Ideologi Saingan, Tantangan Baru Pancasila
SATUHARAPAN.COM – Setiap 1 Oktober, Indonesia merayakan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Nama perayaan itu “Kesaktian” memperlihatkan adanya pengakuan bahwa Pancasila memiliki kekuatan yang sakti yang mampu bertahan khususnya ketika menghadapi ideologi saingan dan pihak-pihak yang ingin mengubah atau menggantinya. Hari Kesaktian Pancasila mulai diperingati secara khusus pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menculik dan membunuh sejumlah petinggi militer. Peristiwa ini dianggap sebagai usaha untuk menjatuhkan pemerintah dan mengganti Pancasila dengan ideologi komunis, dan Pancasila mampu bertahan sehingga ia disebut sakti. Jadi di sini lawan Pancasila ditunjuk pada komunisme sebagai ideologi lain.
Sebenarnya sejak awal proses pembentukan dan perumusan sampai pengakuannya sebagai dasar negara, Pancasila sudah menghadapi dan bersaing dengan ideologi-ideologi lain. Sudah ada sekularisme (humanisme dan kapitalisme), komunisme dan Islam yang memiliki penganutnya dalam masyarakat. Setelah negara Indonesia terbentuk dan diproklamasikan 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sampai belasan tahun berikutnya, Pancasila ternyata belum betul-betul diterima oleh seluruh rakyat. Kalangan Muslim “politik” masih berjuang untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara. Perjuangan itu dilakukan dalam sidang-sidang Konstituante, hasil Pemilu pertama 1955, yang antara lain membicarakan dasar negara yang definitif. Ada dua pilihan ideologi dengan masing-masing pengusungnya, yaitu Pancasila oleh kaum nasionalis dan Islam oleh kalangan Islam politik. Pembicaraan di sidang-sidang Konstituante tidak mencapai kesepakatan sehingga Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan isi kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Di sini kembali Pancasila menunjukkan kesaktiannya. Pancasila menang melawan Islam.
Melalui Dekrit 5 Juli itu, Pancasila mendapat pengesahan dan pengakuan secara konstitusional yang didukung oleh kekuasaan presiden Sukarno. Namun demikian, dalam kehidupan nyata, ideologi-ideologi lain, terutama Islam dan komunisme tetap masih memiliki penganutnya. Soekarno tidak mengabaikan fakta dan memberi dukungan dengan slogan NASAKOM atau Nasionalisme (Baca: Pancasila), Agama (Baca: Islam) dan Komunisme. Di sini Sukarno menyandingkan dan tidak mempertandingkan Pancasila dengan ideologi-ideologi lain itu. Sukarno merangkul ketiganya sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia.
NASAKOM terpisah setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu. Komunisme dengan pendukung dan simpatisannya dibasmi bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Sukarno di era Orde Lama. Setelah itu, di era Orde Baru, dimulai dan di bawah pemerintahan Suharto, Pancasila mendapat dukungan yang sangat kuat. Hari kesaktian Pancasila ditetapkan di era ini. Indoktrinasi Pancasila dalam masyarakat lalu menjadi sangat intensif. Pancasila harus dijadikan dasar atau asas kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bagi organisasi-organisasi sosial, politik dan keagamaan.
Lawan Baru Pancasila
Di era Orde Baru di mana pembangunan fisik dan ekonomi diutamakan bersamaan dengan arus globalisasi, masuklah dan beredar juga ideologi-ideologi sekuler yang lalu menjadi bagian pemikiran dan gaya hidup masyarakat, yaitu kapitalisme dan atau materialisme. Ideologi-ideologi sekuler ini makin merasuki kehidupan masyarakat. Ini tampak pada perilaku pragmatis masyarakat yang menekankan pentingnya modal atau kapital atau materi. Bahwa materi menjadi unsur yang sangat menentukan dalam segala aspek kehidupan yaitu ekonomi, sosial, politik, budaya dan bahkan agama. Ideologi yang mengutamakan materi ini mengakibatkan terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi.
Saat ini, lawan utama Pancasila sebagai ideologi negara atau falsafah bangsa adalah kapitalisme-materialisme itu. Lawan ini secara diam-diam telah merasuki hati dan pikiran rakyat Indonesia secara umum. Ini dibuktikan oleh pola pikir dan gaya hidupnya yang menunjukkan karakter dan isi kapitalisme materialis atau materialism kapitalis. Dengan begitu, nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menonjol dalam kehidupan masyarakat menjadi tertekan dan tidak tampak berperan. Anehnya, materialisme kapitalis ini tidak diperjuangkan dengan sengaja dan memiliki penganut yang formal. Ia masuk, menyebar dan merasuki masyarakat kita melalui arus globalisasi dan perkembangan pola pikir manusia.
Sebenarnya Pancasila masih berhadapan dengan Islam sebagai pilihan ideologi lain. Namun Islam di sini memang ditentukan oleh penafsiran dan perwujudannya. Di kalangan umat Islam pun, Islam sebagai ideologi alternatif masih kontroversial. Ada kelompok organisasi massa atau partai politik yang tetap memperjuangkan Islam sebagai ideologi karena menganggap Islam sebagai satu-satunya yang benar sedangkan ideologi-ideologi lain termasuk Pancasila sebagai tidak benar. Atau, yang menganggap bahwa Islam adalah jalan penyelesaian segala masalah dalam masyarakat saat ini. Tetapi sebagian kalangan menerima bahwa Pancasila adalah ideologi negara nilai-nilainya dapat diterima, dan Islam menjadi pelengkap atau faktor komplementer-nya. Atau, bahwa Islam dan Pancasila tidak saling bertentangan; bahwa Pancasila sudah sejalan dengan Islam.
Di kalangan Islam kerap muncul kelompok-kelompok beraliran radikal dengan paham dan perilaku yang diskriminatif dan intoleran yang kadang bertindak dengan kekerasan. Paham dan perilaku itulah sebenarnya yang tidak sesuai dengan Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila di zaman ini masih menghadapi “musuh” ideologis yaitu radikalisme-ekstremis yang intoleran dan mengabaikan nasionalisme atau persatuan, musyawarah, keadilan dan hak-hak asasi manusia. Radikalisme agama ini telah menyebabkan banyak peristiwa buruk yang banyak korban material dan bahkan nyawa, yang merusak citra agama dan bangsa kita.
Menjaga Kesaktian Pancasila
Bagaimana Pancasila dapat bertahan dan menang dalam menghadapi ideologi-ideologi lain?
Hal pertama yang perlu dilakukan sehubungan dengan pertanyaan itu adalah membuat Pancasila dipahami dan diterima oleh masyarakat dalam pikiran, perasaan dan perbuatannya. Untuk itu, pemahaman dan pengejawantahan Pancasila harus selalu dibuat kontekstual atau relevan dengan kondisi masa kini bangsa dengan segala pergumulan dan perjuangannya. Kedua, bangsa kita, negara atau pemerintah dan rakyat perlu membekali diri dengan mutu mental spiritual dan intelektual yang layak agar mampu menghadapi, menyaring atau menolak berbagai ideologi lain yang ada dalam masyarakat. Menyangkut dua cara tersebut, pendidikan bermutu menjadi faktor penentu.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...