Ancaman Demokrasi dari Senayan
SATUHARAPAN.COM – Benarkan bahwa sumpah atau janji yang diucapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pada sebagian anggota Dewan atau bahkan sebagian besar, hanyalah deretan kata-kata kosong yang bahkan tidak dipahami dengan benar maknanya oleh mereka yang mengucapkan?
Drama sidang paripurna DPR RI periode 2014 – 2019 hari Rabu (1/10) membenarkan pandangan tersebut, tanpa menghilangkan penghargaan pada mereka yang konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sidang itu adalah pleno pertama mereka sebagai wakil rakyat; sidang pertama ketika mereka disapa dengan sebutan “Anggota Dewan Yang Terhormat.” Dan sidang pertama, ketika kata-kata yang diucapkan sebagai sumpah atau janji baru beberapa jam sebelumnya diucapkan, serta mereka membubuhkan tanda tangan atas sumpah dan janji itu.
Hari Rabu itu, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, yang dipilih untuk hari yang “sakral” bagi anggota DPR RI, dan juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan mereka akan menjadi anggota lembaga tertinggi negara, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Namun hari itu juga rakyat menyaksikan kualitas dan cara anggota Dewan beretika dalam sidang. Prosesnya lebih mirip pasar, bahkan pasar dengan manajemen buruk. Hiruk pikuk dengan celetukan yang tidak bermutu, dengan teransaksi yang naif. Bahkan untuk hal-hal yang dalam ukuran tugas sebagai wakil rakyat bukan substansial.
Itulah catatan pertama, dan pahit, tentang DPR RI periode 2014 -2019.
Nilai Religius Sumpah / Janji
Kredibilitas yang menurun di kalangan anggota legislatif selama ini terjadi justru karena sumpah dan janji yang mereka ucapkan “jauh panggang dari api” dengan apa yang mereka lakukan sebagai wakil rakyat. Bahkan sudah menjadi hal yang umum diketahui masyarakat bahwa mereka mengobral janji pada masa kampanye, dan segera lupa ketika duduk di lembaga legislatif.
Namun pada kali ini, mereka bahkan lupa dengan apa yang baru beberapa jam lalu mereka ucapkan sebagai sumpah dan janji sebagai anggota DPR. Sumpah dan jaji itu diucapkan dengan dipandu rohaniawan, dan dilakukan dalam sebuah tatanan yang mengadopsi nilai religius yang dianut oleh anggota Dewan.
Inilah yang mereka ucapkan pada hari Rabu (1/10), sebelum akhirnya dalam sidang pleno mereka menjunjukkan perilaku sidang yang tidak efektif yang jauh dari bunyi sumpah mereka:
"Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." (Cetak tebal oleh Redaksi.)
Dan hal itu dilengkapi dengan ucapan: "Demi Allah" (Muslim), "Semoga Tuhan menolong saya", (Kristen Protestan/Katolik), "Om atah Paramawisesa" (Hindu), dan "Demi Sang Hyang Adi Budha" (Budha).
Sebaliknya, apa yang disaksikan rakyat tentang apa yang terjadi di ruang sidang DPR adalah menculnya dengan kuat kepentingan kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan golongan. Bukan kepentingan bangsa dan negara, bukan demi tegaknya kehidupan demokrasi.
Ancaman dari Senayan
Apa yang terjadi di Senayan justru menunjukkan bahwa kehidupan politik di negara ini dalam masalah yang serius. Sayangnya ancaman yang nyata terhadap demokrasi dan kepentingan bangsa dan negara ini justru datang dari perilaku politisi di Sanayan.
Sejak menjelang pemilihan legislatif dan kemudian pemilihan presiden, kelompok kepentingan politik dan kekuasaan telah melakukan tidakan-tindakan yang banyak melencenga dari tata kesopanan dan etika dalam politik.
Penyebaran berita bohong, bahkan memutar balik fakta disebarkan sebagai kampanye hitam secara massif di rung publik dan melalui berbagai cara. Kampanye politik identitas, bahkan politik sectarian, yang merapuhkan demokrasi dilakukan dengan, seolah-olah berjalan sesuai prinsip demnokrasi.
Dan kali ini kita menyaksikan pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok, meskipun selalu disebut dengan tanpa malu sebagai demi kepentingan demokrasi dan bangsa, dalam lembaga yang seharusnya kita hormati.
Kita menghadapi ancaman, setidaknya reformasi akan semakin sulit diwujudkan, karena lembaga legislatif ini tengah dibawa untuk kepentingan yang melemahkan reformasi. Namun ancaman yang lebih besar adalah hal itu akan melemahkan demokrasi, dan jantung kehidupan demokrasi Indonesia, Senayan, tengah dalam ancaman.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...