Bagaimana Iran Setelah Kehilangan Qassem Soleimani
SATUHARAPAN.COM-Mayor Jenderal Qassem Soleimani disebut-sebut sebagai orang kedua paling kuat di Iran, dan tentu di bawah pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Dia adalah komandan Pasukan Garda Revolusi Islam (IRGC) elite Quds yang ditembak mati dalam serangan udara oleh Amerika Serikat di Bandar Udara Baghdad, Jumat (3/1) dini hari.
Dia pernah dijuluki sebagai "master boneka mematikan Iran" oleh mantan Jenderal AS, Stanley McChrystal. Namun dia juga dikenal sebagai sosok yang samar-samar. "Sosok yang terlalu bayangan," menurut mantan Kolonel Angkatan Pertahanan Israel (IDF), Miri Eisin.
Pembunuhan terhadap dia adalah perintah langsung oleh Presiden AS, Donald Trump. Jadi, siapakah Soleimani, sehingga menjadi target penting bagi AS?
Solemani "bukan revolusioner Iran biasa," menurut pakar Behnam Taleblu yang dikutip Al Arabiya. "Kombinasi keyakinan dan kematian Soleimani adalah apa yang membuat pasukannya begitu berbahaya," kata Taleblu, yang bekerja di Yayasan Pertahanan Demokrasi yang bermarkas di Washington.
Sebelum bergabung dengan IRGC, Soleimani sebenarnya tidak memiliki pengalaman militer. Tetapi setelah mendapatkan lebih dari 20 tahun pengalaman dalam operasional langsung, Soleimani bisa dibilang kekuatan yang paling dominan dalam sejarah militer Iran baru-baru ini.
Pengalaman Lapangan
Dia lahir di kota Kerman, Iran pada tahun 1957. Soleimani bekerja di bidang konstruksi sebelum memulai pendakiannya ke puncak militer Iran pada tahun 1979 pada usia 22 tahun. Kenaikan karirnya menjadi terkenal terjadi pada 1980-an setelah Perang Iran-Irak, di mana ia memperoleh rekor luar biasa, berpartisipasi dalam operasi militer besar, menjadikannya pahlawan nasional.
Hampir dua dekade setelah bergabung dengan IRGC, Soleimani mencapai level tertinggi ketika ia mengambil alih Pasukan Quds elite IRGC pada tahun 1988. Namun sejak itu, ketika Soleimani mencapai status selebritas di Iran, ia mundur dari sorotan internasional dan sebagian besar beroperasi dalam bayang-bayang dunia Barat.
Soleimani adalah "sosok yang terlalu bayangan," menurut mantan Kolonel Angkatan Pertahanan Israel (IDF), Miri Eisin. "Dia tahu untuk menjauh dari sorotan. Itu menambah umur panjangnya, yang berakhir hari ini,” kata Eisin, yang bertugas di komunitas intelijen Israel dan mantan penasihat Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, dalam sebuah wawancara.
Soleimani dikenal sebagai motor utama di balik pendekatan kekuatan keras Iran. Dia mengkonsolidasikan pengaruh Iran atas rekan-rekan Syiah di wilayah tersebut dan menciptakan jaringan proksi yang luas dari Lebanon ke Suriah, ke Irak, ke Yaman.
Warisan Soleimani "lebih dipahami dengan melihat bagaimana Iran telah dapat memasukkan dirinya masuk ke dalam beberapa konflik yang bukan miliknya," kata Taleblu. Soleimani memimpin kampanye melawan AS di Irak dan merekayasa pertahanan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Dukungan Soleimani untuk Hizbullah Lebanon dan kelompok Palestina, Hamas, telah menjadi fitur abadi kebijakan luar negeri Iran, yang telah memberikan dukungan keuangan dan pelatihan kepada kelompok-kelompok tersebut.
Hilangnyang Soleimani kemungkinan akan menciptakan goncangan dan ketakutan di antara proksi Iran di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan di tempat lain.
Pasukan Quds dibentuk pada tahun 1979. Pasukan ini dimaksudkan untuk memperluas pengaruh Iran di seluruh Timur Tengah dan misinya adalah untuk "membangun sel Hezbollah yang populer di seluruh dunia," kata Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei dalam pidato 1990, seperti dikutip Al Arabiya.
Pengganti Soleimani
Kematian Soleimani memang merupakan kehilangan besar bagi Iran, terutama dalam menghadapi sanksi dan tekanan AS dan sekutunya. Eskalasi ini dimulai dengan serangan terhadap markas militer yang menewaskan kontraktor AS di Irak.
AS merespons ini dengan menyerang markas kelompok milisi Khataib Hizbullah yang dituduh bertanggung jawab atas serangan terhadap orang AS. Puluhan milisi Syiah tewas dalam serangan itu, dan ini menyulut protes dan pengepungan Kedutaan AS di Baghdad.
