Australia Pelajari Toleransi di RI, Meski Banyak Intoleransi
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia dan Australia, untuk pertama kalinya menggelar Indonesia-Australia Interfaith Dialogue (IAID), untuk berbagi pengalaman kedua negara dalam mengelola keberagaman di negara masing-masing. Dialog di Bandung, Jawa Barat, Rabu (13/3) ini, berfokus pada praktik hubungan lintas-agama, lintas-identitas, dan mengatasi radikalisme.
Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Cecep Herawan, mengatakan Indonesia dan Australia dapat saling belajar dari pengalaman dan praktik terbaik.
“Bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih toleran, mengedepankan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara. Saya rasa itu kunci semua negara untuk terus menumbuh-kembangkan pembangunan di negara masing-masing,” katanya kepada wartawan usai membuka acara dialog.
Cecep mengatakan, toleransi antar-umat beragama menjadi kunci pembangunan. “Kita belajar dari negara lain, bahwa tanpa kita toleransi dan tanpa menumbuhkembangkan sikap kehidupan yang harmoni, takkan ada pembangunan tidak akan ada masa depan untuk negara itu.”
Indonesia telah mempromosikan dialog lintas-agama di kancah regional dan internasional sejak 2004. Hal ini dilakukan antara lain lewat forum Asia-Pacific Economic Forum (APEC) dan United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC). Secara bilateral, Indonesia telah memiliki 31 mitra dialog lintas-agama, dan Australia merupakan mitra ke-32.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, mengatakan, Australia juga memiliki kondisi keberagaman yang mirip. Pemerintah Australia mencatat, 50 persen penduduknya lahir di negara lain atau memiliki orang tua dari negara lain. Negara asal mereka antara lain India, Cina, kawasan Afrika dan Timur Tengah. Situasi ini “telah mengubah Australia, wajahnya dan kepentingannya”.
Karena itu, menurut Quinlan, Australia dan Indonesia bisa saling belajar. “Indonesia adalah pemimpin dunia dalam dialog lintas-iman secara global. Kami mengagumi dan menghormati hal itu,” katanya kepada wartawan dalam kesempatan yang sama.
“Australia tentu juga punya peran (dalam dialog lintas-agama.red), kami sudah melakukannya selama beberapa tahun. Namun Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang punya sikap tertentu ketika berbicara soal keimanan di kancah global. Itu adalah kontribusi yang sangat penting dari Indonesia,” katanya.
Quinlan mengatakan, pihaknya ingin mendalami agama-agama di Indonesia, termasuk kehidupan Islam. Selain itu, dia tertarik mendalami praktik-praktik toleransi di masyarakat akar rumput Indonesia.
“Kita sering memahami legislasi itu penting, institusi itu penting. Kita selalu membicarakan dua hal itu. Tapi yang sangat kami harapkan untuk didalami adalah pengalaman di level komunitas yang Indonesia miliki dan mungkin cocok dengan kami, juga pengalaman di Australia,” katanya
Indonesia Tetap Punya Pekerjaan Rumah Toleransi
Meski dinilai jadi teladan dalam keberagaman, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah. Komnas HAM mencatat, kasus kekerasan atas nama agama terus terjadi dari tahun ke tahun. Berturut-turut terjadi 74 kasus (2014), naik ke 87 kasus (2015), dan hampir 100 kasus (2016).
Setara Institute mencatat, banyak kasus intoleransi belum selesai dalam kerangka hukum. Misalnya penyegelan gereja GKI Yasmin di Bogor dan HKBP FIladelfia di Bekasi, meski keduanya dinyatakan sah oleh pengadilan. Kemudian pengusiran Ahmadiyah di Lombok dan Syiah di Sampang.
Akhir tahun lalu, sebuah gereja di Jambi disegel pemerintah daerah, setelah diprotes warga karena tidak memiliki izin. Sementara pada Januari 2019, diskusi buku Ahmadiyah di Bandung dipersingkat karena tekanan massa.
Pekerjaan rumah itu harus juga diungkap dalam dialog Australia-Indonesia ini, ujar pendeta Gereja Kristen Pasundan (GKP), Obertina Johanis, yang menjadi moderator salah satu panel diskusi.
“Bahwa yang tadi itu masih banyak terjadi. Bagaimana caranya di masa yang akan datang kita bisa pakai forum-forum kayak gini justru untuk share. Bahwa masih banyak nih kasus-kasus, masih harus lebih serius lagi,” katanya kepada VOA.
GKP sendiri memiliki gereja di Dayeuhkolot, Bandung, yang ditutup pemerintah kota pada 2005 atas desakan kelompok tertentu. Sejak tahun 2000-an, GKP menggaet kelompok lintas iman di Jawa Barat untuk menggelar kemah pemuda lintas-iman setiap tahun dan sejumlah program edukasi lain.
Obertina mengusulkan, peserta dialog dari Australia dapat belajar dari kelompok akar rumput yang benar-benar tahu kondisi lapangan.
“Yang benar-benar selama ini tuh mendampingi kasus-kasus. Dan juga melakukan kerja-kerja untuk membuat pluralisme hidup dalam perbedaan itu suatu gaya hidup, bukan yang seremonial-seremonial,” katanya yang juga dosen di Universitas Kristen Maranatha ini.
Editor : Melki Pangaribuan
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...