Analisis: Kelompok Ekstremis Muncul Sebab Negara Tak Tegas
SATUHARAPAN.COM – Kasus kekerasan yang dilakukan Boko Haram di Nigeria bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Ketidaktegasan pemerintah Nigeria—tidak langsung menutup atau melarang berdiri dan beraktivitasnya kelompok ekstrem—jadi pemicu.
Kasus kekerasan Boko Haram mendapat perhatian besar berbagai kalangan dan menjadi berita penting media international dan nasional Indonesia. Ini terutama karena penculikan 270-an siswi yang diduga sebagian telah diperkosa dan diperjualbelikan atau dibunuh. Dunia mengecam bahkan mengutuk tindakan teroris dan kejam yang dilakukan Boko Haram. Mulai dari keluarga korban, pemerintah Nigeria, para aktivis sosial kemanusiaan, seperti Hilary Clinton, Angelina Jolie, Michelle Obama (istri Presiden USA Barack Obama) dan Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB). Presiden Nigeria, Goodluck Jonathan, telah menyatakan negara dalam keadaan darurat dan telah melakukan operasi pencarian para siswi yang diculik. Inggris dan PBB telah mengirimkan tim untuk membantu.
“Boko Haram” yang berarti “Pendidikan Barat adalah Haram” adalah organisasi garis keras (atau ekstrem-radikal-fundamentalis) yang didirikan oleh seorang ulama muda, Muhammed Yusuf, di Nigeria pada 2002. Misi dan perjuangannya adalah mengikis habis ideologi dan budaya sekuler modernis-Barat yang menggejala di dalam masyarakat Nigeria, dan menjadikan Hukum Islam atau Syariah sebagai hukum negara Nigeria. Cara yang umumnya ditempuh adalah dengan kekerasan. Pihak yang menjadi objek penyerangan mula-mula adalah kelompok masyarakat yang dianggap berakar pada budaya Barat atau membawa simbol-simbol Barat, yaitu gedung-gedung gereja dan orang-orang Kristen, lalu gedung-gedung swasta, seperti kantor-kantor kedutaan dan tempat usaha. Kemudian, karena ia mendapat tantangan dan kesulitan dari pemerintah, terutama kepolisian, Boko Haram lalu menyerang kantor-kantor pemerintahan terutama kepolisian. Sejak terbentuknya di tahun 2002 sampai tahun 2013 lalu, kekerasan Boko Haram telah menyebabkan sekitar 10.000 orang terbunuh.
Nigeria adalah negara yang terletak di Afrika Tengah dengan penduduk mendekati 180 juta jiwa. Jumlah penduduk Muslim sekitar 90 juta atau 50 % dari populasinya; Kristen sekitar 40% dan penganut agama lokal 10 %. Jadi umat Islam termasuk kelompok mayoritas, terutama di bagian utara Nigeria. Ini menempatkan Nigeria pada urutan ke dua untuk negara yang berpenduduk mayoritas Islam setelah Indonesia (walau jumlahnya masih di bawah Muslim di India yaitu sekitar 180 juta dari sekitar 950 juta populasinya).
Dari kondisi keislamannya, Nigeria dan Indonesia memiliki kemiripan; banyak aliran keagamaan Islam, dari yang liberal-moderat, ortodoks-moderat sampai yang radikal-ekstrem. Keserupaan itu mengindikasikan gejala serupa di dalam kemunculan aliran-aliran keagamaan, terutama yang beraliran ekstrem, mirip dengan kemunculan aliran-aliran radikal di negara atau daerah yang berpenduduk mayoritas Islam lainnya, seperti di Timur Tengah (dengan munculnya Al-Qaeda), di Asia Tengah, yaitu Afghanistan dan Pakistan (munculnya Taliban), dan Indonesia (dengan munculnya Laskar Jihad dan berbagai kelompok dan aliran serta gerakan massa yang sering menggunakan intimidasi dan kekerasan belakangan ini).
Muncul dan berkembangnya kelompok-kelompok ekstremis dan bersenjata di dalam masyarakat khususnya dalam kalangan umat agama mayoritas karena terdorong oleh idealisme-formal agama dan yang dipicu serta diberi peluang oleh ketidakstabilan kondisi sosial-politik-ekonomi dan keagamaan dari masyarakat. Sementara masyarakat agama mayoritas tidak antipati tetapi permisif atau diam-diam mendukung, dan negara-pemerintah lemah dengan pembiaran dan ketidaktegasannya.
