Banjir di Jabodetabek: Kita Terlalu Permisif
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dilanda banjir besar. Kawasan ini nyaris lumpuh total. Aktivitas di pusat pemerintahan dan bisnis ini tidak berjalan dan kerugian mencapai triliunan rupiah. Istana negara bahkan tak luput dari banjir yang dimulai pada Selasa 15/1/2013.
Banjir besar yang melanda kawasan ini adalah untuk kesekian kalinya. Nyaris setiap tahun terjadi banjir, dan dua banjir terbesar sebelumnya terjadi pada 2002 dan 2007. Ratusan kawasan tergenang melumpuhkan kegiatan.
Banjir telah menjadi rutinitas. Hiruk-pikuk segera terjadi, berbagai pernyataan tentang penyebab banjir dibicarakan, berbagai rencana dikemukakan. Namun segera setelah air surut semua dilupakan. Dan suasana serupa akan kembali terjadi bersamaan dengan hadirnya musim hujan, curah hujan yang tinggi, sungai-sungai meluap
Banjir yang melanda ibukota dan sekitarnya mencerminkan kehidupan pemerintahan dan masyarakat telah terjebak pada rutinitas. Sayangnya rutinitas yang buruk yang terjadi. Pemerintah, pusat dan daerah, selama ini lamban dalam membangun infrastruktur yang penting untuk mengatasi banjir, bahkan izin bagi pengembang yang tidak peduli dengan tata lingkungan terus dikeluarkan.
Pemerliharaan infrastruktur selalu lamban. Sampah merupakan pemandangan yang setiap saat terlihat di setpanjang saluran air; dari sungai yang besar sampai selokan di depan pemukiman. Sampah tidak terangkut dan banyak kawasan “dihiasi” onggokan sampah. Saluran air terus menyempit dan mendangkal, dan terus dibiarkan.
Di sisi lain, perilaku masyarakat juga makin tidak pedulu. Mereka membuang sampah sembarangan, bantaran sungai dikuasai dan digunakan untuk pemukiman, sehingga kemampuan sungai untuk mengalirkan air makin kecil. Aturan ruang terbuka hijau untuk pemukiman, hanya hembusan angin yang diabaikan.
Rutinitas pun terjadi ketika banjir terjadi di musim hujan. Pejabat akan datang ke pengungsian, obral simpati, dan menyerahkan bantuan. Demikian juga para politisi, para pengusaha, termasuk perusahaan pengembang yang melakukan pengrusakan tata lingkungan.
Pembangunan infrastruktur yang dijanjikan, mungkin kemudian dijalankan, tetapi prosesnya lambat, kualitasnya rendah, dan waktunya tak tepat. Dan bau korupsi juga menjadi rutinitas dalam pembangunan.
Semua itu mendemonstrasikan bahwa kita telah menjadi begitu permisif terhadap perilaku korup dan buruk. Hal ini terjadi justru biasanya dimulai dari atas sebagai cerminan dari rusaknya kepemimpinan yang tidak bisa memberikan keteladanan. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sangat masif dalam pengelolaan tata ruang dimulai dari atas. Hukum yang tumpul, akhirnya mendorong masyarakat pun menjadi permisif bahkan terlibat dalam perilaku buruk tersebut.
Apakah banjir di Jakarta bisa diatasi? Bukan soal curah hujan yang manjadi masalah utama. Sudah dari dulu, kawasan Bogor dan Cianjur mempunyai curah hujan yang tinggi. Masalahnya adalah pada perilaku manusia: pemerintahan yang akuntabel, dan perilaku masyarakat yang taat aturan.
Banjir di Jakarta butuh perobosan dalam memperbaiki kinerja pemerintah dan birokrasi, serta perubahan perilaku pada masyarakat untuk menghargai tatanan kehidupan bersama yang saling peduli. Atau kita setiap tahun mendemonstrasikan kebodohan yang rutin dan menyedihkan.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...