Aturan Penyidikan Anggota DPR Diskriminatif, UU MD3 Digugat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana dan beberapa pemohon perorangan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang aturan mengenai penyidikan terhadap anggota DPR seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Kamis (28/8).
Para Pemohon minta MK membatalkan ketentuan Pasal 245 UU MD3 tentang peraturan penyidikan terhadap anggota DPR, yaitu keharusan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut merugikan hak-hak konstitusionalnya dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum.
“Dengan ketentuan tersebut, akan menghambat proses penyidikan yang juga akan menjadi beban terhadap APBN dan pemohon merupakan pembayar pajak menjadi salah satu sumber APBN berkeberatan dengan hal tersebut,” kata Pemohon yang tertuang dalam surat gugatan dengan nomor perkara 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014.
Pemohon menilai tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi peluang bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana untuk melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Seluruh hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi.
Pemohon menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, dan memperlambat proses peradilan karena prosedur perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya. Undang – Undang tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR.
Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. Ketentuan ini menurut Pemohon bukanlah keistimewaan untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara, namun dapat berakibat terhampatnya proses hukum. Hal ini tentunya, bertentangan dengan prinsip non diskriminasi.
“Atas dasar tersebut, para pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Pemohon dalam gugatannya.
Seperti diketahui, Anggota DPR telah mengesahkan UU MD3, pada 8 Juli. Salah satunya isi dari UU tersebut dipermasalahkan yaitu pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus atas izin Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI. (mahkamahkonstitusi.go.id)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...