Anggota Gafatar Mengeluh Dipaksa Pindah dan Harta Dijarah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Ahmad Fauzi berharap menerima ganti rugi dari pemerintah atas kerugian yang dia alami karena dipulangkan dari tempat mereka bekerja di Kalimantan Barat. Selain itu, lahan yang ditinggalkan, dijarah warga setempat.
“Selama di Kalimantan Barat saya telah berinvestasi belasan juta rupiah yang saat ini sebenarnya masih saya garap,” kata Ahmad Fauzi di Bekasi, hari Senin (1/2).
Pria yang sudah bergabung dengan Gafatar sejak 2013 itu menggarap sejumlah kegiatan yang mereka sebut sebagai program ketahanan pangan. Program itu berlangsung di Kecamatan Ela Hilir, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, di atas lahan seluas 78 hektare.
Di lokasi itu para eks Gafatar bekerja menggarap lahan untuk dijadikan lahan pertanian, kompleks perumahan, dan tambak.
“Saya bekerja menggarap lahan pertanian dengan bercocok tanam sayur-sayuran dan juga menebar ribuan benih ikan lele dan mujair,” kata dia.
Fauzi bergabung di Blok Banten menempati rumah petak berukuran 4x6 meter persegi bersama empat rekannya yang sama-sama berasal dari Banten sejak Oktober 2015.
“Rutinitas saya menggarap lahan pertanian dan tambak dimulai pukul 07.00 Wita. Pukul 12.00 Wita kami istirahat, kembali lagi kerja pukul 13.00 Wita dan selesai sore,” kata dia.
Hasil bercocok tanam dan tambak itu yang dia gunakan untuk makan sehari-hari dan menyambung hidup. “Untuk keperluan makan kita bekerja sama dengan Suku Dayak. Kami ada yang bertukar beras, sayur, ikan, dan lauk pauk lainnya,” katanya.
Dia mengaku belum memiliki pendapatan uang dari hasil bercocok tanam karena hasil tanam dan tambak hanya cukup untuk makan.
“Mungkin kalau sudah panen kami bisa dapat penghasilan sampai Rp 10 juta lebih dari hasil bercocok tanam dan tambak,” katanya.
Hingga saat ini Fauzi mengaku mengalami kerugian atas penutupan tempat aktivitas para eks Gafatar di lokasi itu.
“Saya sempat patungan dengan teman untuk membeli motor jenis Honda Revo Rp 7 juta, tapi karena dipaksa harus pulang, harta benda saya termasuk motor terpaksa dijual murah Rp 5 juta kepada warga di sana,” katanya.
Dia berharap pemerintah dapat mengganti kerugian tersebut untuk dirinya memulai hidup baru lagi di Banten.
”Saya tidak tahu mau kerja apa di Banten, karena duit sudah habis. Kemungkinan saya mau pulang ke keluarga di Purwodadi Jawa Tengah,” katanya.
Sementara itu mantan anggota Gafatar sekitar 110 Kepala Keluarga (KK) yang terdiri dari 250 jiwa termasuk anak-anak. Mereka yang mayoritas dari Jawa Timur ini, menatap dan bercocok tanam di Antibar. Mempawah Timur Kalimantan Barat.
Sebelumnya, kawasan permukiman yang mereka tempati adalah semak belukar. Kini, menjelma jadi permukiman baru yang sangat rapi dan ramai.
Kini mereka tidak terikat dalam organisasi apa pun, termasuk Gafatar yang telah dibubarkan. Mereka hanya fokus bercocok tanam di atas lahan seluas 43 hektare. Berbagai jenis tanaman mereka tanam, khususnya sayuran.
Kawasan ini punya pintu masuk agar keluar masuknya orang bisa diawasi. Seorang Petugas Jaga Pos, Wahyudi, menegaskan tidak ada maksud apa pun, apalagi menutup diri. Semua demi memberikan rasa aman kepada warga.
“Kami memang dulunya pernah menjadi anggota Gafatar. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kami juga tidak mengerti, apa salah kami dulu. Padahal organisasi kami ini bergerak di bidang sosial. Saat ini, kami hanya berusaha mencari penghidupan baru,” kata Wahyudi pertengahan Januari lalu.
Wahyudi mengatakan mereka pernah rapat dan bertemu dengan semua pihak mulai dari desa, camat, termasuk MUI. Saat itu, mereka telah memberikan pernyataan tidak lagi terlibat di Gafatar.
“Kita disuruh bubar, juga sudah kita laksanakan. Maka, sekarang kita hanya fokus melakukan cocok tanam sebagai bentuk kontribusi kepada daerah yang akan menjadi tempat kami hidup,” kata dia.
Sementara itu , salah satu mantan anggota Gafatar , Sarofi, mengatakan bergabung dengan organisasi kemasyarakatan itu sejak 2012. Namun, keluarganya berangkat ke Pontianak pada Oktober 2015 bersama dua orang lain menggunakan kapal melalui Semarang.
Selama berada di sana, Sarofi lebih banyak mengolah lahan untuk pertanian. Kini, ia bersama istri dan kedua anaknya telah kembali ke Kabupaten Kulonprogo.
“Di sana, saya menanam padi dan sayuran. Malah ini sudah ada yang siap panen, tetapi diberikan ke warga sana tidak ada yang mau,” kata dia.
