Apa Arti Sukses bagi Agus Harimurti Yudhoyono?
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM – Berkaitan dengan kesuksesan, Agus Harimurti Yudhoyono, yang mendapatkan Penghargaan Adhi Makayasa - Tri Sakti Wiratama 2000, memaknainya dengan sederhana. Kesuksesan itu relatif, tetapi secara sederhana, kesuksesan baginya harus lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini.
“Sukses itu jika kita bisa melakukan sesuatu proses yang lebih concern kepada proses, karena bangsa ini harus terproses juga perubahan atau transformasi menjadi bangsa yang maju, generasi emas, dan lain-lain, ibaratnya maraton. Bukan sprint,” kata Agus saat berbincang dengan satuharapan.com di Danyonif Mekanis 203/Arya Kemuning, Tangerang, hari Selasa (20/10).
Proses panjang harus diikuti. Ada pasang surut. Ada suka dukanya. Tetapi, itu harus dilewati. Kesuksesan akan mengikuti proses. “Seberapa besar kita meluangkan waktu, energi, dan pikiran kita untuk mencapai target tertentu sampai dengan sukses. Biasanya yang sukses adalah orang yang bekerja keras. Ya, memang kurang tidur, kurang istrirahat, kurang waktu untuk main-main,” kata dia.
Kalau pun seseorang sudah semaksimal mungkin dan masih saja menghadapi kegalanan di sana sini, Agus mengatakan itulah proses. Orang mengatakannya kesuksesan yang tertunda. Setiap orang mempunyai definisi kesuksesan berbeda-beda. Namun, sukses bukan harus nomor satu, harus paling juara. Ketika berproses lebih baik dari hari kemarin, diukur, kemudian menjadi pijakan baru untuk melangkah, melompat ke depan, itu juga disebut sukses.
“Berarti bukan sukses itu kalau tanpa hambatan, pasang surut, yang perlu dihadapi dan dinikmati. Saya suka mengatakan kepada anak buah saya atau perwira di bawah saya, enjoy the process, nanti akan ketemu dan prosesnya panjang,” kata dia.
Berkaitan dengan sumbangsih prestasi yang mengharumkan negeri ini, Agus lebih menekankan, yang penting bisa mendidik diri sendiri untuk berbuat yang terbaik sesuai kemampuannya.
“Saya hanya ingin memotret potensi yang saya miliki sendiri. Tentu saya punya kelebihan, tapi juga punya banyak kekurangan. Nah, yang penting kelebihan itu dipoles terus, kita pelihara, kita tingkatkan, kekurangannya kita perbaiki. Manusia tidak sempurna, ada berbagai aspek kehidupan ini,” katanya.
“Kita menyadari kita tahu mempunyai kekurangan, kelemahan, pelan-pelan kita perbaiki, kita sempurnakan, sehingga punya sebuah intergritas dalam diri kita untuk terus berbuat lebih baik. Jangan standar orang lain. Standar diri sendiri saja. Kalau saya begitu, saya tidak bersaing dengan -walaupun orang ini saingan-, saya berusaha tidak katakan persaingan dengan orang lain, tapi bersaing dengan diri sendiri,” dia menambahkan.
Agus mengukur. Ke depan harus selalu lebih baik lagi. “Bersaing dengan diri sendiri itu lebih nyaman. Kalau bersaing dengan orang, akan lebih tidak baik dalam hubungan sosial,” Agus mencontohkan.
Ia dapat mengikuti pendidikan dengan baik, memanfaatkan beasiswa dengan baik, demikian juga penugasan keluar, latihan, dan misi. “Karena saya rasakan kesempatan tidak akan terulang lagi. Saya tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Begitu mendapat kesempatan, saya siap melaksanakan yang terbaik karena saya yakin tidak mau menyesal di kemudian hari,” kata dia.
“Kalau itu dinilai mengharumkan nama bangsa dan TNI, saya syukuri. Alhamdulillah kalau saya berkontribusi secara positif untuk institusi yang saya cintai, TNI AD, untuk Indonesia,” dia menambahkan.
Cita-cita Ingin Menjadi TNI Sejak Kecil
Berasal dari keluarga tentara, Agus Harimurti pun bercita-cita ingin menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak kecil. Terutama, terinspirasi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Dari kecil memang ingin menjadi tentara. Ya, pasti ada inspirasi dari ayah (SBY),” kata Agus, yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sosok yang ia hormati, ia cintai, ia banggakan.
Sosok lain yang ia banggakan adalah kakeknya, Letnan Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, tokoh militer yang dihormati, yang berjasa untuk negara ini. “Keluarga besar saya juga banyak yang di militer, tapi yang paling dekat melihat figur ayah saya, yang sejak awal mencontohkan keluarga kecil kami, yakni saya, adik saya, ibu, bahwa semua butuh proses di awali semua,” kata dia.
Agus memaklumi, tentu banyak orang yang mengatakan enak menjadi anak presiden yang menjabat selama 10 tahun.
“Ya, saya pernah menjadi putra seorang presiden yang menjabat 10 tahun, tapi apakah mereka melihat saya tumbuh dari bawah? Saya juga mengikuti karier ayah dari bawah. Terlahir bukan sebagai anak seorang presiden. Terlahir sebagai anak letnan satu. Rumahnya gedek, WC-nya di luar,” dia menambahkan.
Agus mengenang perjalanan kehidupannya mengikuti penugasan ayahnya di Timor Timur, saat menjadi komandan Batalion Satuan Tempur di wilayah yang situasinya masih mencekam. “Kami menghadapi gangguan separatisme ataupun kelompok yang ingin merdeka ketika itu, saya merasakan betul betapa sulitnya keadaan, dan pengorbanan keluarga tidak sedikit,” kata dia.
“Orang juga tidak melihat bahwa saya sendiri juga melakukan sesuatu untuk saya sendiri. Artinya, saya berusaha melakukan untuk berdiri di kaki saya sendiri, belajar dengan pengalaman yang saya miliki.”
Agus mengakui sangat menyadari status sebagai anak presiden itu hanya status sementara. Pada akhirnya ia harus berdiri pada kaki sendiri. Ia sudah melakukannya, bahkan sebelum ayahnya terpilih menjadi presiden tahun 2004, dan Agus sudah mengawali karier militernya.
“Jadi memang kadang banyak orang melihat saya itu separuh saja. Tidak apa-apa. Awalnya sebel juga. Kok tidak menghargai? Saya juga berusaha kok. Ingin saya bicara seperti itu, tetapi tidak mungkin bisa bicara seperti itu setiap saat. Buat apa juga? Tidak ada untungnya juga,” Agus menambahkan.
Seiring perjalanan waktu Agus ingin menunjukkan bahwa yang penting berbuat terbaik, melakukan sesuai dengan kemampuan. Tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Sampai hari ini, ia menunjukkan, pangkatnya sama dengan pangkat teman-teman yang lulus pada tahun yang sama.
Agus mengelak isu naik pangkat terlebih dulu. Ia mengikuti proses. Mengikuti pendidikan dari Sesko Amerika pun ia mengikuti proses yang sama, mulai dari seleksi sampai tahap pusat. “Sering dibanding-bandingan terus tidak enak. Tetapi, akhirnya saya jadikan lecutan untuk saya berbuat baik walaupun jauh dari kesempurnaan. Paling tidak berbuat baik. Itulah lika-liku saya mengikuti karier yang sama dengan ayah,” Agus menjelaskan.
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...