Analisis: Bahaya Laten Orde Baru
Tantangan terberat pemerintahan Jokowi-JK
SATUHARAPAN.COM – Seorang teman menulis status di laman Facebook-nya begini: “Kemarin bangga jadi orang Indonesia. Kini kembali malu.” Itu sehari setelah DPR mengesahkan RUU Pilkada yang mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah ke tangan legislatif, bukan lagi pemilihan langsung oleh rakyat.
Boleh jadi, menurut dugaan saya, status itu mencerminkan kekecewaan banyak aktivis pro-demokrasi. Pasalnya jelas: pengesahan RUU Pilkada tak langsung itu merupakan pukulan paling telak terhadap proses demokratisasi yang marak sejak Mei 1998. Lebih miris lagi, pengesahan itu terjadi pada saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – presiden pertama yang justru dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi malah membiarkan partainya walk out sehingga memuluskan pengesahan RUU itu.
Padahal, baru beberapa bulan sebelumnya, euforia dan kegembiraan politik tampak sangat jelas merasuki masyarakat luas lewat Pilpres yang meraup banyak pujian. Di tengah pertarungan sengit, sebagai akibat polarisasi dwi-kutub yang merasuki hampir seluruh segmen masyarakat dan maraknya kampanye hitam, proses Pilpres berjalan damai, demokratis, dan penuh kegembiraan. Bahkan Pilpres lalu dapat membangkitkan semangat kesukarelawanan (voluntarisme) yang mengundang decak kagum: jutaan orang, mayoritas anak-anak muda, tanpa dikomando dan diberi imbalan apa-apa, dengan kreativitas masing-masing melibatkan diri secara aktif dalam proses Pilpres. Padahal, sebelumnya, perasaan apatis – bahkan antipati – terhadap politik sangat kuat.
Karena itu tidak berlebihan kalau Pilpres 2014 bisa disebut sebagai penemuan kembali “yang politis” (the political) bagi masyarakat luas. Dan, seperti pernah saya tulis sebelumnya, faktor terpenting eurforia dan kegembiraan itu adalah hadirnya figur Jokowi yang menerbitkan kembali secercah harapan di tengah apatisme politik. Gaya blusukan, kedekatan pada masyarakat kecil, serta kesederhanaan yang ditampilkan, menghapus jarak antara “pemimpin” dengan “rakyat”. Tiba-tiba rakyat yang selama ini tidak memiliki ruang bersuara menemukan pemimpin mereka adalah figur yang seperti dan mengenal dekat mereka.
Tetapi seluruh euforia dan kegembiraan politik itu lenyap, setelah para elite parpol justru menggolkan RUU Pilkada. Sekali lagi, jarak antara pemimpin dengan rakyat direntang sangat jauh: masyarakat tidak dapat memilih secara langsung figur yang akan memimpin mereka, tetapi harus menyerahkan mandatnya kepada “wakil rakyat” yang justru, selama ini, memperkuat perasaan apatis dan antipati terhadap politik.
Apalagi, tak lama setelah RUU Pilkada disahkan, santer beredar isu bahwa Koalisi Merah-Putih (KMP) akan mengembalikan mekanisme pemilihan presiden dan wakilnya oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) maupun pemangkasan kewenangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Malah Haryono Isman, anggota fraksi Partai Demokrat, menilai peluang itu terbuka lebar. “Kalau Koalisi Merah Putih bisa menguasai DPRD dan kepala daerah, menguasai MPR pun bisa. Maka, melakukan amendemen mudah sekali,” kata Hayono, Sabtu (29/9) lalu, seperti dilaporkan Tempo.co. Itu berarti, hanya dalam jangka waktu pendek, rezim pemerintahan otoriter ala Orde Baru akan kembali menguasai panggung politik. Dan sejarah Indonesia akan mengalami pembalikan yang sangat menentukan.
Memang benar, banyak pihak meragukan apakah pembalikan sejarah itu sungguh akan terjadi. Tetapi peluang itu akan selalu terbuka, jika kita melihat pertarungan di parlemen. Seperti sudah diketahui umum, walau PDIP menjadi pemenang pemilihan legislatif dan capres yang mereka usung terpilih sebagai presiden 2014 – 2019, namun komposisi anggota parlemen justru dikuasai KMP. Koalisi ini, jika ditambah Demokrat, menguasai 352 suara, atau lebih dari separo total 560 suara di parlemen.
Fakta ini akan menjadi beban paling berat bagi pemerintahan Jokowi-JK mendatang: bagaimana membangun aliansi-aliansi taktis, atau bahkan strategis, guna memperoleh dukungan mayoritas suara di parlemen. Diundangkannya RUU Pilkada dan keberhasilan KMP menguasai kursi pimpinan DPR 2014 – 2019, merupakan pertanda jelas pertarungan panjang akan menanti duet Jokowi-JK di parlemen. Bukan tidak mungkin, kita akan menyaksikan serangkaian deadlock dan bahkan instabilitas politik di masa depan, jika Jokowi-JK dan koalisi partai pendukungnya gagal melakukan manuver-manuver dan lobi-lobi politik guna meraih dukungan mayoritas.
Dan di balik pertarungan itu, bahaya laten kembalinya Orde Baru selalu mengintip.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI
Kamala Harris Akui Kekalahan Dalam Pilpres AS, Tetapi Berjan...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, menyampaikan pidato pe...