Ayah Suportif Punya Anak dengan Emosi Lebih Stabil
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Co-Founder Komunitas Ayah ASI Indonesia Agus Rahmat Hidayat mengatakan bahwa anak dari sosok ayah suportif bisa memiliki emosi yang lebih stabil.
Hal tersebut disampaikan Agus dalam kelas orang tua hebat (Kerabat) seri ke-10 yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara daring di Jakarta, Kamis (17/10).
“Anak-anak yang memiliki ayah hangat dan suportif itu cenderung lebih stabil secara emosional, ini menunjukkan bahwa kehangatan seorang ayah berperan penting dalam perkembangan psikologis anak,” katanya.
Ia menyampaikan pernyataan itu berdasarkan penelitian dari Psikolog lulusan Universitas Missouri, Kolombia, Amerika Selatan, Jennifer Byrd-Craven pada tahun 2012, yang menyebutkan bahwa perkembangan ayah dengan anak yang hangat dapat meningkatkan kesejahteraan di dalam keluarga.
“Keberadaan ayah juga tidak hanya membantu anak dalam mengatasi stres dan tantangan emosional, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan, jadi anak umumnya memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi, kemampuan sosialnya lebih baik, dan lebih siap menghadapi berbagai situasi dalam hidup mereka,” paparnya.
Ia menyampaikan hasil penelitian lain dari Baker di tahun 2011, yang menyebutkan anak dengan ayah responsif lebih baik dalam bergaul dan menunjukkan perilaku pro-sosial.
“Contoh, anak yang memiliki ayah yang aktif mendengarkan dan memberikan perhatian cenderung lebih mudah berinteraksi dengan teman-temannya,” ucapnya.
Namun, kata Agus, dari segi pekerjaan, laki-laki berpenghasilan rendah yang menjadi ayah dan memiliki pekerjaan tidak stabil berpotensi kurang terlibat dalam pengasuhan.
“Mungkin dia akan lebih fokus untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Hal ini membuat suami kurang terlibat dalam kehidupan anak, karena perhatian dan energi dia terbagi antara mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar dia.
Sedangkan ayah dengan pekerjaan penuh waktu dari Senin-Jumat di waktu pagi sampai sore, lebih mungkin terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak.
“Dia mungkin punya waktu yang banyak sepulang kerja, dan sumber daya lebih baik untuk terlibat dalam pendidikan serta aktivitas anak-anak, mungkin juga bisa membantu anak dalam belajar, menghadiri acara sekolah, menjadi panutan yang lebih aktif, dan lain sebagainya. Dia cukup mapan di pekerjaannya, sehingga bisa membagi waktu untuk urusan rumah,” tuturnya.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...