Apartheid di Sekolah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan terhadap pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan menyatakan bahwa RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional / Sekolah Bertaraf Internasional) bertentangan dengan konstitusi karena menyebabkan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Dalam keputusan itu disebutkan bahwa konstitusi mengamanatkan agar setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, tanpa diskriminasi. Meskipun ada kuota 20 persen untuk peserta didik dari kalangan tidak mampu, tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak menghilangkan diskriminasi dalam penyelenggaraan RSBI.
RSBI mungkin mempunyai tujuan yang dinilai baik. Namun ditinjau dari berbagai hal penyelenggaraan pendidikan dengan cara ini telah meremehkan banyak hal yang mendasari semangat penyelenggaraan pendidikan nasional. Pertama, penyebutan Sekolah “Bertaraf Internasional” sendiri bisa berkonotasi bahwa hal-hal yang sifatnya “internasional” dianggap lebih bermutu daripada yang “Nasional” atau yang “Nasional” dianggap lebih rendah dari yang “Internasional.”.
Sekalipun para pembuat UU di DPR dan Pemerintah mengelak adanya sikap mental yang seperti itu, pemberian label pada sekolah yang “bermutu” dengan cara yang demikian adalah sikap yang merendahkan kebangsaan kita. Setidaknya mengokohkan “mindset” yang minder terhadap kebangsaan kita.
Kedua, sikap ini makin menjadi kental dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tidak perlu dibantah bahwa penguasaan bahasa Inggris sangat penting dalam pergaulan antar bangsa, tetapi konstitusi menyebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, bahasa kenegaraan, dan karenanya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.
Penguasaan bahasa Inggris merupakan kebutuhan, tetapi tidak sepantasnya menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan pengatar di sekolah. Maka sangat memprihatinkan bahwa sikap yang tidak menghargai bahasa negara ini muncul dalam lembaga pendidikan dan dilakukan dengan dasar UU yang dibuat oleh kelompok orang yang sering menyebut diri para “negarawan”.
Ketiga, muncul informasi dari masyarakat yang menyebut bahwa ada sekolah yang dikelola dengan “politik apartheid”. Ruang untuk siswa RSBI yang ber-AC, perpustakaan, laboratorium, bahkan toiletnya, khusus untuk siswa RSBI, dan siswa reguler tidak boleh menggunakannya.
Kondisi ini mengingatkan suasana di Afrika Selatan sebelum pemerintahan demokratis tahun 1990-an di mana warga kulit hitam yang mayoritas dilarang masuk kawasan tertentu. Jika masuk kawasan itu, dia ditangkap sebagai kriminal. Atau situasi di Amerika Serikat sebelum 1970-an, sehingga Rosa Park, seorang perempuan yang duduk di bus untuk kulit putih ditangkap dan diadili. Kisah ini telah menggerakkan lahirnya revolusi Kaum Hitam.
Maka sangat mengherankan bahwa di Indonesia yang menyebut diri sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, dan seluruh penduduk mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan mempunyai hak yang sama, bisa menyelenggarakan pendidikan yang demikian.
Keempat, pembedaan secara kelas sosial ekonomi ini, karena siswa RSBI membanyar lebih banyak, berdampak pada terciptanya kelas kaya dan miskin dalam pendidikan. Bahkan dengan keputusan MK ini, muncul pengakuan bahwa banyak anak yang gagal masuk RSBI, karena orangtuanya tak mampu memenuhi biaya yang ditentukan, sekalipun lulus tes.
Konsep RSBI, akhirnya terjebak pada sekolah yang bermutu hanya untuk yang kaya. Mutu pendidikan ditentukan oleh seberapa uang yang bisa digunakan. Semestinya, mutu pendidikan dibangun atas landasan relasi, budaya dan sistem nilai yang benar di antara warga entitas pendidikan, bukan atas dasar uang.
Masalah pendidikan yang sering disebutkan mengalami memerosotan ini jangan-jangan justru penyebabnya adalah paradigma yang terbentuk didasarkan pada uang, sehingga anggaran yang ditetapkan 20 persen dari APBN hanya membebaskan dana dan bukan meningkatkan mutu. Akibatnya, proses pendidikan telah diwarnai proses yang transaksional, dan bukan relasi yang bermutu antara pendidik dan peserta didik.
Yang kelima, penyelenggaraan RSBI atau SBI, mencerminkan sikap yang naif di mana mutu hanya di mulai dengan label “standar internasional”. Apalagi muncul komentar bahwa penghapusan RSBI akan memerosotkan kembali mutu pendidikan di Indonesia. Sikap naif ini mencerminkan bahwa banyak pendidik dan penyelenggara pendidikan telah kehilangan jiwa pendidik, dan menggantungkan mutu proses pendidikan dari aturan dan biaya.
Penyelenggaraan RSBI juga mencerminkan diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip bahwa setiap lembaga pendidikan haruslah diberi kesempatan yang sama untuk meningkatkan mutu, karena juga didanai oleh negara.
Dari catatan di atas, maka keputusan MK menyadarkan kita akan kenyataan bahwa praktik diskriminasi terjadi dalam pendidikan di negara kita, bahkan sempat dilegalkan secara hukum. Untuk itu, keputusan MK harus menjadi pijakan yang serius untuk mengatasi praktik diskriminasi yang sering tersembunyi dan terselubung, tetapi terjadi dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Praktik diskriminasi masih menjadi bagian dari masalah yang harus dihadapi bangsa ini. Dan lebih lagi keputusan ini harus menjadi pijakan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan landasan yang benar.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...