Analisis: Berbahayakah Agama?
SATUHARAPAN.COM – Mengapa agama, suatu sistem yang mengurusi soal sakral, tidak bebas dari kekerasan? Berbahayakah Agama? Salah satunya sebabnya adalah agama dilembagakan atau ketika ia dijadikan ideologi dan sistem sosial dan hukum.
Kasus kekerasan agama tak henti-hentinya terjadi. Belakangan ini dunia dihebohkan oleh kekerasan kelompok ekstrem Boko Haram di Nigeria. Juga di Sudan, seorang perempuan yang dituduh murtad karena menikah dengan seorang Kristen dan sedang hamil lalu dijatuhi hukuman gantung. Di Pakistan,seorang perempuan yang juga sedang hamil dirajam sampai mati karena perkawinannya tidak disetujui keluarganya. Di Indonesia, belakang ini disorot kasus di Aceh, yaitu seorang perempuan yang ditangkap karena selingkuh lalu dihukum dengan diperkosa ramai-ramai oleh delapan orang yang menangkapnya. Terakhir, kasus penyerangan terhadap rumah dengan ibu-ibu Katolik yang sedang beribadah dan latihan menyanyi, di Sleman Yogyakarta.
Kasus-kasus kekerasan yang menghebohkan di atas menunjuk ke pelaku yang beragama Islam. Dan, karena itu tidak jarang orang mengidentikkan Islam dengan kekerasan. Namun demikian, kekerasan agama tidak saja terjadi di dalam atau dilakukan oleh umat Islam, tetapi di dalam dan oleh umat beragama lain. (Lih. “Intoleransi Ada di Agama Apa Saja”). Dalam lingkungan Kristen di USA, ada kelompok fundamentalis dan militan yang keras terhadap Islam; di Myanmar sekelompok umat Buddha melakukan kekerasan terhadap umat Islam di Rohingnya; di India kekerasan dilakukan kelompok umat Hindu terhadap Muslim dan Kristen. Jadi kekerasan dilakukan umat agama apa saja, walau memang kualitas dan intensitasnya kecil sehingga tidak menghebohkan.
Mengapa agama, suatu sistem yang mengurusi soal sakral, tidak bebas dari kekerasan? Atau, mengapa kekerasan itu sering sekali diperlihatkan oleh dan di dalam lembaga yang mengajarkan tentang Tuhan dan kebaikan ini? Jika begitu, apakah agama berbahaya?
Dalam pemikiran ateis-marxis, agama pernah dijuluki candu atau racun masyarakat karena persoalan-persoalan seperti ketidakpedulian sosial-politik, penganiayaan, kerusuhan, peperangan dan berbagai sikap ekstrem lainnya yang buruk bagi manusia. Di kalangan masyarakat modern humanis-rasionalis, orang mencibir bibir jika bicara soal agama, dan ada rasa resah dan malu untuk mengatakan seseorang itu beragama. Hal ini karena kenyataan dan tuduhan terhadap agama yang dalam banyak hal “diidentikkan” dengan kekolotan, primitif, kemunduran, tidak-rasional dan radikalis-fundamentalis ekstremis-teroris. Kesan terhadap agama tampak sangat buruk sehingga di dalam masyarakat itu, agama “jatuh harga”.
Agama, sebagai lembaga “rohani” sebenarnya mengajarkan kebaikan bagi manusia. Ada ajaran atau doktrin tentang Tuhan dan tentu Tuhan yang baik, yang diikuti oleh ibadah atau ritual yang baik pula bagi manusia, dan yang utama juga adalah ajaran moral-etis, yang menuntun orang untuk hidup baik bagi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Namun demikian, masih banyak umat yang lebih mengutamakan doktrin dan ritual formal. (Lih. “Ritualisme Masih Jadi Panglima Hidup Beragama”). Oleh kalangan tertentu, doktrin atau ajaran dan ritual dipahami secara eksklusif dan absolut. Apa yang dipahami dianggap sebagai kebenaran mutlak, dan konsekuensinya, yang berbeda dianggap salah dan pantas dihukum. Paradigma “radikalisme ortodoks” biasanya menghasilkan kelompok ekstrem dan militan yang menghalalkan tindakan kekerasan atau teroris untuk membela ajaran-agama dan melindungi lingkungan atau komunitasnya. Paradigma ini akan mewujud dalam tindakan kekerasan jika bertemu dengan fungsi psikologis agama dan kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat.
