Bencana dan Ciri Manusia Indonesia
Tahun 2020 baru dimulai saat berbagai bencana melanda. Banyak yang mengaitkan dengan perubahan iklim global, tetapi lebih banyak yang tidak percaya. Jangan-jangan sikap terhadap bencana itu karena ciri negatif manusia Indonesia yang pernah dikritik Mochtar Lubis.
SATUHARAPAN.COM – Banyak doa dipanjatkan menjelang akhir tahun atau pada hari terakhir tahun 2019 agar semua keinginan, harapan, cita-cita, dan rencana yang belum berhasil bisa terlaksana pada 2020. Tetapi fakta berkata lain.
Hari pertama 2020 yang seharusnya disambut dengan sukacita, ternyata diawali dengan berbagai bencana di banyak tempat di Indonesia akibat hujan yang turun sepanjang malam akhir tahun. Ada banjir, tanah longsor, dan angin kencang yang mengakibatkan pohon tumbang.
Daerah yang kena banjir menurut berbagai media adalah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi, Bandung Barat), Banteng (Tangerang, Lebak Banten), Jawa Tengah (Tegal, Kudus, Brebes), dan NTT (Sikka) serta Tol Cipali km 136 Indramayu, Jawa Barat. Sedangkan daerah yang mengalami tanah longsor antara lain Jawa Barat (kabupaten Bogor), Sulawesi Selatan (kabupaten Tanah Toraja,) Jawa Timur (Pamekasan-Madura), Jawa Tengah (Batang dan Purbalingga).
Beberapa orang mengirim berita tentang banjir yang melanda rumah mereka. Teman yang tinggal di bilangan Kayu Putih-Jakarta Timur pada tanggal 1 Januari 2020 jam 5.59 mengirim pesan ”banjir depan rumah saya.. 40-50 cm”. Pada jam 14.10 di hari yang sama, ia mengirim pesan lebih mengenaskan: ”Mobil Escudo saya sudah tenggelam. Parkir di depan rumah”.
Sementara itu, seorang ibu usia 80-an, yang tinggal sendirian di daerah Jatiwaringin, Bekasi, mengirim pesan ”kebanjiran di rumah. Sudah sedada. Perabotan sudah berantakan. Kali ini lebih parah dari tahun 2007”. Pada 2007, Jakarta dan daerah sekitarnya dilanda banjir besar. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis saat itu mencapai Rp 4.3 triliun.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat, bertambah menjadi 60 orang. Dan 2 orang masih hilang sampai tanggal 4 Januari 2020 (CNN Indonesia, 05 Januari 2020 12:25 WIB).
Teknologi saat ini memungkinkan netizen cepat bereaksi atas bencana yang melanda banyak tempat. Banyak hujatan ditujukan kepada kepala daerah yang dianggap tidak bekerja maksimal untuk menjaga daerahnya agar tidak terkena bencana ini terutama banjir.
Sebaliknya, ada pula kepala daerah yang menuding pihak lain sebagai biang keladi malapetaka yang melanda daerahnya. Salah satu contoh, Bupati Lebak menuding penambangan liar di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai salah satu penyebab banjir bandang di Kabupaten Lebak-Banten (BBC.com, 3 Januari 2020).
Presiden Jokowi menyebut salah satu penyebab banjir di awal tahun baru 2020 ini karena kerusakan ekosistem dan ekologi dan perilaku membuang sampah sembarangan. Berbagai media melaporkan ada 3.188 ton sampah diangkut dari aliran Sungai Ciliwung selama bencana banjir menerjang Jakarta pada 1-3 Januari 2020.
Sedangkan pihak BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa curah hujan membuat banjir wilayah ibu kota itu adalah yang terekstrem dibandingkan sejak 1996 silam.
”Hujan tahun baru kali ini sangat ekstrem dan melanda sebagian besar Jawa bagian Barat-Utara sehingga menyebabkan banjir besar yg merata di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung Barat, bahkan Cikampek dan Cipali,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi BNPB Agus Wibowo seperti yang dikutip CNNIndonesia.com. Curah hujan yang esktrem sebagai dampak dari perubahan iklim sudah banyak dibahas sejak awal tahun 1990-an oleh peneliti dari berbagai negara.
Manusialah Masalahnya
Masalahnya, menurut polling global utama oleh YouGov-Cambridge Globalism Project, jumlah orang Indonesia juga paling banyak (18%) yang tidak percaya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dibandingkan dengan 23 negara lainnya di dunia. Bahkan 6% percaya bahwa iklim tidak berubah sama sekali. Hal ini membuat Indonesia negara dengan persentase tertinggi, di antara 23 negara yang disurvei, yang membantah adanya perubahan iklim. Sebanyak 8% responden Indonesia mengatakan manusia sebagai penyebab perubahan iklim adalah hoax dan merupakan bagian dari teori konspirasi.
