Asia Tenggara Terancam Sampah
BANGKOK, SATUHARAPAN.COM - Buruknya perencanaan kota dan lemahnya penegakan hukum dikhawatirkan mendorong Asia Tenggara menuju krisis sampah. Mulai dari Bantar Gebang, tempat pembuangan sampah termasuk dari Provinsi DKI Jakarta, di Bekasi, Jawa Barat, hingga 'gunung berasap' Manila, Filipina, tempat pembuangan sampah terbuka mengotori kota-kota Asia Tenggara.
Tempat pembuangan sampah terbuka, "hanya menawarkan solusi cepat dan mudah dalam jangka pendek," menurut studi Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik.
Para pakar memperingatkan, masalah lingkungan dan kesehatan akibat air serta lahan yang terkontaminasi. Perencana kota harus menekan urbanisasi dan mengejar pertumbuhan industri.
Bangkok, sebagai contoh adalah sebuah kota yang dipadati 12 juta warga, memproduksi sekitar 10.000 ton sampah setiap hari, menyumbang porsi besar bagi 27 juta ton sampah yang dihasilkan negara monarki konstitusional itu.
Dari 2.500 tempat pembuangan sampah terbuka di Thailand, hanya seperlima yang dikelola dengan baik menurut Departemen Pengendalian Polusi.
“Kurangnya penegakan hukum patut disalahkan,“ kata Nicha Rakpanichmanee dari Ecological Alert and Recovery Thailand (EARTH), sembari menjelaskan, rantai pembuangan sampah berpihak pada "siapa pun yang bisa membayar".
Menurutnya, 1,9 juta ton sampah beracun raib begitu meninggalkan gerbang pabrik setiap tahun, dengan banyak pemilik pabrik mencemooh hukum demi menghemat biaya buang sampah secara aman dan menyuap operator yang bersedia untuk tutup mata.
"Yang terkena dampak terbesar masalah ini adalah warga miskin, yang tidak bisa pindah ke mana-mana,“ kata Rakpanichmanee.
"Saya mau TPA ditutup," kata Jad Pimsorn, warga berusia 85 tahun yang tinggal di dekat tempat pembuangan sampah Praeska di Thailand. "Saya hidup dengan air dan tanah yang terkontaminasi. Saya tidak mau anak cucu saya mengalaminya."
Saat ini, setiap rumah tangga di Thailand membayar iuran sampah kurang dari 50 sen dolar atau Rp 6.000 per bulan.
Pemerintah kota mengatakan, jumlah tersebut tidak menyanggupi mereka untuk berinvestasi bagi pabrik daur ulang atau insinerator modern yang ramah lingkungan. Namun, mereka enggan menaikkan iuran, terutama bagi calon pemilih di permukiman-permukiman miskin.
Kini penguasa militer Jenderal Prayut Chan-O-Cha memberi harapan baru. Ia bertekad mengatasi masalah sampah di Thailand. Petinggi junta itu ingin memperbaiki kebijakan sampah setelah bertahun-tahun melewati perencanaan jangka pendek.
Departemen Pengendalian Polusi Thailand, juga menyerukan peningkatan frekuensi pengambilan sampah dan pengetatan hukum untuk menggalakkan daur ulang.
Satu solusi adalah, fasilitas yang lebih baik untuk membuat kompos dari sampah organik, terutama di negara-negara seperti Thailand, yang hampir separuh dari 1,1 kilogram sampah rumah tangga yang diproduksi setiap warga per hari adalah sampah terbiodegradasikan.
Sembari mengangkat tempat sampah berisi makanan basi dan pecahan botol bir ke dalam truk sampah, sekelompok tukang sampah di Bangkok mengatakan warga Thailand harus mengubah kebiasaan mereka atau bersiap menghadapi konsekuensi.
"Sulit untuk memecahkan masalah sampah," kata Wutthichai Namuangrak, yang tampaknya sudah kebal dengan bau menyengat dari dalam truk sampah. "Kami dapat membantu, dengan mengambil sampah, tapi warga tak bisa hanya mengandalkan kami."(dw.de)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...