Apa yang Bisa Dipelajari dari Banjir Jabodetabek?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Banjir yang melanda Jabodetabek di awal tahun ini, memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Penanganan banjir memerlukan pendekatan multi dimensi mencakup aspek hidrologi air dan ekologi manusia.
“Kemungkinan dan potensi-potensi bencana harus kita mitigasi. Musim hujan masih masih panjang. Kajian-kajian LIPI dapat digunakan untuk upaya mitigasi, sehingga kerugian dan korban yang ditimbulkan dapat diminalisasi,” kata Agus Haryono, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat membuka Media Briefing “Banjir Ibu Kota: Potret Aspek Hidrologi dan Ekologi Manusia” di Jakarta pada Selasa (7/1), dilansir situs resmi lipi.go.id.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M Fakhrudin menyebutkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi banjir. Yaitu curah hujan, tutupan lahan, dan sistem drainase. “Sebanyak 30 sampai 40 persen wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan air laut, dan persentasenya terus bertambah,” katanya.
Fakhrudin menjelaskan, sistem drainase di Jakarta masih mengandalkan pompa. “Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off akan cenderung terus meningkat,” katanya.
Terkait penyebab banjir awal tahun 2020 ini, Fakhrudin menjelaskan hujan memang menjadi faktor utama banjir di hilir. Sementara aliran sungai di hulu meningkatkan besaran dan lamanya banjir.
"Hujan ekstrem di hilir merupakan faktor utama terjadinya banjir di Jakarta kali ini, jadi bukan lagi salah kiriman air dari Bogor," kata Fakhrudin.
Menurut data BMKG, pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, wilayah Jabodetabek mengalami hujan sedang hingga ekstrem.
“Curah hujan harian tertinggi tercatat di daerah Halim Perdanakusuma dengan jumlah 377 mm/hari, disusul dengan daerah Depok yang mencapai 92 mm/hari,” katanya.
Fakhrudin memaparkan bahwa kecenderungan hujan deras meningkat di Jabodetabek setiap tahunnya, akibat dari krisis iklim. “Hujan ekstrem ini seharusnya menjadi acuan dalam membangun drainase air hujan,” katanya/
Perubahan Tata Ruang
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indrapahasta, mengungkapkan banjir di Jabodetabek adalah akibat tidak terkelolanya aspek teknis, ekologi, dan sosial.
Galuh menyampaikan, pembangunan ide Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat sudah direncanakan sejak zaman kolonial.
“Ini menunjukkan bahwa masalah banjir sudah menjari kekhawatiran sejak lama. Secara subsistem teknis, perlu adanya perbaikan sistem drainase dan pompa,” katanya.
Ia juga menyoroti perilaku tidak ramah lingkungan yang dilakukan masyarakat menyumbang risiko banjir.
“Sungai dilihat sebagai halaman belakang, tempat sampah komunal,” katanya. Ia menjelaskan, produksi sampah Jakarta hanya 0,5 sampai 0,8 kilogram per hari dibandingkan Singapura yang mencapai satu kilogram per hari.
“Namun di sana jarang terjadi bencana banjir. Ini berarti bukan soal sampahnya, tapi perilaku membuang sampahnya," kata Galuh.
Adaptasi Transformatif
Gusti Ayu Surtiari, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menjelaskan tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi banjir yang terjadi.
"Jabodetabek beresiko banjir karena topologi dan ekologinya, ditambah lagi curah hujan meningkat. Lalu jika banjir sudah datang, kita mau apa? Mau tidak mau kita harus beradaptasi," katanya.
Ia menambahkan, adaptasi ini harus dilakukan di semua level masyarakat mulai dari individu, regional, hingga nasional.
“Masing-masing level memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh level tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. Misalnya, adaptasi di tingkat pemerintah tidak menghambat adaptasi oleh individu atau rumah tangga,” katanya.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...