Analisis: Jangan Mencuri, Jangan Korupsi!
SATUHARAPAN.COM – Korupsi identik dengan mencuri. Keduanya adalah kejahatan. Nilai jahat dari korupsi atau mencuri adalah mengambil hak-milik pihak lain, yang menyebabkan kesusahan atau penderitaan. Korupsi tidak hanya kejahatan dari segi hukum negara tetapi juga pelanggaran terhadap kehendak atau hukum dan Tuhan.
Lagi-lagi, kasus korupsi yang melibatkan pejabat lembaga tinggi negara terjadi dan menghebohkan masyarakat Indonesia. Hadi Poernomo, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK pada hari ulang tahunnya yang ke 67 sekaligus hari terakhir dia bekerja sebagai Ketua BPK karena memasuki pensiun, yaitu 21 April 2014.
Sungguh tragis dan tentu memalukan karena hadiah ulang tahun sekaligus pensiunnya adalah penetapan sebagai tersangka kasus korupsi. Kasus yang disangkakan kepada Hadi Purnomo adalah suap sehubungan dengan penerimaannya atas keberatan pajak oleh BCA tahun 1999 yang disampaikan pada 2004. BCA juga diberikan keringanan pajak selama 2 tahun.
Ketika itu Hadi Purnomo menjabat Dirjen Pajak Departemen Keuangan RI. Pada 2010, kekayaan Hadi Poernomo mencapai sekitar 39 miliar rupiah.
Dijeratnya Hadi Poernomo menjadi tersangka korupsi menambah banyak daftar koruptor dari kalangan pejabat tinggi. Sebelumnya terjadi pada Akil Mochtar, Andi A. Malarangeng serta para pimpinan partai politik seperti Luthfi Hasan Ishaaq dan Anas Urbaningrum, anggota DPR seperti Angelina Sondakh dan Emir Moeis, gubernur seperti Ratu Atut, serta banyak pejabat negara dan anggota dewan telah dipenjara atau yang masih dalam proses pengadilan.
Orang tampak begitu mudah melakukan korupsi, baik oleh aparat negara dari tingkat yang sangat rendah sampai yang sangat tinggi maupun masyarakat. Ini terjadi tidak hanya di institusi-institusi negara, tetapi juga di lembaga-lembaga social-politik, perusahaan-swasta dan bahkan agama. Dari begitu banyaknya kasus yang terjadi, tampak bahwa korupsi telah menjadi karakter, kebiasaan dan budaya masyarakat. Dan karena begitu banyaknya koruptor yang tertangkap, diadili dan dihukum, maka memang layak jika Indonesia disebut “negeri para koruptor”.
Korupsi Adalah Kejahatan
Masyarakat umum atau pelaku korupsi, tampak tidak sadar dan kritis, bahwa korupsi adalah kejahatan dan merugikan pihak lain dan diri sendiri. Orang yang hidup dari korupsi tampak dengan tenang dan senang menikmati hasil korupsinya. Banyak koruptor yang tertangkap dan diadili tampak tidak berbeban rasa takut dan malu; malah bergaya bagaikan selebritis. Di samping itu, negara dan rakyat kebanyakan masih sangat permisif terhadap korupsi dan kompromis-akseptif terhadap para koruptor. Buktinya, koruptor terhukum dapat menikmati fasilitas yang baik di dalam penjara. Para mantan koruptor dapat kembali menduduki jabatan di institusi negara, di partai atau lembaga sosial-politik, atau menjadi selebritis karena ditampilkan di televisi. Jadi kebijakan hukum dan efek hukuman bagi para koruptor atau mantan koruptor tidak begitu berpengaruh.
Korupsi adalah tindakan menerima, mengambil, mendapatkan dan memiliki harta-benda karena jabatan atau pekerjaannya, tetapi bukan haknya. Cara yang dipakai adalah dengan paksaan, tersembunyi dan tidak sesuai hukum atau illegal, dengan aktif atau pasif. Di sini, memanipulasi atau penggelembungan anggaran, meminta bagian-komisi, suap dan gratifikasi digolongkan dalam kejahatan korupsi. Ada juga korupsi yang dilakukan dengan memanipulasi aturan atau kebijakan sehingga penggunaan anggaran tampak benar secara prosedural-legal, tetapi tidak benar secara prinsipil-etis.
