Banalitas Bupati Aceh Singkil dan Walikota Bogor
SATUHARAPAN.COM - Hannah Arendt mendengar kabar yang menyentak dirinya. Pemerintah Israel baru saja menangkap salah seorang tentara Nazi dan akan melakukan pengadilan publik atas orang tersebut. Arendt, yang saat itu bekerja di The New Yorker, segera mengajukan dirinya kepada editor kepala William Shawn untuk menjadi reporter pada pengadilan tersebut. Permohonan itu disetujui dan Arendt segera terbang ke Israel.
Ketika Arendt tiba di Yerusalem dan melihat tentara Nazi itu, ia makin tersentak. Ia melihat sesosok lelaki biasa yang jauh dari tampilan kejam. Bahkan dalam salah satu sesi tanya jawab di pengadilan, Arendt mencatat bahwa lelaki itu dengan tegas menyebut dirinya sebagai orang yang taat pada hukum.
Lelaki itu adalah Adolf Eichmann. Ia dikeluarkan dari Argentina oleh intel Israel untuk diadili di Israel dengan tuduhan kejahatan yang dilakukannya pada Perang Dunia 2. Pada saat itu, Eichmann bertugas untuk mengatur transportasi orang-orang Yahudi di seluruh Eropa menuju ke berbagai kamp konsentrasi buatan Nazi di Jerman. Dalam hal ini, Eichmann menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
Setelah sampai di Israel, pemerintah Isarel melakukan persidangan publik yang dapat dihadiri oleh siapa saja. Alasan pemerintah Israel pada saat itu, sebagaimana yang disampaikan oleh David Ben Gurion, adalah bahwa persidangan publik ini untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di dalam sejarah manusia.”
Selama mengikuti persidangan tersebut, Arendt tiba pada kesimpulan bahwa ternyata kejahatan tidak selalu memerlukan tampilan yang beringas. Orang-orang yang nampaknya bersahaja, dengan wajah dan pikiran yang begitu polos, ternyata dapat melakukan berbagai tindak kejahatan yang tak terperikan terhadap sesamanya. Celakanya, berbagai tindak kejahatan itu dilakukan tanpa merasa bersalah. Kita dapat menelusuri pikiran dan pendapat Arendt dalam laporannya yang dipublikasikan pada tahun 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil.
Banalitas Kejahatan
Arendt menyebutkan apa yang dilakukan oleh Eichmann sebagai banalitas kejahatan. Dengan itu mau dikatakan bahwa kejahatan tak lagi dipandang sebagai kejahatan, melainkan sebagai sesuatu yang biasa saja, wajar. Apa yang dilakukan Eichmann sebagai seorang tentara yang patuh adalah wajar. Dalam dunia militer, kepatuhan adalah keniscayaan, sebuah keutamaan dan bukan kejahatan.
Eichmann bukan orang yang bodoh. Yang membuatnya melakukan banalitas adalah kesembronoan [thouhgtlessness]. Kesembronoan dapat melanda siapa saja, bahkan mereka yang memiliki kecerdasan luar biasa. Dengan kata lain, ketika seorang yang memiliki kuasa dan kecerdasan namun tidak menggunakan kuasa dan kecerdasannya secara maksimal untuk berpikir secara holistik dan sistemik, maka tindakannya akan melahirkan kejahatan brutal. Arendt menandaskan bahwa banalitas seperti ini adalah khas di abad 20, yang belum pernah ada sebelumnya.
Di awal abad 21, kita sua dengan banalitas serupa. Paling tidak ada dua banalitas yang dapat kita cermati dalam kurun dua bulan terakhir. Yang menarik adalah bahwa dua banalitas tersebut terjadi di daerah yang menyebut dan atau disebut sebagai tempat yang membawa damai.
Banalitas di Singkil
Yang pertama di kabupaten Aceh Singkil, di mana sejak abad 15 Aceh dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. Sebutan ini tentu tak dilekatkan begitu saja. Sebagai pintu masuk Islam ke Nusantara serta sebagai pangkalan/pelabuhan haji untuk seluruh Nusantara, cukup untuk membuat Aceh disebut sebagai Serambi Mekah.