Lokasi kedutaan ini yang dikenal sebagai kawasan hijau, sangat terjaga selama protes rakyat di Irak yang berlangsung lebih dari tiga bulan, namun bisa begitu mudah diserbu dalam protes tersebut yang mengakibatkan Dubes AS di Irak harus meninggalkan posnya.
Situasi ini sempat dibayangkan akan seperti yang terjadi ketika revolusi di Iran tahun 1979, di mana kedutaan AS di Teheran dikepung menyusul tergulingnya Syah Iran Reza Pahlavi. Itu peristiwa besar yang dianggap heroik bagi Iran, terutama pendukung Ayatollah Khomeini, yang kemudian banyak bergabung dalam pasukan Quds.
Posisi Soleimani sekarang digantikan oleh Brigadir Jenderal Esmail Ghaani, yang ditunjuk untuk komandan Pasukan Quds, naik dari posisi wakil komandan sebelumnya.
Apakah Ghaani akan mampu menggantikan Soleimani? Banyak kalangan menyebutkan bahwa Ghaani tidak mungkin bisa mengenakan sepatu Soleimani. "Tidak peduli siapa yang mengambil alih, Solemani tidak memiliki penggantinya," kata Alireza Jafarzadeh, wakil direktur Kantor Perwakilan AS, Dewan Nasional Perlawanan Iran (NCRI-AS), dikutip Al Arabiya.
“Solemani tidak dapat digantikan oleh aparat teror rezim Iran. Dia adalah salah satu penjahat paling terkenal dalam sejarah Iran,” tambahnya.
"Siapa pun yang masuk sekarang tidak akan memiliki hubungan pribadi dengan Hizbullah yang dimiliki Soleimani," kata Eisin.
Setelah Kematian Soleimani
Ketegangan segera terjadi menyusul berita kematian Soleimani oleh serangan udara AS, dan kemarahan yang meluap di Iran, dan kelompok Syiah lain, terutama di Irak dan Lebanon. Ada dugaan bahwa konflik Iran-AS akan semakin sengit dan bahkan dikhawatirkan mengarah pada tersulutnya perang.
Respons dari Iran memang mengarah kepada pembalasan yang lebih sengit bahkan disebutnya sebagai “perang suci”. Ayatollah Ali Khamenei mengatakan pada hari Jumat (3/1) bahwa pembunuhan Soleimani akan menggandakan motivasi perlawanan terhadap Amerika Serikat dan Israel. Pernyataannya itu dilaporkan oleh televisi pemerintah.
"Semua Musuh harus tahu bahwa jihad perlawanan akan berlanjut dengan motivasi berlipat ganda, dan kemenangan yang pasti menunggu para pejuang dalam perang suci," kata Khamenei dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh TV, di mana ia menyerukan tiga hari berkabung nasional. Khamenei juga bersumpah untuk "membalas dendam berat" dan pekerjaan Soleimani akan berlanjut.
Iran tampaknya menggunakan kematian Soleimani untuk memperkuat memobilisasi di dalam negeri, mengobarkan hasrat nasionalis dalam melawan AS. Ini juga momen penting untuk mengatasi krisis ekonomi dan protes rakyat yang terjadi beberapa pekan lalu. Kematian Soleimani bisa untuk sementara membuat rakyat Iran melupakan masalah yang belum lama ini mereka protes.
Kematian Soleimani juga akan menjadi alasan bagi Iran untuk mencari cara mencapai sasaran Amerika koalisinya dengan tindakan yang memiliki argumentasi. Tapi, apakah Iran akan meresponsnya sebagai perang terbuka?
AS, dan tentu juga Israel, tampaknya secepat itu juga bersiaga terhadap segala kemungkinan tanggapan Iran. Namun Iran tampaknya juga tidak membawa hal ini sampai pada perang, setidaknya dengan kalkulasi tentang situasi di Yaman, di mana Iran akan berhadapan dengan Arab Saudi, dan di Suriah masih harus berhadapan dengan pemberontak yang didukung Barat. Hizbullah di Lebanon juga menghadapi situasi krisis yang mendalam. Sementara Hamas masih belum mencapai kesepakatan dengan Fattah untuk persoalan Palestina.
Ada kemungkinan bahwa Iran memang harus menanggapi kematian Soleimani ini dengan keras dan lantang, namun harus berhitung untuk memasuki perang terbuka. Apalagi Soleimani itulah yang mendesain semua strategi Iran dalam jaringan di luar negeri.
Namun demikian, setiap kehadiran AS di Timur Tengah bisa menjadi target oleh Iran, bahkan oleh setiap organisasi Syiah, terutama yang selama ini terkait dengan jaringan yang dibangun Soleimani.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...