Bagaimana Seharusnya Indonesia Menyikapi Teror Paris?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kota Paris, Prancis, diserang aksi terorisme pada Jumat (13/11) malam. Presiden Prancis, Francois Hollande, pun memastikan aksi teror tersebut dilakukan oleh kelompok militant Islamic State Iraq and Syria (ISIS) dan bersumpah akan melakukan perang tanpa ampun melawan ISIS.
Berbagai sikap pun telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menyikapi insiden yang menelan lebih dari 150 korban jiwa tersebut. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang tengah mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi G-20, di Kota Antalya, Turki, mengutuk keras aksi terorisme tersebut.
Menurut Presiden Jokowi, aksi terorisme dengan alasan dan bentuk apa pun, tidak dapat ditoleransi. Untuk itu, Pemerintah Indonesia menyerukan semua pihak untuk memperkuat kerja sama internasional dalam menghadapi terorisme.
Jokowi pun menyampaikan, sebagai negara penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia adalah Islam yang toleran, modern dan moderat. Umat Islam di Indonesia sadar pentingnya Indonesia karena dengan penduduk Muslim yang besar.
“Islam di Indonesia pada situasi dan kondisi yang baik. Ada toleransi, pluralisme dan kemajemukan berjalan dengan baik.” ujar Presiden Jokowi.
Di tempat berbeda, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, menyatakan Indonesia memiliki peluang kecil untuk diserang oleh kelompok teroris ISIS.
"Serangan di Paris ini efek ISIS, yang arahnya lebih ke Utara, dan juga akibat keterlibatan negara-negara Barat menyerang ISIS itu. Jadi lebih banyak ISIS itu membalas dan Indonesia kan tidak ikut terlibat di situ," kata sosok yang akrab disapa JK itu saat berada di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, hari Minggu (15/11).
Namun demikian, kemungkinan serangan itu melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa terjadi kapan saja. "Walaupun ada kemungkinan, risiko itu tidak sebesar risiko di negara-negara Barat itu. Serangan teroris seperti di Paris itu bisa terjadi di mana pun negara di dunia ini. Oleh karena itu kita harus tingkatkan kewaspadaan," ujar dia.
Posisi Indonesia Aman
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar, menilai sikap yang diambil pemerintah Indonesia dalam menyikap aksi terorisme yang terjadi di Kota Paris, Prancis, sudah tepat. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia disarnkan untuk mengambil langkah positif, seperti mendorong Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Kerja sama Islam (OKI), atau forum internasional lainnya, untuk mencari solusi terbaik dalam menangani ISIS.
“Sikap yang diambil Pemerintah Indonesia tidak terlalu berlebihan, cukup proporsional, semua negara rentan aksi terorisme seperti itu. Lebih baik ke depannya ambil peran lebih positif, mendorong PBB, OKI, atau forum internasional lainnya, agar konflik di Timur Tengah tidak berlarut dan meluas ke regional hingga global,” kata Novriantoni saat dihubungi satuharapan.com, hari Senin (16/11).
Saat ditanyakan potensi aksi teror serupa terjadi di Indonesia, menurut dia, pihak keamanan Indonesia harus selalu waspada, meskipun posisi Indonesia cenderung aman, karena tidak tergabung dalam berbagai koalisi yang pernah membombardir daerah ISIS. Fokus utama ISIS saat ini adalah wilayah di Benua Eropa, untuk sekaligus melakukan rekrutmen.
“Indonesia harus selalu waspada. Tapi saya lihat dari beberapa pernyataan ISIS banyak menyatakan dendam terhadap negara yang pernah membombardir wilayahnya, seperti Koalisi Salibis dan Koalisi Agresor. Negara yang tergabung dalam koalisi anti ISIS menjadi target mereka,” kata Novriantoni.
Pahami Utuh
Sementara itu, Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Mahfudz Siddiq, mengatakan konflik di Timur Tengah tidak bisa hanya dipahami sebatas ISIS. Menurut dia, sebuah kekeliruan besar bila pihak keamanan dan intelijen merespon konflik di Timur Tengah dan potensi dampaknya ke Indonesia hanya sebatas ISIS.
"Keliru dalam memahami masalah akan berbuah salah kebijakan dan strategi antisipasi. Lebih jauh pemahaman yang keliru malah membuat Indonesia jadi rentan dimanipulasi oleh pihak lain yang juga tidak terlihat di balik konflik Timur Tengah untuk masuk dalam pusaran peta konflik yang diperluas," ujar Mahfudz di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Senin (16/11).
Menurut dia, pemahaman yang benar adalah ada banyak faktor dan aktor yang menyebabkan lahirnya konflik di Timur Tengah. ISIS hanya bendera palsu yang diciptakan pihak lain sebagai instrument pencipta konflik. "Sejarah kemunculan ISIS tak lepas dari tangan-tangan besar di baliknya yang memelihara, membina, dan mendukungnya. Pemerintah khususnya pihak keamanan dan intelijen harus punya peta dan pemahaman yang utuh tentang persoalan ini," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Lebih lanjut, Mahfudz justru mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak bisa membasmi kelompok radikal di Kota Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Kelompok radikal di Kota Poso sudah bertahun-tahun tidak tuntas, padahal jumlahnya sedikit, senjata hanya beberapa pucuk, dan lokasi operasi sudah terlokalisir dan teridentifikasi.
"Pertanyaannya, kenapa sampai sekarang tidak tuntas penanganannya? Jangan sampai pola penanganan Poso dan kelompok-kelompok lainnya di Tanah Air serupa dengan pola ISIS yang dijadikan bendera palsu oleh negara-negara besar yang terlibat dalam konflik Timur Tengah yang sekarang sedang diperluas ke kawasan lain," tutur Mahfudz.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...