Analisis: Peran Agama Masih Seremonial
SATUHARAPAN.COM – Pidato Presiden SBY pada acara MTQ Nasional di Batam beberapa waktu lalu mengimbau agar masyarakat tidak meminggirkan peran agama, yaitu ketakwaan, etos kerja dan ibadah. Penekanan itu tentu beralasan, karena kenyataannya masih banyak kasus kejahatan terjadi. Bahkan di dalam urusan keagamaan, seperti penyelenggaraan Haji dan pengadaan Quran, ada korupsi. Juga masih terjadi konflik atau kerusuhan antaraliran dalam agama dan antaragama. Seharusnya jika banyak orang menekankan ketakwaan, etos kerja dan ibadah yang baik maka masyarakat dapat hidup rukun, aman dan damai, tanpa kejahatan dan kekerasan agama.
Di dalam dasar negara, Pancasila, agama diberi status dan peran yang sangat penting yaitu menempatkan soal agama pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini memperlihatkan bahwa Indonesia sangat menghargai agama. Ini juga berarti bahwa negara atau masyarakat Indonesia secara ideologis dan filosofis memiliki kepercayaan kepada Tuhan; jadi Indonesia adalah negara beragama, walaupun ini tidak mengidentisifikasikan Indonesia sebagai negara agama dengan bentuk dan sistem pemerintahan teokrasi.
Di dalam Undang-Undang Dasar atau UUD 45 Pasal 29, negara menjamin setiap warga negara untuk beragama atau menganut kepercayaan dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu. Sejak awal negara ini didirikan, jaminan itu telah diberikan. Setiap orang bebas menganut kepercayaan atau memeluk agama apa saja dengan alirannya masing-masing. Karena itu, ada agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan) dan Konghucu. Juga, ada aliran, seperti Syiah, Suni, Ahmadiyah, Sikh, Pentakosta, Advent, Mahayana, Hinayana-Theravada. Di samping itu, kepercayaan atau agama lokal juga eksis, seperti berbagai aliran kepercayaan-kebatinan, Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu dan Parmalim. Namun, pemerintah menentukan kebijakan yang hanya “mengakui” dengan memberi status dan fasilitas pada enam agama, yaitu Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen Protestan dan Konghucu dalam struktur pemerintahan atau Kementerian Agama. Sedangkan aliran kepercayaan dan agama lokal dibedakan, dan ditempatkan pada bagian kebudayaan.
Dari status yang diberikan negara dan masyarakat, jelas menunjukkan bahwa agama diberi peran yang sangat penting. Fasilitas yang diberikan kepada agama sangat besar. Kementerian Agama yang secara khusus mengurusi kehidupan keagamaan dalam masyarakat, juga semua kementerian dan BUMN, menyediakan dan mengeluarkan anggaran untuk kehidupan beragama. Bahkan lembaga-lembaga sosial-pendidikan serta perusahaan-perusahaan swasta juga demikian. Kegiatan-kegiatan kenegaraan juga melibatkan agama, seperti perayaan kemerdekaan dan pengambilan sumpah jabatan dengan menggunakan simbol-simbol dan bahasa agama. Di pihak lain, perayaan-perayaan atau ibadah agama bahkan lomba-lomba dalam hal keagamaan didukung, baik sosial-politik dan anggaran, oleh negara, seperti Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional.
Dengan status dan pemberian fasilitas kepada agama itu, masih haruskah kita meragukan peran agama di dalam masyarakat Indonesia?
Seharusnya, tidak! Tetapi kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat kejahatan, seperti korupsi, konflik berlatar-belakang agama, pelanggaran HAM dan tindakan-tindakan kriminal lainnya, yang sangat tinggi, maka memang peran agama perlu dipertanyakan; atau masih belum ideal. Jika agama berperan baik, bahwa ajaran atau nilai-nilai moral-etis dan spiritual agama memengaruhi kehidupan masyarakat, tentu berbagai kejahatan akan sangat minimal. Tingkat kriminalitas termasuk konflik berlatar-belakang agama yang tinggi menjadi indikasi bahwa agama tidak betul-betul berperan atau berpengaruh.
Jika begitu, apa yang terjadi dengan peran atau fungsi agama di dalam masyarakat? Sampai di mana agama berperan atau diberi peran?
Kenyataan hidup masyarakat Indonesia memperlihatkan bahwa agama mewarnai dan memasuki berbagai segi dan sudut kehidupan. Hampir tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak dimasuki agama. Gedung ibadah berlimpah; kurikulum pendidikan dari jenjang paling rendah sampai paling tinggi mengandung unsur agama; berbagai perhelatan sosial-politik dihiasi simbol-simbol agama; pidato-pidato dalam berbagai acara dari yang disampaikan oleh Ketua Rukun Tetangga sampai Presiden tidak ada yang bebas dari simbol dan bahasa agama; perayaan-perayaan agama selalu diselenggarakan dengan meriah dan besar-besaran; pakaian agama tampak sekali dalam masyarakat, bahkan diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan dan instansi pemerintahan; berbagai undang-undang nasional dan peraturan daerah mengandung ajaran-ajaran agama; dan tutur kata dalam pergaulan sehari-hari juga sangat diwarnai oleh bahasa agama.
Namun demikian, semua status dan peran agama itu ternyata tidak atau belum cukup untuk membuat negara dan bangsa Indonesia yang agamis ini menjadi baik secara etik-moral. Hal ini karena status dan peran agama itu masih pada ranah formal-seremonial, pada bentuk-bentuk simbolis dan upacaranya. Masyarakat masih sangat mengutamakan pelaksanaan ibadah atau ritual yang formal dan simbol-simbol keagamaan. Aspek moral-etis agama belum diutamakan. Yang penting orang sudah melakukan ibadah formal yang dianggap wajib, seperti berdoa atau sembahyang, salat, ibadah di gereja, pura, atau vihara, sedangkan perilaku yang beretika atau bermoral belum menjadi pola dan tujuan hidup.
Orang kebanyakan berpendirian dan berperilaku pragmatis; yang diutamakan adalah hal-hal keagamaan yang memenuhi kebutuhan atau bermanfaat langsung, seperti kepuasan batin jika sudah berdoa, sudah merasa diampuni dari dosa, sudah terjamin akan diberkahi atau diberi rezeki, atau sudah melaksanakan kewajiban ibadah dan sudah dijamin selamat abadi. Ini adalah ketakwaan ritual kepada Sang Ilahi di mana orang tidak harus berbuat baik kepada sesama sebagai ketakwaan moral-etis yang membuat manusia dan masyarakat menjadi baik .
Peminggiran agama dan jadi mandulnya agama dalam ketakwaan moral-etis diakibatkan oleh pragmatisme keagamaan, pengutamaan ritual-formal dan seremonial, diskriminasi atau pengutamaan pada satu agama dan meremehkan yang lain, dan kekerasan berlatar-belakang agama yang dibiarkan atau tidak ditindak tegas yang merusak citra agama. Seharusnya, di samping peran tokoh agama yang perlu mengutamakan ajaran etis-moral, juga peran pemerintah yang melaksanakan hukum secara tegas, lalu memberi contoh dan mendorong aparat dan masyarakat untuk melaksanakan ajaran moral-etis agama; serta seluruh warga masyarakat yang dengan akal sehatnya hidup sebagai manusia yang baik bagi diri sendiri, sesama dan alam semesta.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...