Studi lain, yang dilakukan oleh University Exeter tahun 2017, menemukan bahwa orang Indonesia menganggap perubahan iklim terlalu politis dan mudah dipotilisasi. Mereka lebih suka membahas tentang ras dan gender daripada masalah lingkungan.
Memang, banjir besar Jakarta bukan cuma terjadi saat ini. Menurut artikel yang dimuat oleh CNN Indonesia, banjir melanda Jakarta telah berlangsung sejak tahun 1600-an, saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC. Banyak usaha dilakukan untuk mengatasi banjir di Jakarta, tetapi tetap sampai sekarang Jakarta tidak bebas dari banjir bila hujan lebat melanda terutama hujan di daerah hulu seperti Puncak dan Bogor.
Tentu saja berita dari CNN Indonesia itu bukan berarti tidak perlu dilakukan apa-apa untuk mencegah semua bencana terutama banjir. Jepang sebagai negara yang berada di area Cincin Api Pasifik, bisa jadi contoh. Lokasinya membuat Jepang menjadi wilayah yang sering dihantam gempa dan tsunami. Karena itu, pemerintah dan masyarakat Jepang menjadi lebih waspada. Mereka memiliki persiapan yang sangat baik guna meminimalkan korban jiwa dan kerusakan bila terjadi gempa dan tsunami.
Di sana semua informasi tentang bagaimana menghadapi gempa, tsunami dan banjir sudah diajarkan sejak SD. Selain itu setiap bulan siswa SD dilatih peka terhadap alarm peringatan bencana dan melakukan simulasi bila terjadi gempa. Pemerintah memfasilitasi sekolah-sekolah dengan alat simulasi gempa dan setiap sekolah memiliki ruang penyimpanan yang dapat digunakan siswa untuk mengamankan diri. Kantor dan sekolah-sekolah di Jepang umumnya mempunyai persediaan untuk keadaan darurat seperti air minum dalam botol. Obat-obatan, makanan kering, perlengkapan tidur portable untuk keadaan darurat bila perlu mengungsi.
Ciri Manusia Indonesia
Bila dibandingkan dengan Jepang dan melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini, agaknya beberapa ciri negatif manusia Indonesia yang pernah disampaikan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan pada tahun 1977, lebih dari empat dekade lalu, masih berlaku.
Ciri-ciri tersebut adalah hipokrit dan munafik (suka berpura-pura); enggan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan; bersikap dan berperilaku feodal sehingga bawahan harus menyembunyikan hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan atasan, sebaliknya, atasan merasa puas karena berkuasa sama artinya dengan maha tahu segala, pandai, dan maha benar. Akibatnya, hampir tidak mungkin melakukan koreksi bila ada yang perlu diperbaiki.
Percaya takhayul merupakan ciri keempat manusia Indonesia. Kepercayaan ini menyebabkan manusia Indonesia senang membuat lambang dan percaya pada semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri. Modernisasi dan perkembangan ekonomi adalah takhayul dan lambang baru. Orang Indonesia gagal melihat kerusakan-kerusakan pada nilai-nilai, kebahagiaan manusia, kerusakan lingkungan dan sumber-sumber alam oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang terjadi pada masyarakat berindustri maju.
Lemah watak atau karakter juga menjadi salah satu ciri manusia Indonesia. Ini menyebabkan manusia Indonesia kurang kuat untuk mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya termasuk di kalangan intelektual, apalagi demi kelangsungan hidup.
Ciri lainnya adalah boros, senang hidup mewah, tidak suka kerja keras kecuali terpaksa, ingin semua serba instant, kurang sabar, tukang menggerutu, cemburu, dan dengki terhadap orang yang lebih dari dirinya.
Untunglah walaupun banyak ciri-ciri negatif yang dianggap melekat pada diri manusia Indonesia, Mochtar Lubis masih melihat juga ada ciri yang positif pada manusia Indonesia. Ciri itu adalah artistik, berbakat seni. Dunia internasional mengakui daya cipta artistik manusia Indonesia. Museum-museum penting di berbagai negara maju mempunyai koleksi barang-barang seni Indonesia.
Terlepas dari benar tidaknya ciri-ciri manusia Indonesia yang negatif menurut Mochtar Lubis itu, mari kita ubah ciri manusia yang negatif menjadi ciri yang positif. Mari kita bersama belajar menyiapkan diri agar bencana seperti banjir dan tanah longsor tidak terjadi lagi. Belajarlah dari kesalahan yang ada selama ini. Sebab pepatah mengatakan, ”keledai tidak jatuh dua kali di lubang yang sama”, bukan?
Penulis adalah Dosen Sosiologi di FISIP-UI
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...