Korupsi identik dengan mencuri. Keduanya adalah kejahatan. Nilai jahat dari korupsi atau mencuri adalah mengambil hak-milik pihak lain, yang menyebabkan kesusahan atau penderitaan. Di sini, nilai kejahatan korupsi terletak pada akibat buruknya terhadap semua pihak, baik terhadap seseorang, kelompok, dan lembaga atau negara dan rakyat, maupun diri pencuri atau koruptor itu sendiri, yaitu penderitaan.
Kasus korupsi pajak yang disangkakan kepada Hadi Poernomo memperlihatkan bahwa negara-rakyat dirugikan. BCA seharusnya membayar pajak kepada negara sebesar lebih dari 300 miliar rupiah. Tetapi, permohonan-keberatannya disetujui oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak sehingga BCA tidak harus membayar. Lalu diduga bahwa Hadi Poernomo menerima suap dari BCA. Hadi Purnomo dan BCA tentu diuntungkan, sedangkan negara-rakyat dirugikan. Banyak kasus korupsi dalam bentuk dan modus lain terjadi di Indonesia dengan akibat buruk bagi negara dan terutama rakyat yakni penderitaan.
Indonesia disebut memiliki kekayaan berlimpah, tetapi negara ini miskin dengan akibat banyak rakyat yang hidup miskin atau menderita. Di pihak lain, banyak sekali orang Indonesia yang secara individual kaya. Menunjuk kepada kasus korupsi Gubernur Ratu Atut dan adiknya Wawan, dinasti penguasa Banten ini hidup berlimpah harta tetapi sangat banyak rakyat Banten yang hidup miskin dan melarat, di samping banyaknya infrastruktur yang buruk. Jadi korupsi mengakibatkan ketidakadilan dan penderitaan rakyat.
Sudut Pandang Agama
Karena korupsi atau mencuri adalah kejahatan yang merugikan semua pihak maka Allah dengan tegas menyatakan dalam hukum-Nya “Jangan Mencuri!” (Alkitab, Keluaran 20:15). Mencuri berasal dari niat mendapatkan sesuatu milik orang lain untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan dirinya. Jadi niat atau keinginan berhubungan erat dengan tindakan mencuri atau korupsi. Karena itu, Tuhan menyampaikan hukum-Nya selanjutnya untuk orang jangan mengingini hak-milik sesama manusia (Alkitab, Keluaran 20:17). Tentu pelanggaran terhadap larangan Tuhan ini adalah dosa.
Korupsi tidak hanya kejahatan dari segi hukum negara tetapi juga pelanggaran terhadap kehendak atau hukum dan Tuhan. Hukum Indonesia menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, extra-ordinary crime dengan hukuman yang luar biasa.
Dalam agama, Tuhan melarang umat untuk mencuri atau korupsi karena akibat buruknya terhadap manusia dan kemanusiaan. Orang yang hak-miliknya diambil tentu tidak senang, marah dan tentu ini adalah penderitaan. Sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah tentu korupsi berakibat penghukuman Allah.
Pencuri atau koruptor adalah orang-orang berdosa dan tentu mendapat hukuman. Penghukuman dialami oleh pelaku dalam hidup, baik di dunia dan nanti di alam baka. Di masa hidup, koruptor, baik pribadi maupun keluarga, akan mengalami gangguan batiniah, yaitu kegelisahan dan ketakutan. Ini sudah merupakan hukuman siksaan. Jika tertangkap dan dihukum, ada penderitaan fisik serta mental seperti rasa malu dan rasa bersalah yang akan mewarnai hidup mereka. Ini juga adalah hukuman siksaan. Akhirnya, agama mengajarkan bahwa orang jahat, pencuri atau koruptor, akan mendapat ganjaran yang setimpal di akhirat, suatu hukuman siksaan yang abadi. Karena itu “jangan mencuri, jangan korupsi”.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...