Analisis: Menyambut Hari Keluarga Nasional
SATUHARAPAN.COM – Tanggal 29 Juni dijadikan hari peringatan keluarga Indonesia karena secara simbolis mengacu pada peristiwa keluarga Indonesia yang berjuang di gunung, desa, dan kampung-kampung berhasil kembali merebut Ibu Kota RI yang diduduki pemerintah kolonial Belanda.
Pada 29 Juni 1949, secara resmi Ibu Kota RI diserahterimakan kepada Pemerintah RI. Bersama dengan hari bersejarah itu, berbondong-bondong keluarga yang bergerilya atau mengungsi kembali ke rumah masing-masing, berkumpul dengan sanak keluarga lainnya. Mereka menyiapkan diri untuk membangun kembali keluarga yang berantakan karena gangguan musuh yang menguasai segala sesuatu yang ada dalam keluarganya.â
Kehidupan keluarga mencerminkan kehidupan masyarakat. Kualitas kehidupan dalam keluarga pada gilirannya juga menentukan kualitas kehidupan dalam masyarakat. Dalam perspektif Kristen, keluarga mendapat tempat yang sangat strategis.
Alkitab menempatkan keluarga menjadi lembaga pertama dan utama dalam proses pendidikan (bdk. Ul. 6:6 dst). Dalam Alkitab juga muncul gambaran yang memparalelkan pola relasional dalam keluarga dengan hubungan manusia dengan Allah. Pola relasional yang berdasarkan saling tunduk, merupakan cerminan dari hubungan jemaat dengan Kristus. Saling tunduk antara istri dan suami juga mencerminkan tunduknya Kristus yang menyerahkan hidup-Nya untuk Jemaat (lih. Flp. 2:1-11), dan juga tunduk jemaat kepada Kristus.
Itulah sebabnya, sejak awal pencanangan Keluarga Berencana di Indonesia, Gereja-gereja di Indonesia mengembangkan apa yang disebut dengan Keluarga Bertanggung-jawab. Hal ini merupakan bagian dari peran dan komitmen gereja dalam membangun keluarga sejahtera sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kontribusi gereja dalam membangun masyarakat Indonesia yang kuat dan sejahtera di masa depan.
Keluarga bertanggung-jawab meliputi tanggung-jawab keluarga atas kesehatan, pendidikan, ekonomi, social budaya dan lain-lain dalam rasa takut akan Allah. Artinya, keluarga dalam menanggapi keseluruhan aspek tersebut berada dan tunduk pada kehendak Allah. Dengan demikian, Keluarga Sejahtera, secara mendasar adalah keluarga yang hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang menciptakan manusia dengan martabat sebagai “gambar Allah”.
Saat ini, kita sedang menghadapi masalah kependudukan yang cukup serius, terutama dengan makin melemahnya perhatian masyarakat akan program Keluarga Berencana satu dekade terakhir ini. Tingkat pengangguran yang makin tinggi, kelangkaan pangan dan perusakan lingkungan adalah masalah yang segera terlihat dan banyak kita hadapi kini. Berhadapan dengan ini, tentu peran dan tanggung-jawab semua elemen masyarakat Indonesia merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar lagi.
Dalam kaitan ini, perkenankan saya ingin menyampaikan dua hal pokok saja dalam upaya menggagas dan mencapai Ketahanan Keluarga di Indonesia.
Pertama, dalam perspektif Kristen, adalah tugas dan tanggung-jawab setiap orang untuk menghargai martabat manusia. Alkitab menggambarkan bagaimana Allah menciptakan manusia dengan keunikan tersendiri dibandingkan dengan ciptaan lainnya, dan menempatkan manusia pada posisi tertentu berhadapan dengan ciptaan lainnya.
Manusia, pada dirinya sendiri, memiliki kualitas dan hakikat, yang tak kurang dan tak lebih, sebagai gambar dan mandataris Allah di bumi ini. Oleh karena itu, memiliki anak dalam setiap keluarga haruslah memperhatikan aspek kualitas kemanusiaan dari setiap anggota keluarga.
Kedua, keluarga sejahtera hanya akan tercapai jika setiap orang memiliki kepedulian akan hidup sekitarnya. Kepedulian terhadap sekitar ini menjadi penting dan menentukan sebagaimana digambarkan Yesus dalam pemberitahuan tentang apa yang akan terjadi kelak “apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya” (Mat 25:31-46).
Dalam perspektif Kristen, setiap orang dipanggil untuk mengasihi dan menjadi berkat bagi sekitarnya. Bahkan ada tugas imperatif untuk menyejahterakan masyarakat di mana ia ditempatkan (Yer. 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota dimana engkau Aku buang”). Dengan demikian, kepedulian terhadap sekitar ini juga mencakup tanggung-jawab untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera yang berkeadilan.
Oleh karena itu tidak lagi berlaku ungkapan, “Yang penting bukanlah berapa banyak anak yang saya miliki, yang penting saya mampu menyejahterakan mereka!” karena ungkapan ini jadi lepas dari konteks menyejahterakan masyarakat.
Keluarga Kristen tidak hidup untuk dirinya sendiri tetapi adalah juga untuk masyarakat sekitarnya. Logika sederhananya adalah, apabila saya memiliki anak dan saya mampu mendidiknya dengan baik, maka apabila dia duduk di salah satu bangku pendidikan, dia telah mengurangi satu kesempatan anak-anak lain untuk mendudukinya. Dalam kaitan ini, jumlah anak dalam keluarga ternyata memiliki kaitan erat juga dengan Ketahanan Keluarga, apalagi bila hal ini dikaitkan dengan daya dukung bumi yang sekarang makin mengkhawatirkan dengan berbagai gejala perusakan alam dan kelangkaan pangan.
Maka dalam perspektif Kristen, makin kecil jumlah anggota sebuah keluarga makin menunjukkan besarnya tanggung-jawab keluarga tersebut akan upaya mencapai masyarakat sejahtera yang berkeadilan. Keluarga besar (keluarga dengan jumlah anak banyak) sekalipun pada dirinya mampu dari semua aspek kehidupan hanya akan makin mengancam kecukupan sandang, pangan, papan dan aspek sosial lainnya, dan pada gilirannya akan mengancam kesejahteraan masyarakat juga.
Dengan kata lain, Ketahanan Keluarga paralel dengan masyarakat sejahtera. Kesejahteraan masyarakat hanya akan tercapai dengan mengupayakan Keluarga sejahtera dalam konteks sebagaimana disebutkan di atas.
Penulis adalah Sekretaris Umum PGI (2009 – 2014)
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...