Secara psikologis, agama berfungsi sebagai “wadah” penampung curahan hati umat. Ia menjadi tempat pelampiasan emosi: senang, susah, galau, gelisah, takut, kecewa, kesal dan marah, yang diakibatkan oleh keadaan hidup.Emosi manusia itu tidak berbahaya atau tidak akan berwujud kekerasan jika dilampiaskan di dalam agama sebatas relasi personal dengan Tuhan seperti di dalam ritual doa, meditasi atau puasa, atau hanya di dalam komunitas dengan ritualnya sendiri. Juga jika kondisi atau relasi sosial baik dan harmonis, ekonomi baik dan tidak menimbulkan sentimen atau kecemburuan, dan peran negara tegas dengan menghargai hukum.
Tetapi sebaliknya, jika agama baik dalam ranah personal maupun komunal tidak dapat menampung curahan emosi umat, serta kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat buruk, maka emosi itu akan tertumpah dan mewujud dalam konflik dan kekerasan. Jika tidak ada sasaran pihak luar, itu terjadi di dalam komunitas, tetapi jika ada pihak lain yang lemah secara sosial politik maka merekalah yang menjadi sasaran dan korban. Letak bahaya agama adalah ketika paradigma radikalisme ortodoks diterapkan dalam hubungan dengan umat aliran atau agama lain dan emosi-kemarahan karena kondisi hidup umat tidak tertampung dalam agamanya, serta didukung oleh buruknya kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat.
Secara sosiologis, agama akan menjadi berbahaya jika ia menjadi agama rakyat yang dilembagakan atau ketika ia dijadikan ideologi dan sistem sosial dan hukum. Ini terjadi misalnya di Sudan, Pakistan, Afghanistan dan Aceh, atau yang pernah terjadi dalam sejarah Kristen di abad pertengahan, di mana penghakiman, penghukuman dan kekerasan karena agama yang didukung atau dilaksanakan oleh masyarakat dan negara atau kekuasaan terjadi. Dan sangat tidak sesuai dengan logika atau akal sehat bahwa kekerasan karena agama justru sangat brutal atau sadis.
Sebenarnya, agama tidak keras atau kasar dalam dirinya sendiri. Agama jelas mengajarkan yang baik. Yang keras dan menjadi pelaku kekerasan adalah umat atau manusianya. Mereka memahami ajaran agama dengan kaca mata kekerasan dan yang meluapkan emosi hidup-religiusnya dalam kekerasan. Mereka menggunakan agama sebagai tempat mengungkapkan kekuatan atau kekuasaan, pelampiasan kemarahan atau sentimen pribadi dan sosial-ekonomi-politik. Memang agama memiliki ajaran eksklusif dan absolutis yang berpotensi membuat umat mengerti dan mewujudkan kekerasan. Jadi agama dibuat keras dan berbahaya oleh umatnya.Hanya memang agama tanpa umat bukanlah agama. Karena itu pemahaman dan tindakan umat merupakan pemahaman dan tindakan agama. Jadi dapat dikatakan bahwa agama mengandung bahaya-kekerasan. Agama dapat berbahaya kalau diwujudkan oleh umatnya dalam tindakan kekerasan.
Potensi bahaya agama dapat diredam jika umat memiliki pengetahuan dan wawasan keagamaan yang luas dan lebih menekankan sisi ironis atau damai dari agama, yaitu dengan menekankan aspek ritual-spiritual dalam relasi personal dengan Tuhan dan aspek etika sosial. Di sini peran pendidikan sangat penting. Juga kontrol negara terhadap kelompok yang berpotensi melakukan kekerasan dan ketegasannya dalam penegakan hukum. Seharusnya polisi menangkap dan menghukum semua pelaku kekerasan atau teroris itu, tidak hanya satu atau dua orang “otak”-nya.
Jika satu agama menjadi korban maka semua agama adalah korban. Jika satu agama diperlakukan buruk, maka buruklah semua agama. Jika satu agama dinilai berbahaya maka semua agama berbahaya.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...