AS Jatuhkan Sanksi pada Turki
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Turki, terkait invasi negara itu ke wilayah timur laut Suriah, hari Senin (14/10).
Departemen Keuangan AS telah mengumumkan sanksi terhadap dua kementerian Turki dan tiga pejabat senior pemerintah itu. Sedangkan Presiden AS, Donald Trump, mengatakan bahwa dia akan mengesahkan sanksi terhadap para pejabat Turki, menghentikan negosiasi dengan Turki terkait kesepakatan perdagangan senilai 100 miliar dolar AS, dan meningkatkan tarif baja dari negara itu menjadi 50 persen.
"Amerika Serikat tidak akan mentolerir invasi Turki di Suriah lebih jauh. Kami menyerukan Turki untuk mundur, mengakhiri kekerasan dan datang ke meja perundingan," kata Wakil Presiden Mike Pence mengatakan kepada wartawan, seperti diberitakan media Turki, Hurriyet.
Washington memberlakukan sanksi pada Kementerian Pertahanan Nasional Turki dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam. Tiga pejabat adalah Menteri Pertahanan Nasional, Hulusi Akar, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam, Fatih Donmez, dan Menteri Dalam Negeri, Suleyman Soylu.
"Kami siap untuk menjatuhkan sanksi tambahan kepada pejabat dan entitas Pemerintah Turki, sebagaimana diperlukan," kata departemen itu dalam sebuah pernyataan.
Menurut undang-undang AS, mereka yang disebutkan dalam daftar sanksi menghadapi pemblokiran properti mereka (jika ada) dan dicegah memiliki hubungan dagang dengan AS.
Senator Republik AS Lindsey Graham mengatakan bahwa ia "sangat" mendukung keputusan Presiden AS, Donald Trump, untuk menjatuhkan sanksi kepada Turki.
"Tim Presiden memiliki rencana dan saya bermaksud mendukung mereka sekuat mungkin, dan memberi mereka waktu dan ruang yang wajar untuk mencapai tujuan bersama kita," kata Graham dalam sebuah pernyataan.
Terlalu Sedikit dan Terlambat
Langkah Trump ini masih mengundang kritik dari dalam negeri. Politisi Partai Demokrat menilainya sebagai sanksi itu terlalu sedikit dan terlambat. "Pengumumannya tentang paket sanksi terhadap Turki tidak cukup untuk membalikkan bencana kemanusiaan itu," kata Ketua Parlemen AS, Nancy Pelosi.
Turki meluncurkan Operation Peace Spring pada 9 Oktober untuk melenyapkan kelompok yang Kurdi yang disebutnya sebagai teroris dari Suriah utara untuk mengamankan perbatasan Turki, membantu dalam pengembalian yang aman bagi para pengungsi Suriah dan memastikan integritas teritorial Suriah.
Ankara ingin membersihkan Suriah utara di sebelah timur Efrat dari Partai Pekerja Kurdi (PKK) dan cabangnya di Suriah, yaitu YPG atau PYD yang merupakan unit pengamanan rakyat.
Pasukan demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi yang didukung AS, adalah sebuah kelompok yang didominasi oleh YPG, dan menguasai sekitar 28 persen wilayah Suriah, termasuk sebagian besar dari perbatasan Suriah-Turki sepanjang 911 kilometer.
Turki menganggap YPG cabang Suriah dari PKK, partai yang ilegal Turki, yang disebutkan sebagai organisasi teroris, termasuk oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Dalam pernyataan pers bersama Menteri Keuangan, Steve Mnuchin, Wakil Presiden AS, Mike Pence, mengatakan Trump meminta Turki untuk menghentikan operasinya dan memberlakukan gencatan senjata segera dan memulai negosiasi dengan PYD / YPG.
"Presiden telah mengarahkan saya untuk memimpin delegasi ke Turki untuk memulai pembicaraan ini," kata Pence.
Para pemimpin Turki telah berulang kali mengatakan operasi itu tidak menargetkan Kurdi, bertentangan dengan retorika dari kalangan anti-Turki, yang menuduh bahwa militer Turki menyerang warga sipil dan perjuangan melawan sisa-sisa kelompok teror ISIS.
Sebelumnya, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Turki akan memikul tanggung jawab atas unsur-unsur ISIS yang ditahan di pusat-pusat penahanan di Suriah utara.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...