Apa Dosa Papua sehingga Engkau Mengabaikannya?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Apa dosa Papua sehingga ia tak dibicarakan di Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day -WPFD) yang diselenggarakan oleh UNESCO dan Dewan Press di Jakarta pada 1 hingga 4 Mei 2017?
Apa dosa Papua sehingga Presiden Joko Widodo juga enggan menjawab pertanyaan tentang masih adanya restriksi terhadap wartawan untuk meliput ke Papua?
Apa dosa Papua sehingga Engkau, para wartawan dunia, mengabaikannya?
Pertanyaan ini merupakan spirit dari kegundahan yang mengemuka dari sejumlah aktivis dan jurnalis yang sangat peduli pada kebebasan pers di Papua.
Awalnya mereka berharap isu ini dapat didiskusikan secara konstruktif pada forum akbar ini, yang dihadiri oleh 1.500 wartawan dalam dan luar negeri.
Ternyata tidak. "No talk of Papua at Press Freedom Day," demikian judul berita The Jakarta Post.
Pada harian yang sama, jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi jelas namun sekaligus mengecewakan ketika membaca pernyataan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo.
Yosep memastikan bahwa sejak awal memang tidak ada rencana memasukkan isu kebebasan pers di Papua untuk dibicarakan pada forum ini.
Menurut dia, isu kebebasan pers di Papua adalah urusan domestik sedangkan WPFD adalah forum internasional, dimana fokus pembicaraan lebih kepada isu-isu yang relevan secara domestik maupun internasional.
Ini membawa pertanyaan sejauh mana sebuah isu dapat dibatasi sebagai isu domestik dan bukan sebagai isu internasional.
Pelanggaran terhadap kebebasan pers di Papua dan restriksi terhadap pers yang akan melakuan liputan ke pulau itu sudah lama menjadi sorotan.
Berbagai lembaga domestik maupun internasional, termasuk organisasi perlidungan wartawan, Reporters Without Border (RSF), International Federation of Journalists (IFJ) dan lembaga HAM, Human Rights Watch (HRW), berulang kali mengungkapkan keprihatinan atas masalah ini.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam konferensi pers menyambut WPFD dengan sangat jelas mengatakan kekerasan terhadap jurnalis di Papua terus terjadi dan kemerdekaan pers di wilayah ini buruk.
Praktik sensor dengan memblokir sejumlah situs berita Papua yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat terkait persoalan Papua juga terjadi.
Keburukan kebebasan pers di Papua semakin sempurna, dalam kalimat-kalimat siaran pers AJI, karena wilayah ini ditempatkan sebagai “daerah terlarang” yang harus bebas dari peliputan jurnalis asing.
Membuat pertanyaan "Apa Dosa Papua?" itu semakin relevan ialah karena contoh kekerasan terhadap jurnalis di Papua, bahkan terjadi hanya dua hari menjelang WPFD dilaksanakan. Dan, ironis jika sebuah forum yang dilaksanakan di Jakarta, tidak menyinggung sedikit pun hal itu.
Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com dipukuli polisi hingga terluka saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Peristiwa ini telah mendatangkan keprihatinan di dalam dan di luar negeri. Dan WPFD mengabaikannya.
Di forum Dewan HAM PBB di Jenewa, pertanyaan tentang masih adanya restriksi terhadap pers ke Papua diajukan oleh sejumlah negara kepada delegasi Indonesia, yang sedang mendapat giliran mendapat Universal Periodic Review (UPR).
Dalam pertanyaan tertulis yang diajukan oleh delegasi Inggris Raya dan Irlandia Utara, soal kebebasan pers di Papua secara eksplisit disebutkan sebagai berikut:
"What progress has been made by the Government of Indonesia with regards to allowing free access for foreign journalists to Papua since President Jokowi announced the opening of Papua to foreign journalists in 2015?"
Pertanyaan senada disampaikan oleh seorang wartawan kepada Presiden Joko Widodo saat beliau diwawancara usai menghadiri acara penganugerahan Guillermo Cano Award pada peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta Convention Center (03/05).
Tetapi reaksi Presiden Jokowi, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas, adalah sebagai berikut:
....Presiden Jokowi enggan menjawab pertanyaan tersebut melalui isyarat tangannya sambil memalingkan muka dan pergi. ....Sebelum pergi, Jokowi hanya menjawab singkat, "Sudah ya."
Padahal sebelumnya pada forum yang sama Presiden Joko Widodo meminta jurnalis berperan meluruskan kabar yang tidak benar, mempertanggungjawabkan kebebasan pers sehingga masyarakat tercerahkan oleh pelurusan berita.
Barangkali dengan penuh kerendahan hati, setiap kita harus mengingatkan Bapak Jokowi bahwa harapan yang dikemukakannya itu hanya dapat terwujud dengan syarat adanya kebebasan pers, wartawan tidak dihambat dalam melakukan pekerjaannya dan situs-situs media online tidak diblokir karena bersuara kritis.
Mereka yang mengenali permasalahan di Papua dengan baik, memang mengakui soal kebebasan pers di Papua bukan soal sederhana. Diperlukan banyak langkah --bukan satu atau dua, tetapi puluhan bahkan ratusan -- untuk dapat mengurainya.
Seorang aktivis HAM dan media yang banyak melakukan riset di Papua, berkata diperlukan banyak langkah-langkah kecil ketimbang satu langkah besar untuk menyelesaikan permasalahan di Papua.
Mengenai restriksi terhadap kebebasan pers di Papua, menurut aktivis itu, banyak invisible hands yang turut berperan, di dalam maupun di luar pemerintahan, yang resmi maupun setengah resmi.
Ketua Dewan Pers, kepada The Jakarta Post mengatakan urusan kebebasan pers di Papua tidak dapat diselesaikan pada acara WPFD. Menurut dia, hanya pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dapat menyelesaikannya sedangkan negara lain tidak dapat mencampuri urusan ini, karena alasan prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Yosep juga mengatakan bahwa Dewan Pers sudah mengunjungi Papua dan membahas masalah tersebut dengan pihak Kepolisian dan TNI, seraya mendesak mereka untuk memberi akses kepada wartawan dalam melakukan peliputan ke Papua.
Tentu upaya-upaya yang dilakukan oleh Dewan Pers harus mendapat apresiasi. Namun pada saat yang sama barangkali perlu diingatkan kembali bahwa seandainya (ya seandainya) WPFD membicarakan isu Papua, itu tak berarti telah terjadi "campur tangan negara lain terhadap isu Papua."
WPFD, sebagaimana dipahami secara umum oleh para wartawan di seluruh dunia, adalah forum para pekerja media profesional untuk membicarakan kebebasan pers DI SELURUH DUNIA (sekali lagi, DI SELURUH DUNIA) dan mendiskusikan solusinya. Oleh karena itu forum seperti WPFD seharusnya lebih dari layak untuk mendiskusikan hambatan kebebasan pers di Papua.
Apalagi, tema yang dipilih pada WPFD 2017 ini, "Critical Minds for Critical Times: Media’s role in advancing peaceful, just and inclusive societies," sesungguhnya sangat relevan terhadap situasi di Papua, saat dimana peran media diperlukan untuk membangkitkan pemikiran kritis terhadap dominasi media arus utama yang selama ini dipandang belum sepenuhnya mengungkapkan apa yang terjadi di wilayah paling timur Nusantara itu.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...