Anak Religius Kurang Mampu Bedakan Fantasi dengan Kenyataan
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Berdasarkan penelitian terbaru dari Boston University, anak-anak dengan latar belakang agama (religius) kurang mampu membedakan antara fantasi dan kenyataan dibandingkan dengan anak-anak sekuler.
Penelitian dilakukan terhadap 66 anak-anak usia TK, yang dibagi dua kelompok sekuler dan religius. Mereka disajikan tiga jenis cerita yang bersifat religius, realistis, dan fantasi. Para peneliti kemudian bertanya pada anak-anak apakah mereka pikir karakter utama dalam cerita itu nyata atau fiksi.
Anak-anak dengan latar belakang pendidikan agama cenderung melihat tokoh protagonis dalam kisah-kisah religius sebagai nyata, sedangkan anak-anak dari keluarga yang tidak religius melihat tokoh tersebut sebagai fiksi.
Berikut adalah tiga cerita yang dibacakan peneliti kepada anak-anak:
Religius: “Ini adalah kisah Yusuf. Yusuf dikirim ke seorang raja yang jahat di negeri yang jauh. Namun, Allah mengutus Yusuf melalui mimpinya berupa peringatan tentang badai yang mengerikan, dan Yusuf menggunakan mimpi-mimpi untuk memberi tahu raja bagaimana melindungi kerajaannya dari badai. Raja begitu kagum dengan Yusuf dan mereka menjadi teman.”
Fantastis: “Ini adalah kisah Yusuf. Yusuf dikirim ke seorang raja yang kejam di negeri yang jauh di mana terjadi badai yang mengerikan. Yusuf menggunakan kekuatan sihirnya untuk melihat ke masa depan, dan mengatakan kepada raja bagaimana melindungi kerajaannya dari badai. Raja kagum kepada Yusuf dan mereka menjadi teman.”
Realistis: “Ini adalah kisah Yusuf. Yusuf dikirim ke seorang raja yang kejam di negeri yang jauh di mana terjadi badai yang mengerikan. Raja menyadari bahwa Yusuf sangat berbakat dalam melihat awan dan memprediksi kapan akan terjadi hujan. Raja sangat kagum kepada Yusuf dan mereka menjadi teman.”
Anak-anak sekuler dan religius juga berbeda dalam interpretasi atas narasi fantasi yang di dalamnya terdapat alur cerita supranatural atau magis.
“Anak-anak sekuler lebih cendeurng menilai protagonis dalam cerita fantasi sebagai fiktif dibandingkan anak-anak religius. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan ilmu keagamaan berdampak kuat pada diferensiasi anak-anak antara realitas dan fiksi, bukan hanya untuk cerita agama tetapi juga untuk cerita fantasi,” tulis para peneliti.
Berbagai Komentar Pembaca
Banyak orang yang percaya pada hasil penelitian ini turut berkomentar.
“Dengan menghubungkan kejadian keagamaan yang mustahil terjadi tanpa campur tangan ilahi (misalnya Yesus mengubah air menjadi anggur) untuk narasi fiksi, anak-anak religius menggunakan agama untuk membenarkan kategorisasi palsu mereka,” tulis Shadee Ashtari dalam Huffington Post.
“Agama mengaburkan garis antara fakta dan fiksi. Kita hanya bisa berharap anak-anak mengetahuinya segera,” tulis blogger atheis terkenal, Hemant Mehta di Patheos.
Dengan cara yang provokatif, Mehta mengatakan bahwa penelitian ini dapat dipandang sebagai bukti bahwa indoktrinasi agama adalah bentuk pelecehan terhadap mental anak.
Komentator lainnya berpendapat lain tentang hasil penelitian.
“Penelitian ini bukan untuk membuktikan kerugian dari agama, karena penelitian menunjukkan bagaimana imajinasi, fiksi, fantasi bermain dalam pikiran anak, semua itu membantu dalam perkembangan kognitif anak. Selain itu, membesarkan anak-anak dengan cerita-cerita fantasi keagamaan tidaklah buruk,” tulis Eliyahu Federman di USA Today.
Meskipun Federman percaya bahwa agama kadang dapat membuat pemikiran berbahaya khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan, tetapi itu hampir tidak dapat dipandang sebagai penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
“Ada manfaat membiarkan anak-anak berpikir imajinatif tanpa memaksa mereka ke dalam pola pikir realitas, tetapi ada juga penelitian yang hasilnya menyatakan bahwa membesarkan anak-anak dengan agama dapat meningkatkan harga diri, menurunkan kecemasan, risiko bunuh diri, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, dan perilaku seksual berbahaya,” tambah Federman.
Sedangkan komentator lain mengatakan bahwa implikasi dari penelitian ini tidak perlu dianggap terlalu serius.
“Apakah kita akan benar-benar setuju bahwa anak-anak yang diajarkan untuk percaya Alkitab, perkembangannya tertunda pada usia 5 atau 6 tahun karena mereka cenderung percaya hal-hal fantastis? Sudut pandang lain untuk persamaannya, bahwa anak-anak sekuler diajarkan kehilangan rasa takjub dan imajinasi pada usia lebih awal daripada teman-teman mereka yang percaya pada Alkitab,” tulis Jenny Erikson dalam Stir.
Helen De Cruz, salah satu penulis dalam Prosblogion (blog yang berisi filosofi agama) mengatakan bahwa untuk sementara mungkin ada beberapa kebenaran dari hasil penelitian itu.
“Karakter Alkitab disajikan kepada mereka sebagai sejarah, jadi tentu saja mereka akan lebih mungkin untuk menilai karakternya sebagai sejarah (anak religius, Red), dibandingkan dengan anak yang tidak mendengar tentang karakter ini (anak sekuler, Red),” tulis De Cruz.
Akan tetapi menurut De Cruz, subjek penelitian harus dikembangkan lebih lanjut sebelum mengambil kesimpulan. Misalnya, apakah anak-anak pada usia muda lebih cenderung untuk percaya klaim pseudoscientific (klaim ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dasar ilmiah, misal astrologi, psikokinensis, dsb)? Atau apakah anak-anak Kristen cenderung percaya narasi mukjizat daripada agama-agama lain? Gagasan tersebut baru layak menjadi lebih dari sekadar bahan untuk didiskusikan. (bbc.com)
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...