Tebang Pilih Pembatalan Perda
SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 3.143 Peraturan Daerah (Perda) dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo awal pekan ini. Melihat angkanya, hal ini termasuk ‘’luar biasa’’. Sebagai gambaran, pembatalan terbesar sebelumnya adalah 2.246 Perda (periode 2002-2009), 1.502 Perda (periode 2010 -2014), dan 139 Perda (periode November 2014 –Mei 2015)
Dalam sekitar tujuh tahun ini sudah ada 7.029 Perda yang dibatalkan. Secara umum Perda dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Undang-undang dan Konstitusi). Pada pembatalan yang terakhir ada alasan tambahan bahwa Perda menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Apakah itu berarti Indonesia sudah bebas dari Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi? Tampaknya belum, karena yang dibatalkan lebih banyak Perda terkait pajak, retribusi dan investasi. Sementara masih ada banyak Perda bermasalah.
BACA JUGA: |
Mengapa Banyak Perda Bermasalah?
Angka lebih dari 7.000 Perda bermasalah, tidak bisa tidak, mengarah pada indikasi kualitas legislatior di daerah. Dan hal ini bukan saja ditujukan pada legislator daerah tertentu tetapi merupakan gambaran nasional. Jika ini dilihat sebagai kritikan tajam, itu tertuju secara telak pada partai politik kita dalam menyiapkan kader-kader legislator.
Masalah itu muncul tampaknya karena prosedur pembuatan Perda cenderung dipaksakan menjadi proses instan. Yang demikian itu biasanya lebih mengakomodasi kepentingan kelompok (penguasa) ketimbang kepentingan umum, apalagi kepentingan negara.
Ada banyak masalah muncul dalam propses pembuatan Perda di mana publik kurang didengar, bahkan tidak melalui kajian yang komprehensif melalui pembuatan naskah akademik. Hal ini terlihat sekali bahwa Perda yang dibuat bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Proses yang demikian sangat berbahaya, karena akan menciptakan iklim penyusunan Perda yang didasarkan pada ‘’kekuatan’’ melalui kewenangan formal dan kelompok penekan. Padahal Perda berlaku bagi dan menyakut kepentingan semua warga.
Bagian yang lebih berbahaya adalah tentang pasal-pasal pidana yang ada di dalamnya, yang ketika diberlakukan akan menyangkut nasib semua penduduk. Adanya kecerobohan luar biasa, bahkan mungkin ada niat buruk, yang tersembunyi di belakangnya, adalah peringatan yang serius tentang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan kita.
Nasib Perda Diskriminatif
Keputusan Presiden membatalkan Perda yang tak sesuai dengan aturan di atasnya, memang patut disambut. Namun melihat bahwa Perda yang dibatalkan lebih pada yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan investasi, menunjukkan ada ‘’tebang pilih’’ dalam meninjau Perda.
Masih ada banyak Perda yang berisi pasal-pasal diskriminatif dan intoleransi atas dasar agama, keyakinan, dan jender yang tidak dibatalkan, meskipun sejumlah pihak telah menyampaikan pesan tentang adanya Perda bermasalah itu.
Menurut catatan Setara Institute, setidaknya ada 21 perda diskriminatif, bahkan menurut Komnas Perempuan yang fokus pada masalah diskriminasi pada perempuan menyebut angka 365. Sedangkan Perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama dan keyakinan ada 53 Perda.
Hal ini menimbulkan pertanyaan pada pemerintah pusat, mengapa harus ada tebang pilih dalam pembatalan Perda? Apakah masalah diskriminasi dan intoleransi dianggap bukan masalah yang serius, dan tidak mempunyai dampak pada investasi?
Jika itu pertimbangannya, pemerintah harus berpikir ulang. Masalah diskriminasi dan intoleransi adalah masalah yang sangat mendasar pada kehidupan bangsa dan negara. Membiarkan Perda seperti itu terus berlaku, meski bertentangan dengan UU dan Konstitusi adalah membahayakan negara.
Hal yang pertama digerogoti oleh Perda bermasalah itu adalah hukum berlaku secara diskriminatif, dan kekuasaan negara yang dinyatakan berdasarkan hukum, akan melemah, dan kekuasaan negara akan segera beralih berdasarkan ‘’kekuatan.’’ Hal ini akan mendorong pada situasi negara gagal, dan berujung pada berakhirnya republik kita.
Jika dinilai masalah diskriminasi dan intolerasi tidak terkait dengan ekonomi dan investasi, itu adalah pertimbangan yang sangat dangkal. Akibat dari masalah diskriminasi dan intoleransi adalah biaya sosial yang tinggi, termasuk secara ekonomi. Investasi di era sekarang bahkan tidak sepenuhnya didasarkan pada kalkulasi ekonomi dan keuangan, tetapi juga sosial dan keamanan.
Hal ini akan terlihat bahwa batalnya 3.000 lebih Perda itu tidak akan segera berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan investasui secara optimal, selama beban sosial dan keamanan akibat Perda diskriminasi dan intileransi tidak juga dibersihkan. Maka, kita menunggu tindakan segera Presiden Joko Widodo untuk hal ini.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...