Sikap pemerintah itu kemungkinan disebabkan oleh pertama adanya ketakutan terhadap kelompok mayoritas jika mereka mengambil tindakan tegas; bahwa pemerintah akan kehilangan dukungan sosial-politik. Kedua, di kalangan pemerintah ada pihak-pihak yang memiliki ideologi-agama serupa dengan kelompok garis keras, sehingga ada simpati dan dukungan tersembunyi. Apalagi jika yang menjadi korban adalah pihak yang dari segi keagamaan berbeda atau bertentangan dan dari segi politik minoritas dan tidak menguntungkan. Di Indonesia, misalnya pemerintah tampak membiarkan adanya kelompok ekstremis yang melakukan razia atau sweeping terhadap pihak lain atau kegiatannya. Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas ketika intimidasi dan bahkan pengeroyokan dari kelompok atau masyarakat garis keras dan mayoritas terhadap kelompok minoritas, seperti kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, Syiah dan komunitas Kristen tertentu.
Memang di Indonesia, kelompok-kelompok ekstrem tidak dapat berkembang dan menjadi militan-bersenjata seperti Boko Haram, Al Qaeda, Taliban dan kelompok Moro di Filipina Selatan karena kondisi geografis-sosial-politik-ekonomi dan keagamaan di Indonesia masih relatif stabil dan kontrol negara terhadap peredaran dan penggunaan senjata api terbilang kuat. Di pihak lain, makin banyak kalangan yang makin kritis terhadap sepak-terjang kelompok ekstrem, karena menganggap kekerasan dalam agama berbahaya, tidak agamis dan bahkan mempermalukan agama itu sendiri.
Sesungguhnya, kunci mengatasi kelompok ekstrem ada pada negara-pemerintah. Jika pemerintah tegas dengan langsung menutup atau melarang berdiri dan beraktivitasnya kelompok yang berpotensi atau tampak ekstrem maka tidak akan ada kasus kekerasan atau kejahatan karena ulah mereka. Boko Haram tidak akan sedemikian jauh melakukan tindakan kekerasan, pembunuhan dan penculikan yang berakibat berbagai kerugian mental, material dan 10.000-an orang terbunuh jika pemerintahnya langsung memberhentikan atau membubarkan organisasi ini pada saat didirikan pada 2002. Di Jerman, ada kelompok garis keras Neo-Nazi, tetapi tidak sampai menimbulkan gejolak sosial-politik signifikan karena pemerintah tegas. Di Amerika Serikat tahun 1980/90-an, ada kelompok-kelompok fundamentalis bersenjata, seperti kelompok Cult-Davidian pimpinan David Koresh, tetapi pemerintah tegas memberangusnya.
“Pembiaranisme” negara terhadap kelompok atau masyarakat yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan, melanggar hukum atau yang mengganggu kepentingan umum tampak menjadi gejala sikap pemerintah di negara-negara yang belum stabil kondisi sosial, politik ekonomi dan keagamaannya, seperti di Nigeria, Afghanistan, Pakistan, India dan Indonesia. Berbagai contoh pembiaran itu tidak saja terhadap kelompok ekstrem agama tetapi juga misalnya terhadap penghuni liar di tanah negara, pedagang kaki lima di pinggir jalan, tawuran pelajar, amuk massa, geng motor dan bentrokan antar-kampung. Nanti sudah menjadi masalah besar dan menghebohkan, baru pemerintah bertindak tegas; baru mengobati setelah sakit parah.
Dalam kehidupan beragama, yang perlu disikapi secara logis, arif-bijaksana dan tegas adalah formalisme, fanatisme dan ekstremisme. Ini karena sisi-sisi keagamaan ini memiliki potensi berbahaya bagi masyarakat atau negara, yaitu diskriminasi, intimidasi dan kekerasan, atau ada potensi tindakan teroris terhadap pihak yang berbeda termasuk negara.
Belajar dari kasus-kasus kekerasan dan teror oleh kelompok ektremis, seperti Boko Haram, semoga negara-pemerintah di mana pun, juga di Indonesia, lebih menggunakan logika atau akal sehat, arif-bijaksana dan tentu tegas dalam menyikapi kelompok ekstremis dan sepak terjangnya sehingga masyarakat terhindar dari peristiwa mengerikan seperti yang dilakukan oleh Boko Haram saat ini.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...