Apa Setelah Pembatasan Dilonggarkan?
SATUHARAPAN.COM-Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pemerintah di berbagai negara menyatakan bahwa pandemi virus corona baru (COVID-19) bisa diatasi dan optimistis bisa, bahkan ketika muncul peringatan bahwa akan ada gelombang kedua yang bisa jadi lebih parah. Namun demikian, kapan itu terjadi, dan sampai kapan dunia ini harus menderita akibat pandemi, nyaris belum ada jawaban.
Sejumlah negara yang dilanda wabah virus corona baru mulai menurunkan tingkat pembatasan setelah melihat ada penurunan infeksi di negara itu, sekaligus berupaya untuk bergerak pada pemulihan ekonomi yang telah sangat terpukul.
Namun segera setelah itu datang peringatan dari para pakar epidemiologi dan WHO untuk melakukan secara berhati-hati dan bertahap, bahkan harus tetap waspada ketika tingkat penularan kembali meningkat.
Jerman yang mulai pekan ini menurunkan derajat pembatasan telah menyepakati ketentuan antara pemerintah federal dan negara bagian, yaitu 50 kasus baru terinfeksi per 100.000 penduduk dalam tujuh hari terakhir di distrik-distrik. Artinya, jika itu terjadi, pembatasan ketat kembali diberlakukan.
Penemuan dan Pemahaman Baru
Berbagai penemuan dan pemahaman baru tentang virus dan penularannya, memang menumbuhkan optimisme dalam menemukan obat dan vaksin, dan cara pengobatan penyakit, serta cara mencegah virus mematikan itu. Tetapi secara paradoks juga menumbuhkan kekhawatiran, karena kapan itu terjadi terus saja belum menemukan jawaban.
Para pakar, termasuk yang di Los Alamos National Laboratory (LANL), New Mexico, Amerika Serikat, menemukan virus itu telah bermutasi, dan jenis baru ini telah dominan di dunia, sekaligus lebih menular dari jenis sebelumnya. Dan sudah diidentifikasi di tempat lain bahwa jenis baru itu mempercepat penularan.
Penemuan jenis baru dengan segera ini akan membantu dalam menemukan obat dan vaksin, sekaligus menimbulkan kekhawatiran efektivitas vaksin dan obat yang sedang dicoba, karena didasarkan pada virus jenis sebelumnya.
Penemuan lain yang disampaikan WHO juga menyebutkan bahwa orang yang terinfeksi virus corona dan menumbuhkan antibodi, ternyata juga tidak berarti orang itu kebal dari virus itu. Artinya masih berpotensi untuk terinfeksi kembali. Dan berbagai negara telah menyebutkan temuan tentang pasien yang terinfeksi kembali.
Upaya para pakar dan lembaga memang terus dipacu, termasuk uji coba vaksin, obat dan penggunaan plasma darah orang yang telah pulih, dan usaha itu memberikan optimisme bahwa pandemi ini bisa diatasi. Sekalipun, melahirkan pertanyaan tentang kapan itu terwujud, jawabannya masih terus mengambang.
Gelombang Kedua
Sejumlah pakar menyebutkan akan ada gelombang kedua pandemi. “Akan ada gelombang kedua, tetapi... apakah itu gelombang kecil atau gelombang besar, masih terlalu dini untuk mengatakan," kata Olivier Schwartz, kepala unit virus dan kekebalan di Institut Pasteur Prancis.
Virus corona diketahui telah menginfeksi lebih dari 3,6 juta orang di dunia sejak pertama ditemukan Desember tahun lalu di Wuhan China, dan menewaskan lebih dari 251.000 orang, menurut penghitungan oleh Johns Hopkins University.
Beberapa negara mulai melonggarkan pembatasan, karena penurunan kasus baru, tetapi di Amerika Selatan dan Afrika justru tengah menyaksikan peningkatan kasus terinfeksi. Bahkan di dalam negeri AS, di mana New York melihat penurunan kasus, tetapi di luar itu tengah menyaksikan peningkatan kasus.
Prediksi tentang gelombang kedua ini juga didasarkan pengalaman satu abad yang lalu dengan wabah Flu Spanyol. Gelombang kedua wabah flu ini jauh lebih mematikan daripada yang pertama, sebagian karena pihak berwenang mengizinkan pertemuan massal dari Philadelphia ke San Francisco, AS.
