Pokja MUI Desak SBY Ratifikasi Peredaran Rokok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah organisasi masyakat yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCT), meskipun tinggal beberapa hari masa pemerintahannya.
Pokja MUI pun mendorong DPR RI baru agar menggunakan hak legislasinya untuk meneruskan pembahasan pengendalian tembakau.
Pokja MUI terdiri dari MUI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perlindungan Tembakau, Tobacco Control Support Center, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Demografi FEUI.
“Saya mengapresiasi iklan Depkes yang ada orang lehernya bolong akibat rokok. Saya dari pokja MUI mempunyai sikap mendorong pemerintah menandatangai dan segera meratifikasi FTCT, sesuai amanat konstitusi yaitu melindungi segenap warga negara,” kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan dalam jumpa pers bertema ‘Rakyat Indonesia dukung Presiden RI menandatangani FCTC’, di kantor Pengurus IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/10).
Tidak perlu dipertanyakan lagi berapa banyak kandungan racun yang terdapat dalam sebatang rokok. Terdapat sekitar 4000 substansi beracun, dan 69 di antaranya merupakan zat karsinogenik atau pencetus kanker.
Meskipun terdapat peringatan “Rokok Membunuhmu” di depan bungkus rokok, tetapi para perokok tidak mempunyai kesadaran kolektif, entah karena ketergantungan atau karena ia memang punya uang lebih, seperti diungkapkan Amir.
Dalam pembahasan Pokja, menurut Amir pemerintah sepertinya hanya melindungi pemilik modal. Pasalnya, Pokja menemukan ada indikasi menyembunyikan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terkait dengan upaya pencegahan peredaran rokok Indonesia.
Bagaimanapun juga, untuk membuktikannya jelas bukan tugas pokja, itu tugas pemerintah sendiri.
Dengan memakai argumen supaya buruh tembakau tidak di PHK, Amir menilai para pemangku kebijakan itu tentu saja meraup untung yang sangat besar.
Di dunia yang belum mengaksesi FTCT tinggal delapan negara, dan Indonesia negara yang paling besar di dalam delapan negara itu, karena negara yang lainnya lebih kecil dalam arti selain sulit mencari negara-negara tersebut dalam peta, pemerintahannya pun belum beres, di antaranya yang ada di Eropa yakni Andora, Monako, Liechtenstein, di Afrika yakni, Zimbabwe, Malawi, Somalia, dan Eritrea, dan di Asia hanya Indonesia.
Dari 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Indonesia juga satu-satunya yang belum memfatwa haram terhadap rokok.
“Indonesia sudah diingatkan di Sidang Ecosoft New York, tapi tetap saja negara ini tidak malu, presiden kita tidak merasa malu. Jadi kita mencurigai ada kepentingan pemerintah terhadap pengusaha,” dia menambahkan.
Aksesi FTCT begitu dirasakan urgensinya dalam pencegahan peredaran tembakau. Bercermin dari negara lain, Australia membuat polos bungkus rokok, Thailand menjual rokok dengan harga yang sangat mahal bahkan cara menjualnya pun di letakkan di bagian belakang toko dan di Uruguay menjadikan tembakau bukan hanya untuk rokok, melainkan untuk keperluan lain seperti industri obat (misal tembakau sebagai pestisida), atau untuk keperluan energi alternatif industri.
“Kita dorong SBY meninggalkan legacy hukum yang bermanfaat, kalaupun tidak bisa, akan terus kita dorong di pemerintahan selanjutnya,” ucap Amir.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...