Arab Saudi Siap Turunkan Pasukan di Suriah
RIYADH, SATUHARAPAN.COM – Pasukan Arab Saudi berpartisipasi dalam operasi darat yang dipimpin Amerika Serikat di Suriah yang fokus menyerang kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), bukan rezim Damaskus, kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi kepada AFP, hari Kamis (18/2).
Dalam sebuah wawancara di Riyadh, Menlu Arab Saudi, Adel al-Jubeir, juga mengatakan operasi militer Arab Saudi di Yaman akan dilanjutkan sampai pemerintahan setempat sepenuhnya dikembalikan. Dia juga mengatakan bahwa Arab Saudi tidak akan memangkas produksi minyak meskipun harganya jatuh.
Di Suriah, Jubeir mengatakan setiap kekuatan darat Arab Saudi akan bertempur dengan prioritas melawan NIIS atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria), meskipun ada permusuhan sengit Riyadh kepada Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
"Arab Saudi telah menyatakan kesiapannya untuk mengirim pasukan khusus ke Suriah sebagai bagian dari koalisi yang dipimpin AS, dengan tujuan untuk melenyapkan Daesh (sebutan lain untuk NIIS-red). Ini adalah misi dan tanggung jawab," katanya.
Tentang apakah misi dapat diperluas untuk operasi melawan pasukan Al Assad, Jubeir mengatakan, "Ini akan menjadi sesuatu yang diputuskan oleh koalisi internasional."
Mendukung Pemberontak
Arab Saudi mendukung pasukan pemberontak melawan Al Assad dalam perang sipil hampir lima tahun dan menegaskan dia harus turun agar konflik bisa diselesaikan.
Namun Al Assad dibantu oleh serangan udara Rusia telah membuat kemajuan besar. Dia mengatakan kepada AFP pekan lalu bahwa tujuan akhirnya adalah untuk merebut kembali semua wilayah Suriah.
Jubeir menjawab bahwa Assad "banyak bicara sejak awal krisis di Suriah. Banyak yang dia katakan tidak realistis."
"Ini situasi yang sangat tipis dan kami sedang menyaksikannya dari hari ke hari. Kami akan mencari tahu apakah Bashar al-Assad dan sekutunya serius tentang proses politik atau tidak," kata Jubeir.
Arab Saudi telah menjadi bagian dari koalisi pemboman pimpinan AS terhadap ISIS di Suriah dan Irak sejak akhir 2014. Keterlibatannya menurun setelah melancarkan serangan terhadap pemberontak Syiah Houthi yang didukung Iran di Yaman pada Maret lalu.
Beberapa analis mengatakan Arab Saudi tidak akan mampu atau bersedia mengirimkan banyak kekuatan untuk operasi darat pimpinan AS di Suriah, karena terperosok konflik yang hampir setahun dengan mendukung pemerintah Yaman.
"Ini masalah waktu sebelum koalisi internasional di Yaman berhasil memulihkan pemerintah yang sah ... mengendalikan semua wilayah Yaman," kata Jubeir.
"Dukungan bagi pemerintah yang sah akan berlanjut sampai tujuan tercapai atau sampai tercapai kesepakatan politik untuk mencapai tujuan tersebut."
Arab Saudi dan koalisi sekutu Arab memulai serangan udara terhadap Syiah Huthi setelah mereka menguasai sebagian besar Yaman dan memaksa pemerintah Presiden Abedrabbo Mansour Hadi melarikan diri dari ibu kota, Sanaa.
Houthi juga telah didukung oleh pasukan yang setia kepada mantan presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh.
Jubeir mengatakan koalisi telah membantu pemerintah merebut kembali lebih dari tiga-perempat dari wilayah Yaman, membuka jalur pasokan bantuan dan "memberikan tekanan yang cukup pada Houthi dan Saleh agar mereka serius mempertimbangkan proses politik". Namun dia menolak klaim bahwa Arab Saudi telah terperosok dalam konflik.
"Sebuah bagian yang sangat, sangat kecil dari total militer kami yang terlibat di Yaman dan tidak berhenti," kata Jubeir.
Persaingan dengan Iran
Arab Saudi dan sekutu negara-negara Teluk menuduh Iran campur tangan di seluruh wilayah Timur Tengah, sehingga Riyadh memutuskan hubungan dengan Teheran dalam pertikaian diplomatik besar awal tahun ini.
"Jika Iran ingin memiliki hubungan baik dengan Arab Saudi, Iran harus mengubah perilaku dan mengubah kebijakannya," kata menteri.
Dia juga menolak bahwa Arab Saudi merasa ditinggalkan oleh sekutu lamanya, Amerika Serikat, terkait kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia.
"Sama sekali tidak," kata mantan duta besar Arab Saudi untuk AS itu. "Saya tidak melihat pengurangan apapun dari hubungan itu. Jika ada, saya melihat penguatan hubungan itu seiring berjalannya waktu."
KerajaanArab Saudi terlibat dalam pertempuran di pasar dengan para produsen minyakdunia. Dan sebagai anggota terbesar OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak), telah menolak untuk memangkas produksi meskipun terjadi penurunan harga sekitar 70 persen sejak pertengahan 2014.
Pada hari Selasa, Arab Saudi membuat persetujuan dengan negara non-OPEC, Rusia untuk menstabilkan pasar minyak dunia. "Mungkin produsen lain ingin membatasi atau menyetujui pembatasan produksi tambahan yang mungkin berdampak pada pasar, tapi Arab Saudi tidak siap untuk memotong produksi," kata Jubeir.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...