Aspek Geostrategis Kawasan Maritim Natuna
Kawasan Laut Cina Selatan kini menjadi ajang perebutan kedaulatan yang akan berdampak global. Apa makna geostrategisnya?
SATUHARAPAN.COM - Perairan Natuna – sebagai bagian dari kawasan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan salah satu garis terluar perbatasan Indonesia yang secara geografis dan politik memiliki dimensi yang sangat strategis. Hal ini dapat didekati dari kaca mata konstelasi keseimbangan kawasan, keamanan dan sumber daya alam. LCS adalah jalur energi dan distribusi komoditas Negara Industri Asia Timur Utara seperti Jepang, Korea dan Tiongkok ke Afrika dan Timur Tengah dan Pasifik Barat. Sekitar 25% komoditas global, sepertiga gas alam cair (LNG) dunia, 80% minyak mentah ke Jepang, dan 40% impor minyak Cina melalui kawasan ini.
Kawasan LCS adalah medan pertempuran perebutan hegemoni perdagangan dan politik antara poros Amerika Serikat dengan bendera TPP (Trans Pacific Partnership), serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dikomandani Tiongkok. Indonesia yang sebelumnya ada di RCEP telah menunjukkan minatnya untuk juga bergabung di TPP. Dapat dimengerti, salah satu aspek strategis yang dibidik Pemerintah Presiden Jokowi dalam hal ini adalah untuk mengurangi dominasi Tiongkok dan mencoba melibatkan Amerika Serikat untuk menjaga keseimbangan pusaran ini.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia merupakan satu kesatuan teritorial yang mempertautkan garis pantai Timur Sumatera dengan pantai Kalimantan Barat dengan kawasan Natuna di dalamnya, dengan menetapkan alur pelayaran internasional - alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Sebagai konsekuensi dari penguasaan wilayah, Indonesia harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa kita mampu menjamin dan memastikan keamanan jalur lintas laut (sea lane of communication – SLOC), baik dari ancaman teroris dan pembajakan, pencurian sumber kekayaan alam, polusi, penyelundupan barang, narkoba dan orang (illegal drugs and people trafficking).
Fakta bahwa hingga saat ini pengendalian ruang udara – Flight Information Region di atas kepulauan Natuna masih berada pada Malaysia sektor B, dan Singapura Sektor A dan C (Chappy Hakim, 2006), kemampuan logistik, kapal pemburu dan fregat Lantamal IV Tanjung Pinang yang belum memadai, atau dukungan darat, radar dan pesawat terbang skadron TNI pada LanUd Natuna yang hanya tipe C tidak menunjukkan kekuatan yang meyakinkan untuk mampu menegakkan kedaulatan hukum dan keamanan mulai dari kemampuan deteksi, intersepsi dan konfrontasi baik kepada kapal nelayan pencuri ikan, apalagi dengan pasukan Negara lain yang menyatakan klaim kewilayahan.
Sampai saat ini, di beberapa bidang perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) Natuna, Indonesia masih memiliki tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam. Fakta bahwa Pemerintah Tiongkok menolak putusan Permanent Court of Arbitration di bawah PBB pada bulan Juni 2016 yang lalu, seraya tetap kukuh dengan klaim sepihak nine-dash-line di mana sebagian tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna Bagian Timur yang banyak mengandung gas patut mendapat perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Dari kaca mata geografis Malaysia, kawasan Natuna adalah ibarat tembok pemisah penghalang Semenanjung Malaysia di Barat dengan Sabah Serawak di Timur.
Lebih dari 40 tahun yang lalu (1973) lapangan gas raksasa ditemukan di Natuna Bagian Timur (46 TCF – lebih dari 4 kali cadangan gas di lapangan Abadi – Masela). Tetapi alih-alih dikembangkan, malah kontraktor penemunya (AGIP) mengembalikan ke Pemerintah Indonesia. Sementara dalam kerja sama kemudian dengan Esso - ExxonMobil – sekalipun terms nya sudah sedemikian longgar, termasuk bagi hasil 100% untuk Kontraktor, dan Pemerintah hanya berharap dari pajak, itupun sampai saat ini belum jelas kelanjutannya.
Selain kemungkinan karena hal-hal kewilayahan yang belum clear di atas, penyebab utamanya adalah karena secara teknis, operasional, ekonomi dan komersial sangat sulit untuk mengembangkannya. Lapangan gas Struktur AL mengandung lebih dari 70% CO2, yang teknologi pemisahan, pembuangan maupun injeksinya untuk volume semasif itu belum ada presedennya di muka bumi ini. Pasar yang sangat remote.
Sementara jalur pipa bawah laut untuk menyambung ke kawasan natuna barat ( West Natuna Transportation System - WNTS) lebih kurang 500 kilometer. Kita tidak tahu berapa puluh tahun lagi diperlukan baru lapangan gas tersebut dapat dieksploitasi secara komersial. Selain gas, sesungguhnya di kawasan tersebut tepatnya di struktur AP terdapat cadangan minyak 310 juta barel, diperkirakan dapat dieksploitasi segera. Kawasan Natuna juga kaya dengan sumber daya kelautan. Diperkirakan 8% populasi sumber daya hayati ikan dunia ada di sana.
kita harus belajar dari pengalaman hilangnya kedaulatan Indonesia atas wilayah Sipadan – Ligitan dengan Malaysia. Berdasarkan putusan arbitrase International Court of Justice tanggal 17 Desember tahun 2002, kepemilikan atas wilayah sengketa itu ditentukan berdasarkan adanya tiga hal yaitu, a. adanya keingingan dan kehendak (intention and will) untuk bertindak sebagai pemegang kedaulatan, b. ada aktivitas yang berkelanjutan (continued display of actual exercise), c. bagaimana pihak lawan memperlakukan wilayah sengketa tersebut.
Mengelola wilayah perbatasan Natuna, bukan sekedar perhitungan teknis keekonomian. Segeralah eksploitas lapangan minyak, lanjutkan dengan pembangunan kilang mini, sebagai dukungan logistik. Pengembangan lapangan gas di wilayah tersebut agar didesain terpadu, sehingga dapat memberi dukungan optimal terhadap sistem pertahanan perbatasan, baik dari segi logistik, radar, pangkalan maupun sumber daya manusia. Kementerian Koordinator Kemaritiman harus segera mengambil alih komando kebijakannya dan mengesampingkan keekonomian sebagai pertimbangan utama. Ini menyangkut kedaulatan dan integritas wilayah.
Penulis adalah praktisi profesional Global Energi – Alumni Lemhannas RI
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...