Analisis: Pertarungan Pasca Pilpres 2014
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sulit disangkal, pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang baru saja berlangsung merupakan pertandingan paling seru dan menegangkan dalam sejarah pemilu di tanah air. Ketegangan itu sudah terasa sejak Jokowi secara resmi dicalonkan PDI-P untuk maju menjadi calon Presiden mereka pada pertengahan Maret lalu.
Tingkat elektabilitas Jokowi yang sangat tinggi ketika itu, dan figurnya yang hampir selalu menjadi “media darling”, membuat banyak lawan merasa keder, lalu melakukan segala cara untuk menyainginya. Puncaknya, kita tahu, saat ada keputusan bahwa Pilpres 2014 hanya akan diikuti dua pasang Capres-Cawapres, yakni Prabowo Subianto – Hatta Rajasa versus Joko Widodo – Jusuf Kalla. Situasi yang saling berhadapan secara diametral ini, tak pelak lagi, melahirkan polarisasi pada hampir seluruh segmen masyarakat.
Tentu saja, polarisasi dwi-kutub ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa pasca-Pilpres. Sebab, boleh dibilang, hampir tidak ada lembaga yang masih “netral” dan mampu mengatasi pertarungan sengit dua kubu yang makin lama makin sengit dan panas itu. Bahkan lembaga-lembaga survei yang biasa mengeluarkan hasil Quick Count atau hitung cepat pun terseret masuk ke polarisasi itu.
Ini jelas terlihat dari hasil hitung cepat yang dirilis seusai pencoblosan, saat suara masuk sudah lebih dari 95% sehingga tidak akan mengubah banyak hasil.Dari 11 lembaga survei, 7 di antaranya menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang. Persentase suara nasional yang diraup berkisar antara yang paling kecil 50,95% (Populi Center) sampai terbesar 53,37% (Lembaga Survei Indonesia). Namun empat lembaga survei lain, yakni Lembaga Survei Nasional (LSN), Jaringan Survei Indonesia(JSI), Indonesian Research Center (IRC) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), justru menempatkan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang, dengan selisih angka sangat tipis (kecuali Puskaptis yang memberi nilai 52,05%).
Tentu saja, perbedaan hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei itu membingungkan masyarakat umum. Siapa jadinya pemenang Pilpres 2014?Apalagi kedua kubu saling mengklaim berdasarkan hasil hitung cepat itu. Megawati Soekarnoputri, misalnya, tidak lama setelah pengumuman hasil hitung cepat, memberikan konferensi pers bahwa Jokowi-JK telah memenangkan Pilpres 2014.
Sementara itu, kubu Prabowo-Hatta juga tidak mau ketinggalan. Berdasarkan hasil hitung cepat ketiga lembaga survei tadi, Prabowo mengumumkan bahwa kubunyalah yang memenangkan pertarungan akbar Pilpres kali ini. Bahkan di depan para pendukungnya, ia berpidato menyemangati mereka untuk “waspada, siaga, dan merapatkan barisan”.
Beberapa akademisi sudahmempertanyakan kredibilitas keempat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta itu. Apalagi lembaga-lembaga survei itu tidak dikenal sebelumnya dan bahkan ada yang memiliki rekam jejak kurang sedap. Karena itu, perbedaan hasil hitung cepat tersebut akan dikaji-ulang dan diaudit oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepsi) yang menaungi tujuh lembaga survei: LSI, Indikator, SMRC, Cyrus Network, JSI dan Puskaptis.
Hamdi Muluk, anggota Dewan Etik Persepsi, saat jumpa pers Rabu (09/07) malam, mengancam akan memberikan sanksi kepada lembaga survei yang melanggar pakta integritas dan kode etik yang sudah disepakati bersama. Sebab, menurut Hamdi, seharusnya hasil hitung cepat tidak akan berbeda banyak walau dilakukan oleh berbagai lembaga survei berbeda.
Masalahnya jauh lebih krusial ketimbang sekadar kredibilitas lembaga survei. Pertama, hasil hitung cepat itu sudah keburu dipakai untuk mengklaim kemenangan salah satu pihak, dan disiarkan oleh media massa. Maka kini masyarakat dihadapkan pada dua figur yang saling mengklaim sebagai Presiden terpilih! Tentu saja, keputusan final ada di tangan KPU yang akan mengumumkan hasil real count (perhitungan riil) tanggal 22 Juli mendatang.
Namun soal ini membawa masalah kedua, yakni kemungkinan terjadi “operasi senyap”praktik-praktik curang untuk mengubah hasil rekapitulasi suara guna memenangkan salah satu pihak. Baik kubu Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK sudah saling curiga akan adanya praktik curang tersebut. Dan, bisa jadi, perasaan saling curiga itu akan terus meningkat menjelang hari-H tanggal 22 Juli nanti.
Dan akhirnya, ketiga, jangka waktu cukup lama yang dibutuhkan KPU guna mengumumkan hasil real count, merupakan “masa tegang” yang sangat berbahaya. Ketidakpastian siapa pemenang Pilpres ini dapat menggoyahkan stabilitas sosial-politik maupun ekonomi. Dalam sosial-politik, baik Presiden SBY maupun Menkopolhukam sudah mengingatkan agar kedua kubu saling menahan diri.Tetapi bagaimana implikasinya bagi pasar? Bagi para pelaku pasar yang harus mengambil keputusan cepat, simpang siur hasil perhitungan cepat membuat mereka bingung dalam menentukan sikap dan pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian.
Akankah ada jalan kompromi demi kepentingan bersama? Maukah salah satu kubu legowo dan mengakui kemenangan kubu lawan? Bukankah, siapapun Presiden terpilih, pada akhirnya akan menjadi Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia? Apakah para Capres memang dewasa dalam berpolitik, seperti ditunjukkan oleh rakyat Indonesia yang memilih mereka?
Itu merupakan tantangan bagi kedua kubu. Dan kita pun menantikannya dengan perasaan was-was bagaimana hasil pertarungan pasca-Pilpres kali ini!
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...