Bersama warga lain, kata Sarofi, mereka telah membuka lahan pertanian hingga 10 hektare. Bahkan oleh Dinas Pertanian Pontianak, mereka masih diminta kembali membuka lahan yang ada di sekitarnya, namun mereka belum melakukannya.
Selama bergabung tidak ada kegiatan menyimpang yang dilakukan Gafatar. Justru lebih banyak kegiatan sosial dan kebangsaan yang dilakukan.
Setelah dibubarkan, mereka tetap melanjutkan program kemandirian dan ketahanan pangan demi mendukung pemerintah. Mereka ingin menghidupkan kembali pertanian.
Terbukti saat krisis moneter, hanya petani yang tidak banyak terkena imbasnya. Apalagi, kata dia, pemuda sekarang tidak mau bertani.
“Hanya ingin hidupkan pertanian dan regenerasi petani,” kata dia.
Dijarah
Detak Samarinda mengisahkan cerita pilu pasca pemulangan warga eks anggota Gafatar yang berdomisili di RT 28 Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Samarinda Utara, Kalimantan Timur Jumat. Warga setempat pun berbondong-bondong memanen hasil kebun mereka yang ditinggalkan untuk dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke masyarakat lainnya.
“Ya, kami ramai-ramai ke sini untuk memanen hasil perkebunan yang ditinggalkan warga eks Gafatar,” ujar Anita warga RT 28 Kelurahan Tanah Merah.
Anita mengaku diajak oleh warga lainnya. Sebab, bekas anggota Gafatar itu meninggalkan sisa hasil kebun mereka seperti Jagung, Singkong, Bayam, Lombok, dan kangkung.
“Sayang juga kalau tidak dipanen. Yang ada malah dimakan oleh hewan-hewan liar di sini,” ia berkilah.
Selain Anita ada juga warga setempat yang kerap disapa Pak Azis, ia terlihat sibuk mengumpulkan barang-barang sisa warga eks anggota Gafatar seperti Ember, Gayung, alat perlengkapan mandi (sabun, pasta gigi, shampoo).
“Lumayan lah masih bisa dimanfaatkan. Sayang kalau dibuang,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan sangat mengagumi sistem pertanian yang diterapkan oleh warga eks anggota Gafatar. Di mana menurutnya, sangat bagus dan tertata dengan baik.
“Saya juga petani. Dan ini bisa saja dicontoh sistem yang mereka terapkan,” ucapnya kagum.
Komnas HAM
Sementara itu Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menjadi mediator dan fasilitator dialog dalam menangani kasus kekerasan yang menimpa anggota kelompok Gafatar tersebut.
“Tidak ada cara lain selain dialog. Ada ribuan orang bermukim di suatu wilayah. Apa yang dilakukan? Ya, harus dilindungi. Ada aspek hak ekonomi, hak membangun relasi sosial, dan hak budaya yang harus dilindungi,” kata Nur Kholis.
Menurut dia, setiap warga negara mempunyai hak budaya untuk membangun relasi dengan lingkungan sekitarnya.
“Jadi, ketika ada konflik, pemerintah seharusnya menjadi penengah, bukan justru malah memaksa orang untuk pindah dari tempat tinggalnya,” katanya.
Gafatar yang berdiri pada tanggal 14 Agustus 2011 disebut banyak pihak memiliki keterikatan dengan NII lewat Ahmad Mussadeq. Mussadeq membentuk Al Qiyadah Al Islamiyah pada tahun 2000 sampai dibubarkan pada tahun 2007 setelah aliran yang dibawanya itu dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada 2010, Mussadeq mendirikan kembali organisasi serupa dengan mendirikan Komunitas Millah Abraham (Komar).
Digolongkan Kelompok Berbahaya
Mabes Polri telah menggolongkan organisasi Gafatar sebagai kelompok berbahaya.
“Kelompok ini berbahaya makanya dilarang MUI. Gerakan yang mengatasnamakan agama, tetapi tidak sesuai agama, itu berbahaya. Bukan menyerang fisik, melainkan ideologi. Mereka (Gafatar) mengaku Islam, tetapi tidak salat, tidak puasa, tidak naik haji, bahaya dari sisi ideologis,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan.
Pihak Gafatar menolak dikatakan sebagai organisasi keagamaan yang berbahaya. Juru bicara warga eks-Gafatar Wisnu Windhani mengatakan bahwa pihaknya berada di Kalimantan Barat hanya ingin bertani, dan menjadikan Borneo (Kalimantan) sebagai lumbung pangan nasional.
“Kami menanam padi, menanam sayur-mayur, melakukan kegiatan untuk kedaulatan pangan, tetapi kelihatannya di Kalimantan pun kami tidak bisa diterima. Kami tidak tahu negeri mana lagi yang mau menerima kami,” katanya.
Ia menegaskan bahwa organisasi Gafatar semata-mata organisasi sosial dan bukan organisasi agama. “Kami bukan organisasi agama. Warga kami tidak hanya beragama Islam. Organisasi ini bukan agama,” katanya. (dbs)
Editor : Bayu Probo
Banjir dan Longsor Melanda Soppeng, Sulawesi Selatan, Satu O...
MAKASSAR, SATUHARAPAN.COM- Banjir melanda Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan, pada hari Sa...