Corona dan Perubahan Model Ibadah
Pada tataran umat proses adaptasi ritus keagamaan dapat diterima tanpa perlu menimbulkan debat teologis yang rumit.
SATUHARAPAN.COM – Pada pertengahan April lalu sebuah berita pendek di CNN menarik perhatian publik. Gerald Glenn, pendeta dari Gereja Evangelis New Deliverance di Virginia, wafat karena tertular virus Corona.
Sudah banyak korban akibat pandemi Corona. Namun, kasus Glenn menarik perhatian publik karena ia tidak mengindahkan anjuran untuk tidak berkerumun dan melakukan penjarakan fisik, malah sempat berkhotbah (pada akhir Maret) bahwa Tuhan lebih besar dari virus tersebut. Tak lama setelah khotbah itu, menurut CNN, putri Glenn mengaku lewat video bahwa ayah dan ibunya positif tertular Corona.
Kasus tragis sekaligus ironis yang menimpa Glenn sedikit banyak dapat menggambarkan bagaimana reaksi awal kaum beragama, terutama para pimpinannya, terhadap serbuan virus ini. Pagebluk Corona memang telah mengguncang dan mengajukan persoalan mendasar pada hidup keagamaan, mulai dari persoalan klasik teodise—di mana Tuhan dalam pandemi yang sudah memakan korban begitu banyak—sampai pada ritus-ritus keagamaan yang lazim dijalankan.
Mari kita kesampingkan dahulu persoalan teodise yang terlalu abstrak dan jelimet itu, dan melihat dampak Corona pada ritus keagamaan. Sebab di sini ada persoalan yang, menurut kami, menarik untuk didedah.
Adaptasi ritus
Kini kita makin menyadari, cara terbaik untuk melawan virus Corona adalah dengan memutus mata rantai penyebarannya. Karena itu anjuran ”di rumah saja” dan ”jaga jarak” serta ”pakailah masker” gencar disuarakan.
Akan tetapi, semua anjuran itu mengguncang pola hidup keagamaan yang lazim diwarnai oleh semangat festival yang bersifat komunalistik. Sulit membayangkan suatu agama tanpa dimensi komunal atau ”hidup berjamaah”. Walau penghayatan keagamaan selalu menekankan pilihan dan pengalaman personal, namun pilihan dan pengalaman tersebut selalu perlu diletakkan dalam kebersamaan umat yang membentuk paguyuban orang beriman.
Invasi virus Corona justru menghantam pengalaman komunal itu. Tidak heran jika agama-agama terkesan goyah menghadapi pagebluk Corona, lalu berusaha menafikannya. Akibatnya sungguh fatal. Di Korea Selatan, seorang pendeta akhirnya minta maaf karena aktivitas di gerejanya menjadi titik pangkal penyebaran virus. Di Indonesia persidangan tahunan suatu Sinode Gereja Kristen disebut sebagai salah satu titik penyebaran juga.
Karena itu, agama-agama lalu ”dipaksa” untuk melakukan adaptasi terhadap situasi yang baru. Banyak ritus keagamaan yang tadinya bersifat komunal, seperti ibadah bersama dalam gedung gereja atau masjid, kini harus dilaksanakan secara daring, entah melalui internet atau siaran langsung televisi. Dan fenomena ini menimbulkan debat tersendiri, mulai dari apa landasan hukum dan teologisnya, sampai bentuk-bentuk pelaksanaan ibadah.
Lalu bagaimana reaksi umat beragama terhadap adaptasi ritus tersebut?
Hasil survei
Untuk mengetahui bagaimana umat beragama, khususnya jemaat gereja-gereja Kristen bersikap dalam situasi pandemi Corona, tim komisi penelitian dan pengembangan (Litbang) PGI melakukan survei daring.
Survei tersebut berlangsung antara 28 -31 Maret 2020 melalui internet dan diikuti oleh 2741 responden di seluruh Indonesia yang tersebar dari Sumatera sampai Papua, dengan komposisi berimbang lelaki dan perempuan. Dua pertiga responden tinggal di Jawa, mayoritas berpendidikan tinggi (86,4%) dan berusia antara 30-59 (72.5%) tahun. Mayoritas responden (97%) mengaku mendapatkan informasi dari gereja terkait pagebluk Corona.
Dari survei, mayoritas responden (95,5%) menyatakan setuju pada praktik ibadah daring. Ini dikemukakan terutama oleh responden yang berusia di atas 45 tahun, tinggal di Jawa dan berpendidikan minimal sarjana. Faktor usia di sini tampaknya memegang peran penting. Boleh jadi segmen responden berusia lanjut merasa entah berisiko tinggi jika keluar rumah, atau akan menyita banyak waktu, sehingga mereka lebih memilih ibadah daring.
Sementara itu, hanya sebagian kecil (3,9%) yang mengatakan bahwa pagebluk Corona merupakan ”hukuman dari Tuhan”. Yang menarik, pandangan ini lebih banyak dikemukakan oleh mereka yang berusia muda, tinggal di luar Jawa, dan berpendidikan paling tinggi setingkat SLTA.
Kalangan umat juga cukup patuh pada seruan pemerintah. Lebih dari tigaperempat responden (79,4%) tidak pernah berkumpul dengan anggota gereja setelah ada himbauan untuk ”di rumah saja” dan ”jaga jarak”. Akan tetapi, ada 2,8% responden yang mengaku masih berkumpul dengan anggota gerejanya. Jumlah ini ditentukan oleh posisi mereka di dalam gereja: makin tinggi posisinya (misalnya majelis jemaat atau pendeta), maka makin tinggi pula persentasenya yang masih berkumpul sampai saat survei dilakukan.
Pergeseran model beragama?
Tentu saja survei tersebut masih terbatas karena dilakukan secara daring dan hanya terfokus pada umat Kristen. Akan menarik jika dibuat survei dalam skala lebih luas yang mencakup umat berbagai agama. Namun, setidaknya potret yang disajikan menarik untuk direfleksikan.
Dari hasil survei tampaknya pada tataran umat proses adaptasi ritus keagamaan dapat diterima tanpa perlu menimbulkan debat teologis yang rumit. Bagi mereka, kerumitan teologis yang kerap mendorong perdebatan panas di kalangan para pemuka agama rupanya dirasa tidak perlu. Model ibadah daring dirasa sudah cukup memadai untuk kehidupan rohani mereka.
Jika temuan ini benar, maka setidaknya ada petunjuk terjadi perubahan model keberagamaan di masa mendatang. Bentuk-bentuk keberagamaan yang lebih bersifat komunalistik akan makin ditinggalkan, digantikan oleh model yang lebih bersifat personal individualistik. Dan proses perubahan tersebut berlangsung tanpa harus melalui perdebatan teologis yang rumit.
Evelyn Suleeman (pengajar di Departemen Sosiologi FISIP-UI)
Trisno S. Sutanto (aktivis dan peneliti di Paritas Institute)
Editor : Yoel M Indrasmoro
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...