Ariel Heryanto: Mengapa Pengungsi Berbondong-bondong ke Negara Kafir?
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM -Pertanyaan seperti dalam judul berita ini menggelitik pikiran cendekiawan Indonesia yang kini bermukim di Australia, Ariel Heryanto. Pertanyaan itu, yang pernah ia baca dalam sebuah akun facebook, kembali ia perbincangkan lewat note di akun facebooknya. " Mengapa para pengungsi dari Suriah berbondong-bondong ke Eropa, bukannya ke negeri-negeri Islami? Mengapa bangsa-negara Islami tampaknya kurang perduli dan aktif menampung?," tanya cendekiawan yang kini mengajar di The Australian National University (ANU) itu.
".....selama ini kita banyak mendengar seruan solidaritas “saudara seiman” di kalangan komunitas Muslim. Apakah gemerlap ekonomi-teknologi-liberalisme-konsumerisme-gaya hidup di Eropa lebih memikat para pengungsi dari Timur Tengah yang tercabik-cabik perang dengan nuansa agama berkadar tinggi? Padahal Eropa tidak bebas dari Islam-fobia dan diskriminasi terhadap Muslim/ah," tulis dia, pada 4 September 2015. Note-nya tersebut sudah mendapa 424 like, 154 komentar dan dibagikan 389 kali (diakses pada 6 September pukul 12:45). .
Sosiolog itu mengatakan masalah pengungsi Suriah menjadi berita utama selama berminggu-minggu dalam siaran berita dunia yang ditayangkan di Australia, tempat dia tinggal. Berbagai berita itu, kata dia, berpusat pada kewalahan bangsa-negara di Eropa Barat karena dibanjiri para pengungsi dari Suriah.
Jerman menjadi pahlawan karena menampung jumlah terbesar pengungsi. Yunani dan Italia juga banyak dipuji karena menjadi tempat penampungan sementara para pengungsi dari Timur Tengah yang ingin melanjutkan perjalanan ke Jerman, Inggris dan Perancis sebagai tujuan akhir.
Kendati demikian, menurut Ariel, tidak sepenuhnya benar jika dikatakan negeri-negeri bermayoritas Muslim tidak menampung para pengungsi dari perang-saudara di Suriah. "Berbagai negeri tetangga seperti Lebanon, Turki, Yordania, dan Irak, menampung banyak pengungsi ini," tulis dia.
Walau bukan negara kaya, Lebanon menjadi penampung paling banyak di dunia jika dihitung per jumlah penduduk lokal (bukan jumlah absolut).
Ariel justru mengajak mempertanyakan negeri-negeri Islam sangat kaya di Timur Tengah yang terkesan tidak peduli pada masalah pengungsi. Dan hal ini mulai digugat banyak orang.
"....mengapa negeri-negeri Islami sangat kaya di Timur Tengah tampaknya tidak berminat menampung para pengungsi ini: Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Emirates, Bahrain. Apakah kelas sosial ikut memperparah masalah pengungsi yang sebenarnya merupakan masalah kemanusiaan?," tanya dia.
Banjir pengungsi yang terjadi saat ini, tutur dia, sudah memecahkan rekor sejak Perang Dunia Kedua. Mereka sebagian dari korban perang yang, tragisnya lagi, merupakan perang antarmanusia se-agama dengan sejarah kebudayaan yang sama atau berkait-erat, cuma berbeda aliran dalam agama yang sama.
Ariel juga mempertanyakan pendirian kelas menengah Indonesia. Ketika konflik yang tersebar di berbagai wilayah dunia sudah mencapai tingkat parah, berita utama di media massa Indonesia selama bertahun-tahun masih berkutat pada pernyataan dan perilaku beberapa gelintir individu elit politik.
"Seakan-akan gejolak dunia bisa diabaikan. Sebagian besar perhatian dan perdebatan publik tidak berkutik keluar dari isu yang disodorkan media arus utama itu, dan menjangkau masalah-masalah global yang dampaknya bisa terasa secara sangat lokal. Apakah kelas-menengah Indonesia memang bermental katak dalam tempurung, atau hiu yang berenang dalam segelas air?"
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...