Jakarta Sudah Terlalu Rakus
Banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya pertengahan Januari lalu memunculkan kembali pemikiran yang pernah ada tentang pemindahan ibu kota. Selain gagasan pada masa pemerintahan Soekarno tentang Palangkaraya sebagai ibukota negara, pada dua dekade lalu juga muncul gagasan memindahkan ibukota ke kawasan Jonggal di Bogor.
Apapun gagasan itu, memang pertanyaan besar yang muncul adalah: layakkah Jakarta sebagai ibukota? Peristiwa memalukan adalah Presiden menerima dua tamu negara Presiden Argentina dan Perdana Menteri Jepang dalam suasana Istana Negara kebanjiran. Apalagi PM Jepang mengutamakan kunjungan ke sejumlah negara ASEAN pada lawatan pertamanya ke luar negeri, karena melihat ASEAN sebagai mitra penting, dan Indonesia adalah prioritas.
Persoalannya bukan pada pemindahan ibukota, tetapi pada kemampuan Jakarta sebagai Ibukota. Sekarang ini, Jakarta telah menjadi ibu kota bagi segala hal, baik politik dan pemerintahan, ekonomi, industri, perdagangan, kebudayaan, dan pendidikan. Segala hal tergantung keputusan Jakarta, diatur dari Jakarta, bahkan oleh orang-orang di Jakarta.
Pertambangan, kehutanan, pertanian, perkebunan yang ada di daerah-daerah pada dasarnya dikendalikan dari Jakarta dan keuntungannya tersedot ke Jakarta. Uang yang beredar sebagian besar ada di Jakarta, arus migrasi manusia juga mengarah ke Jakarta. Media massa berpusat di Jakarta, dan Indonesia dilihat dari kacamata Jakarta. Barangkali hanya bidang pariwisata saja, Jakarta yang tidak di posisi puncak, melainkan Bali.
Celakanya, Jakarta juga menjadi pusat bagi hal-hal yang buruk. Korupsi terbesar ada di Jakarta, kasus yang ada di daerah banyak melibatkan orang Jakarta, kejahatan-kejahatan yang terorganisasi dalam narkotika dan pencucian uang diduga keras dikendalikan dari orang di Jakarta. Para artis yang ingin populer harus datang ke Jakarta. Segala sesuatu yang diberi label Jakarta dinilai lebih dari label daerah.
Jakarta telah menyedot segala-galanya dari daerah. Jakarta telah tumbuh menjadi begitu rakus. Perasaan terpinggirkan warga di daerah, menjadi keprihatinan tentang kohensi kebangsaan yang makin rapuh. Itu sebabnya perdebatan tentang otonomi daerah pada awal reformasi dihantui oleh disintegrasi, sehingga otonomi pada daerah tingkat dua yang tak akan tumbuh sekuat kalau otonomi di tingkat provinsi. Pemikiran yang naif, meskipun dinilai realistis.
Secara geografik, Jakarta, bahkan dengan disangga oleh sejumlah daerah di sekitarnya tak mampu menampung beban itu. Sebagai pusat segala-galanya, Jakarta menjadi daya tarik bagi orang orang daerah, dan tumbuh secara tak terkendali menjadi pemukiman yang luas hingga pernah disebut sebagai desa besar. Kawasan kumuh tumbuh di kawasan kota lama, maupun pemukiman baru.
Banjir merupakan pertanda kawasan Jakarta dan sekitarnya telah menyerah menyangga beban itu, dan menyediakan kawasan hunian dan aktivitas yang layak. Kualitas lingkungan Jakarta terus menurun dan kualitas hidup orang-orangnya pun akan segera menunggu untuk merosot.
Memindahkan ibukota tampaknya bukan pilihan yang baik, karena hanya akan memindahkan masalah yang sama dengan biaya yang maha besar. Yang perlu dipikirkan justru kesediaan Jakarta untuk menghentikan kerakusan. Hal ini berarti juga perubahan sikap dalam pemerintahan dan perilaku birokrasi.
Indonesia, termasuk dalam konteks mengurangi beban Jakarta, harus berbagi ibukota. Berbagai negara telah melakukan hal itu, sehingga kegiatannya tidak terpusat pada satu kota. Hal ini merupakan langkah penting dalam membangun ketahanan negara secara holistik.
Jadi, para pemegang kekuasaan sekarang yang telah dimanjakan oleh segala keterpusatan ini bersediakah untuk “berbagi”? Jika tidak, reformasi tampaknya akan bergulir lagi. Kalau Jakarta menjadi ibukota pemerintahan, mengapa tidak, misalnya, Surabaya menjadi ibukota industri perkapalan dan pelayaran, Balikpapan menjadi ibukota industri, Yogyakarta menjadi ibukota kebudayaan, Jayapura menjadi ibukota pertanian dan perkebunan, Makassar untuk perdagangan.
Hal ini memang memerlukan kajian mendalam dan perencanaan yang baik, namun lebih penting adalah kesediaan untuk mengembangkan desentralisasi untuk membangun kekuatan bangsa. Selama ini masalah-masalah ini terganjal oleh perilaku politik dan birokrasi yang picik yang memperoleh peluang melalukan manipulasi terselubung lewat segala keterpusatan ini, tetapi secara keseluruhan melemahkan bangsa.
Banjir di Jakarta, bukan semata-mata masalah curah hujan yang tinggi dan saluran air yang tersumbat sampah. Banjir ini adalah cerminan Indonesia dilihat secara sempit di Jakarta, sehingga berbagai masalah tidak bisa diatasi dengan baik.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...