelar master dari Flinders University Australia Selatan.
Menurutnya, Islam tidak membenarkan tindakan pemaksaan terhadap penganut agama lainnya agar mengikuti akidah maupun praktik-praktik dalam ajaran Islam. Baginya, Islam mengedepankan konsep rahmatan lil’alamin. Karena itu, ia memandang seharusnya sekolah adalah wadah untuk menciptakan dan menumbuhkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan keragaman antarumat beragama.
“Konsep Islam yang adalah rahmat bagi alam semesta ternodai dengan pemaksaan seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah Aceh Singkil,” kata Zainah.
Prinsip “tidak ada paksaan dalam beragama (Islam)” ditegaskan intelektual muda Muslim Teuku Muhammad Jafar Sulaiman yang juga sangat menyesalkan terjadinya berbagai bentuk pemaksaan yang dipraktikkan oleh sekolah-sekolah di Aceh agar siswa-siswi non-Muslim mengikuti pelajaran agama Islam maupun pewajiban memakai jilbab.
Pemerintah Pusat, menurut dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini, harus mengambil tindakan tegas.
“Anis Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus mengevaluasi seluruh peraturan diskriminatif di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan Kementeriannya untuk kemudian menghapusnya,” ujar Jafar menutup perbincangan lewat telepon. (Sejuk.org)
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...