"Nobel Perdamaian" untuk Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Malala Youzafsai menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2014, dan menjadi yang termuda di antara penerima penghargaan bergengsi ini. Kemunculan namanya tidak mengejutkan, karena tahun lalu namanya telah banyak disebut-sebut di antara yang dinominasikan.
Malala adalah remaja yang dengan gigih berjuang untuk hak anak-anak memperoleh pendidikan yang ditekan dengan ancaman oleh kelompok Taliban di kota kelahirannya di lembah Swat, di Pakistan. Dia mulai upaya itu ketika usianya begitu muda, 11 tahun.
Dia menyuarakan melalui blog yang dibuatnya tanpa mempedulikan ancaman yang harus dihadapi. Dan ancaman itu menjadi nyata ketika dia ditembak di kepalanya oleh militant Taliban, sehingga harus dirawat di Birmingham, Inggris.
Namun ancaman itu tidak menyurutkan usahanya, bahkan sebaliknya menjadi pendorong yang kuat untuk terus berjuang. Sejak itu Malala bahkan memperoleh panggung yang lebih luas. Dia bicara hak pendidikan bukan hanya untuk teman-teman di kampung halamnnya, di negaranya, tetapi meluas ke seluruh dunia.
Pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun lalu menjadikan dia ikon perjuangan hak pendidikan bagi anak-anak. Ucapannya yang terkenal adalah “One child, one teacher, one book and one pen can change the world.” (satu anak, satu guru, satu buku dan satu pena bisa mengubah dunia.)
Yang Terlemah
Apa yang diperjuangkan gadis remaja ini adalah hak asasi pada mereka yang terlemah. Dan hal ini mempertegas apa yang pernah diungkapkan oleh sejawatnya penerima Nobel Perdamaian, Nelson Mandela. Presiden Afrika Selatan ini pernah mengungkapkan bahwa sebuah bangsa akan diukur bukan pada cara melayani kaum elite, tetapi cara melayani mereka yang paling lemah.
Malala berjuang untuk hak pendidikan anak-anak, karena mereka yang paling lemah. Di tengah konflik, perebutan kekuasaan, apalagi yang dilakukan dengan cara brutal seperti di “My Swat” (demikian Malala menyebutkan tanah kelahirannya), anak-anak dan perempuan adalah kelompok paling rentan. Mereka selalu menjadi korban.
Kita menyaksikan hal serupa dalam konflik di berbagai belahan di dunia, termasuk di Suriah yang hampir empat tahun terjerumus perang saudara, di Irak, di Palestina, dan di sejumlah wilayah di Afrika. Anak-anak dan perempuan menjadi korban, bahkan diekploitasi untuk bertempur dan menjadi budak seks.
Di antara mereka yang paling menderita adalah anak-anak perempuan. Di tengah konflik dan di tengah sistem keyakinan dan kekuasaan yang korup, anak-anak perempuan ada di dasar piramida korban. Nasib mereka selalu memilukan. Dan inilah yang paling utama diperjuangkan Malala.
Pesan dari Nobel Perdamaian
Komite Nobel telah memilih Malala untuk menerima penghargaan yang mulia ini. Dia berbagi penghargaan dengan Kailash Satyarthi, aktivis hak anak dari India. Hal ini menandai pesan yang penting tentang perlunya memberi perhatian pada mereka yang selalu menjadi korban, terutama di tengah-tengah konflik: anak-anak dan perempuan, dan terutama anak-anak perempuan.
Pesan ini menyangkut hak asasi manusia dan demokrasi. Di negara dan komunitas di mana anak-anak dan perempuan diabaikan, bahkan dilecehkan, selalu terjadi dalam kekuasaan yang otoritarian, dan demokrasi terkubur dalam-dalam. Tanpa demokrasi, hak asasi manusia hanya pembicaraan kosong.
Demokrasi yang memberi ruang bagi setiap orang berbicara dan berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik adalah ruang bagi penghormatan hak asasi manusia. Tanpa demokrasi, setidaknya separoh warga, yaitu kaum perempuan tidak didengarkan. Dan tanpa demokrasi mayoritas warga tidak didengar, setidaknya mereka adalah perempuan yang merupakan separoh dari jumlah warga, dan ditambah anak-anak.
Pesan dari penghargaan Nobel Perdamaian untuk Malala dan juga Satyarthi adalah dibangunnya demokrasi dalam kehidupan negara, agar setiap pribadi dilindungi hak-haknya, terutama yang paling asasi.
Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia sekarang, pesan yang harus diambil dari pemberian Nobel Perdamaian kepada Malala dalah masalah demokrasi. Kehidupan negara dengan demokrasi yang dibangun sejak reformasi 1998 tampaknya tengah dibelokkan ke arah perebutan kekuasaan, dan mengabaikan proses yang demokratis. Politik di Indonesia tengah menjadi politik kekuasaan dan bahkan ada yang sektarian.
Indonesia negara yang masih absen dalam daftar penerima Nobel, dan beberapa kali mencoba mengajukan nama untuk itu, termasuk bidang perdamaian. Namun akan terus absen sejauh tidak bisa menunjukkan adanya konsisten berjuang untuk demokrasi dan perdamaian. Sebaliknya, figur-figur yang muncul justru sering tampil dengan perilaku yang melecehkan demokrasi.
Namun masalahnya memang bukan untuk mengejar penghargaan. Yang jauh lebih penting adalah dibangunnya demokrasi demi menghormati hak asasi setiap warga. Demokrasi adalah atmosfer agar bangsa ini menjadi terdidik, kuat, bermartabat dan beradab untuk tampil menjadi bangsa yang membangun keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Mengambil hikmah dari pesan pemberian Nobel Perdamaian bagi Malal ini, dan menjadikan komitmen untuk membangun demokrasi adalah hadiah yang paling bernilai bagi negara manapun. Hal itu jauh lebih penting ketimbang masuk daftar negara yang warganya menerima Nobel, tetapi demokrasi justru terkubur dalam-dalam.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...