Aturan Bukan Hanya Untuk Ahok
SATUHARAPAN.COM – Perubahann UU Pilkada (UU No 8 /2015) yang diputuskan DPR pada 2 Juni 2016, banyak diributkan sebagai upaya untuk menjegal proses pencalonan Basuki Tjahaja Purnama untuk kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, melalui jalur independen.
Perubahan itu, antara lain pada pasal 27 aya 2 yang mengharuskan petahan untuk cuti, atau kalau mereka anggota Dewan, PNS, anggota militer / polisi atau pejabat BUMN harus mundur.
Namun perubahan yang tampaknya akan menjadikan proses pencalonan, terutama calon independen, menjadi lebih rumit adalah perubahan pasal 48 tentang verifikasi dukungan warga untuk calon independen. Pasal ini menambah keharusan verifikasi faktual yang harus dilakukan KPU dalam 14 hari.
Verifikasi faktual tampaknya akan mendorong calon independen untuk tidak gegabah sekadar mengumpulkan foto kopi KTP (kartu tanda penduduk), tetapi berusaha agar dukungan itu merupakan hal yang faktuan dan kesahihannya bisa diverifikasi.
Masalahnya beban verifikasi ini akan berada di pundak KPU, apalagi waktu yang disediakan hanya 14 hari. Apakah itu waktu yang cukup bagi KPU untuk mendatangi seluruh warga yang menyatakan mendukung? Apa akibatnya jika KPU gagal memverifikasi secara faktual dukungan warga itu?
Ada ayat tambahan bahwa jika KPU gagal menemui warga, calon bisa menghadirkan warga dalam tiga hari. Pasal ini, bisa menjadi alasan KPU mengelak ketika tidak bisa menemui seluruh warga pendukung, dan mengalihkan beban verifikasi faktual pada calon. Aturan ini justru menyebabkan hilangnya kepastian, terutama siapa yang bertanggung jawab atas terlaksananya verifikasi faktual.
Pasal Yang Luput
Perdebatan perubahan UU Pilkada ini makin ramai, karena muncul pandangan dari partai politik yang melihat secara negatif munculnya calon independen, bahkan disebutkan calon independen sebagai deparpolisasi.
Pada pembahasan penyusunan UU Pilkada tahun 2014, munculnya gagasan calon independen jelas dan tidak bisa dipungkiri, antara lain karena ada kekecewaan pada partai politik. Dan makin tumbuhnya calon kepala daerah dari jalur independen memang berangkat dari erosi kepercayaan pada parpol, dan ini pantas untuk merisaukan parpol. Namun masalahnya bukan pada jalur independen, jalur parpol sendiri bagikan jalan yang berliku dan harus diperbaiki.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa makin banyak calon yang bergantung pada dukungan dan kinerja kelompok-kelompok independen warga. Ini karena mesin Parpol sering tidak berjalan dengan baik, dan banyak suara tidak didasarkan pada parpol pendukung.
Figur calon kepala daerah merupakan faktor yang lebih menentukan ketimbang parpol pendukung. Suara parpol pendukung yang tercermin di kursi DPRD sering tidak berkorelasi dengan perolehan suara calon. Ini seperti halnya dalam pemilihan parlemen, figur ketua umum partai cukup menentukan, ketimbang platform partai.
Di sisi lain, mesin parpol dalam pilkada adalah mesin yang boros dan kurang efisien. Di mana borosnya? Harga untuk mendapatkan rekomendasi parpol bagi calon kepala daerah, sudah menjadi rahasia umum, sangat besar. Bahkan banyak disebut pencalonan itu sebagai sumber keuangan penting bagi Parpol. Dan inilah sumber masalah yang menyebabkan Pilkada menjadi mahal, sangat mahal.
Padahal dalam UU Pilkada ada pasal 47 yang menyatakan Parpol dilarang menerima imbalan dalam pengajuan calon kepala daerah. Pemberi imbalan pada Parpol, siapapun, juga dilarang. Tapi praktik pelanggaran pasal ini tidak pernah diusut. Bahkan ayat ini tidak tersentuh untuk dipertegas pelaksanaannya.
Masalah ini juga sebenarnya yang menjadi pendorong munculnya jalur di luar parpol, jalur independen. Jadi, selama Parpol tidak melakukan perubahan dalam dirinya dalam proses pemilihan kepala daerah, akan dijegal bagaimanapun, jalur independen dengan dukungan ‘’suka rela’’ warga menjadi pilihan yang lebih rasional.
Bukan Hanya Ahok
Yang perlu diingat adalah bahwa aturan baru ini sebagai UU yang berlaku untuk setiap Pilkada, bukan hanya akan berlaku pada Pilkada Jakarta. Pilkada Jakarta mungkin akan menjadi ujian penting bagi perubahan UU ini, tapi nantinya akan berlaku pada daerah lain. Namun jika setelah Pilkada Jakarta UU ini diubah lagi, maka akan ada alasan kuat bahwa perubahan itu adalah ‘’bidikan’’ pada Ahok.
Apakah aturan baru ini akan menyurutkan calon independen pada Pilkada di daerah lain? Ini akan bergantung ada tidaknya figur calon yang populer yang ‘’kawin’’ dengan gerakan warga dan masyarakat sipil. Jika calon independen makin banyak, maka KPU akan semakin kesulitan dalam menjalankan kewajiban memverifikasi dukungan warga.
Dalam kasus Jakarta, mungkin tidak seberat daerah lain, karena wilayah yang tidak seluas provinsi lain, jumlah penduduk yang relatif lebih kecil, dan infrastruktur yang lebih memadai. Apa yang akan terjadi di daerah lain, seperti Jawa barat dengan 47 juta penduduk dan KPU memverifikasi sekitar tiga juta warga, Jawa Timur sedikitnya 2,5 juta warga, dan Jawa Tengah, sekitar 23 juta warga, atau provinsi lain yang wilayahnya lebih luas.
Kewajiban untuk calon menghadirkan warga ke KPU, karena KPU gagal menemui, juga akan menjadi masalah yang lebih menyulitkan. Kerepotan makin besar lagi untuk Pilkada yang dilakukan secara serentak. Jadi, konsekuensi perubahan UU Pilkada ini bukan pada Pilkada Jakarta saja, apalagi sekadar menghambat pencalonan Ahok.
Mungkin aturan baru itu akan ‘’mujarab’’ untuk menjegal calon independen, dan calon kembali memilih jalur partai sebagai pilihan satu-satunya. Tetapi, jika tetap ada ‘’bea dan tarif’’ untuk masuk jalur partai, masalahnya akan sama saja, bahkan lebih parah. Bahkan kita bisa makin pesismistis dalam mengharapkan Pilkada yang lebih berkualitas.
Oleh karena itu, jika perubahan UU Pilkada untuk menjegal Ahok, atau lebih luas menjegal calon independen, itu terapi yang keliru dan salah obat, karena diagnosa yang gegabah.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...