Dari Italia, salah satu negara Eropa yang pertama terpukul pandemi ini, peringatan ancaman gelombang kedua ketika pembatasan dilonggarkan juga lebih keras disampaikan. “Kita belum keluar dari epidemi. Kita masih di dalamnya. Saya tidak ingin orang berpikir tidak ada risiko lagi dan kita kembali normal," kata Dr. Giovanni Rezza, kepala departemen penyakit menular Italia.
Tidak Akan Sama Lagi
Berbagai negara, termasuk Indonesia mencoba untuk melonggarkan pembatasan. Menteri Perhubungan mengatakan bahwa mulai hari Rabu (7/5) semua moda angkutan umum kembali beroperasi. Tapi kita masih bertanya, apakah masyarakat memahami benar situasinya, bahwa pelonggaran itu tidak berarti bahwa kehidupan akan normal seperti sebelum pandemi.
Berbagai pesan di seantero dunia makin jelas bahwa pelonggaran pembatasan berarti juga perubahan dan transformasi dari perilaku sebelum pandemi. Ini berarti bahwa praktik jarak sosial dan fisik harus terus terjadi, mencuci tangan dan kebersihan harus menjadi kebiasaan dan budaya, membersihkan ruang dan fasilitas publik menjadi keharusan dan rutin dilakukan, sistem kesehatan, khususnya rumah sakit dan klinik harus lebih memperhatikan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Bahkan cara kita berinteraksi dengan orang lain akan mengalami perubahan.
Kehidupan kita selama pandemi didorong untuk berubah, dan selama berdiam di rumah memungkinkan kita untuk refleksi bahwa kehidupan menuju dan setelah pandemi berlalu juga harus berubah. Dan banyak hal, selama dan setelah pandemi memang tidak akan sama lagi, dan harus menjadi lebih baik dalam mencegah kemungkinan “pandemi” yang lain.
Dalam konteks ini di Indonesia, kita berharap bahwa pembukaan semua moda angkutan yang dimulai hari ini tidak sekadar karena desakan ekonomi, tetapi melihat kepentingan yang lebih luas. Kita berharap angkutan umum dijaga kebersihannya dan awak serta penumpang saling menjaga keselamatan dan keamanan.
Lebih dari Masalah Medis dan Kesehatan
Pandemi COVID-19 telah menunjukkan dampaknya bahwa hal itu jauh melampaui masalah medis dan kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial dan spiritual yang terlihat dari perilaku dan tata kehidupan manusia.
Itu sebabnya, masalah pandemi ini tidak hanya akan bisa diatasi oleh penemuan dan penelitian secara medis dan kesehatan. Itu penting dan diperlukan, tetapi bisa tidak relevan ketika kita juga tidak berubah dalam perilaku yang terkait dengan kehidupan ekonomi, sosial dan spiritual untuk membuat masyarakat tahan terhadap kemungkinan penularan virus.
Itu sebabnya, para pemimpin agama dan lembaga dari berbagai agama, mengajak untuk olah spiritual dan iman dalam bekerja sama mengatasi wabah global ini. Ini termasuk ajakan Paus Fransiskus dari Vatikan dan Imam Besar Al Azhar, Mohamad Al-Tayeb untuk puasa dan doa pada 14 Mei mendatang.
Pandemi ini menuntut warga untuk mengalami perubahan hidup yang lebih sehat secara holistik, dan melihat masalah ini tidak sekadar soal medis dan kesehatan. Dan kembali pada umat manusia di seluruh dunia, pertanyaannya bukan pada apakah gelombang kedua akan terjadi, atau apakah mutasi virus jenis baru lebih ganas, atau apakah obat dan vaksin akan diproduksi, tetapi kapan itu terjadi. Jawabannya kembali tidak mudah, karena akan kembali pada jawaban kita sendiri atas pertanyaan: kapan kita menjalani transformasi ke kehidupan yang lebih sehat secara holistik. Kegagalan bertransformasi dalam kehidupan yang sehat akan mendatangkan gelombang kedua pandemi ini, bahkan pandemi yang lain.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...