Bahan Bakar Minyak
”Padahal saya mah, enggak merasa miskin, masih bisa makan tiap hari. Ada yang lebih susah dari saya.”
SATUHARAPAN.COM – Kenaikan harga BBM membuat orang terperangah. Ada yang kasak-kusuk, ”Lho… kok jadi gini, padahal kita mendukung pemerintahan ini habis-habisan sebelumnya karena terlihat prorakyat, bukankah prorakyat artinya rakyat semakin enak hidupnya, harga semakin murah, gaji semakin tinggi, fasilitas semakin bagus?” Ada yang menanggapi, ”Enggak apa-apa, masih lebih mahal air minum galon, memang kita harus mendukung negara kita yang rugi karena mensubsidi BBM.” Lain lagi berkata, ”Lah, kenapa demo, harga 1 liter BBM masih jauh lebih murah dari 1 bungkus rokok.”
Nada positif maupun negatif, semua merasa tercubit, karena kenaikan BBM akan mengimbas kenaikan harga-harga lainnya, termasuk cabai merah yang melejit menembus angka Rp 150.000,-/kg.
Seorang janda, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga lepas, menceritakan bahwa dia mendapat jatah bingkisan berupa kantong berisi beras, minyak, dan biskuit yang katanya dari Pak Presiden. Saya mengatakan bahwa mungkin itu adalah salah satu jenis kompensasi subsidi BBM yang dialihkan untuk orang-orang yang masuk dalam kategori miskin. Dia terkejut dan berkata, ”Padahal saya mah, enggak merasa miskin, masih bisa makan tiap hari. Ada yang lebih susah dari saya.”
Kategori miskin atau tidak memang sulit ditegaskan. Ada orang-orang yang dianggap miskin, tetapi tidak merasa miskin. Ada juga orang-orang yang tidak miskin, namun merasa miskin.
Saya jadi teringat ketika sebuah coffee shop franchise dari luar negeri yang berada di mal-mal memberikan diskon, antrean terlihat sangat panjang, dan yang mengantre adalah orang-orang yang tentu saja bukan kategori miskin.
Sehari sesudah harga BBM naik, saya mendengar penyiar radio mewawancarai pendengarnya yang ikut mengantre BBM menjelang kenaikan harga. Ada yang menceritakan antre sampai 1.5 jam untuk mengisi full tank motornya. Penyiar radio tersebut bertanya, ”Berapa beda harganya dengan harga lama kalau diisi penuh?” Dia menjawab, ”Sekitar 10 ribulah.” Penyiar radio itu pun berkomentar, ”Wah, kalau cuma beda 10 ribu antre 1,5 jam, gimana kalau masuk angin? obatnya bisa lebih mahal dari itu.”
Bagi sebagian orang, sebenarnya kenaikan BBM ini tidak memberikan efek berarti, kalau harga satu gelas kopi tadinya setara dengan 8 liter premium, sekarang menjadi 6 liter premium. Tetapi, untuk sebagian orang harga satu gelas kopi itu bisa jadi makanan sekeluarga untuk 1-2 hari.
Jadi, harus ada langkah nyata untuk menjembatani keadaan tersebut, agar subsidi yang diberikan negara tidak salah sasaran. Dan untuk itu diperlukan kejujuran serta hati nurani semua yang terlibat, aparat maupun rakyat.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...