Atlet Indonesia Sepi Prestasi Gara-gara Industri Rokok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Bidang Advokasi Komnas Pengendalian Tembakau (PT), dr. Hakim Sorimuda Pohan mengkritisi sponsorship rokok dalam setiap perhelatan olah raga di tanah air.
“Jika kita bangsa yang mengamalkan Pancasila sila ke-2, kita tidak boleh percaya begitu saja pada industri rokok yang mensponsori dan berniat memajukan olah raga di Indonesia. Buktinya sudah banyak, prestasi kita di Asian Games, terlebih lagi di Olimpiade tidak pernah bisa masuk lima besar, padahal populasi penduduk Indonesia termasuk dalam lima besar di dunia,” kata Pohan dalam jumpa pers bertema ‘Rakyat Indonesia dukung Presiden RI menandatangani FCTC’, di kantor Pengurus IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/10).
Hakim Sorimuda Pohan menjelaskan bahwa sponsorship industri rokok tidak pernah memajukan olah raga di tanah air, tetapi mereka justru membunuh bibit-bibit olahragawan dan olahragawati di tanah air.
Para pemilik modal berhasil melahirkan perokok di Indonesia dari usia dini, indikasinya dapat dilihat dari luas tanaman tembakau secara linear turun, tetapi impor daun tembakau meningkat.
Menurut dia, tahun 1961 produksi rokok 35 miliar batang per tahun dengan luas perkebunan tembakau 240.000 hektar. Setelah 40 tahun kemudian pada 2004, luas tanaman tembakau susut menjadi 210.000 hektar, tetapi produksi rokok meningkat 240 miliar batang per tahun.
Kemudian tahun 2003 ada pengumuman dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, impor daun tembakau tahun 2005 sebesar USD 32 juta, 2012 menjadi hampir USD 500 juta. Di sinilah muncul dugaan ada pemodal kuat yang mengerahkan petani-petani untuk berdemo menuntut agar pemerintah tidak menutup industri rokok.
“Marlboro’s Boys adalah judul artikel yang dimuat di media luar negeri, suatu ejekan uncivilized nation, kita ditonton dunia sebagai bangsa yang tidak beradab, sementara mereka (pemilik modal asing) berhasil melahirkan generasi perokok, yang meneruskan generasi yang sudah meninggal akibat rokok,” tutur Pohan.
Dia menyesali Industri rokok selama ini menyoroti PHK buruh tembakau yang akan terjadi jika industri rokok dilarang di Indonesia. Industri rokok bagaikan mengeluarkan air mata untuk meminta keibaan hati. Tetapi apa yang sebenarnya terjadi?
Pohan menjelaskan bahwa yang di PHK itu adalah buruh SKT (sigaret, kretek, tangan) yang notabene upahnya jauh lebih mahal dari pada buruh SKM (sigaret kretek mesin), karena SKT harus menggunakan buruh lebih banyak daripada mesin. Maka perusahaan sebenarnya niat melakukan praktik ini supaya lebih hemat.
Sekitar 5.000-an buruh rokok sudah di PHK dengan argumen bahwa ini akibat pemerintah menaikkan cukai rokok, tetapi yang sebenarnya ada semangat kapitalistis dari industri rokok itu sendiri.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...