Pada tanggal 19 Oktober 2015, Bupati Aceh Singkil H. Safriadi., SH, mengeluarkan surat tugas bernomor 094/SPT/368/2015 yang ditujukan kepada Kepala Bakesbangpol Aceh Singkil dan Kepala Satpol PP Aceh Singkil. Surat tugas tersebut memuat perintah untuk melakukan penertiban gereja dan pengawasan serta pengamanan pelaksanaan penertiban gereja di wilayah kabupaten Aceh Singkil.
Yang dimaksud dengan penertiban adalah pembongkaran terhadap sejumlah gedung gereja di Aceh Singkil. Dari 24 gedung gereja yang ada di Aceh Singkil pada tahun 2015, sebanyak 12 gedung gereja dibongkar, sedangkan sisanya akan diupayakan untuk mendapat izin. Alasan yang digunakan oleh Bupati Singkil untuk melakukan pembongkaran adalah karena ke 12 gedung gereja tersebut tidak memiliki izin.
Sampai di titik itu, argumentasi yang diajukan Bupati Singkil dapat dipandang tepat. Sebab setiap bangunan harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan [IMB]. Oleh karena itu, setiap bangunan yang tak memiliki izin memang seharusnya tak dapat didirikan. Tetapi, bila menggunakan argumentasi itu saja, maka keputusannya belum tentu atau bahkan tidak tepat. Mengapa? Sebab keberadaan gereja [baik dalam artian orangnya dan atau gedungnya] di Aceh Singkil sudah dimulai sejak lama.
Gereja yang paling tua berdiri pada tahun 1932 di Kuta Kerangen. Selain fakta bahwa gereja-gereja tersebut berdiri di daerah atau kampung Kristen, pada tahun itu juga belum dikenal aturan pemerintah yang menetapkan bahwa untuk mendirikan bangunan harus memiliki IMB. Sedangkan peraturan IMB untuk tempat ibadah baru muncul dan diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Fakta lain yang seharusnya ikut dipertimbangkan adalah bahwa pada tahun 1959, Asisten Wedana Ketjamatan Simpang Kanan mengeluarkan surat bernomor 128/II yang meminta bantuan dari Sdr. Domar Tumanggor untuk membawa daerah dan masyarakat mulai dari Sikoran, Tembiski, Simergarap, Lae Mbalno, La Gambir dan sekitarnya untuk masuk ke dalam pemerintahan Aceh. Surat ini ditembuskan kepada Bupati Atjeh Selatan di Tapak Tuan. Situasi ini terus berjalan dengan baik sampai tahun 1961.
Baru pada tahun 1979, untuk pertama kali, terjadi pembakaran gereja di Aceh Singkil. Peristiwa tersebut dipakai sebagai kesempatan untuk menghambat pertumbuhan gereja di Aceh Singkil. Pada 13 Oktober 1979, 11 orang perwakilan umat Islam bertemu dengan 11 orang perwakilan umat Kristen disaksikan oleh Muspida Tk II Aceh Selatan, Muspida Tk II Tapanuli Tengah dan Muspida Tk II Dairi. Pertemuan tersebut menghasilkan 5 keputusan, salah satunya berbunyi : Pendirian/rehab gereja dan lain-lain tidak kami laksanakan sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah Tk II Aceh Selatan, sesuai dengan materi dari keputusan bersama menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri Nomor: 1 tahun 1969.
Sejak peristiwa itu, gereja-gereja di Aceh Singkil tak dapat dibangun secara layak. Bahkan sampai tahun 1995 hanya ada satu gereja yang didirikan di daerah Daling Dangguren. Dengan demikian, sejak tahun 1932 sampai 1995, seluruh gereja yang berdiri di Aceh Singkil memang tak ada yang memiliki IMB. Namun, itu bukan pelanggaran sebab semua itu didirikan jauh sebelum ada peraturan yang menetapkan mengenai IMB rumah ibadat. Oleh karena itu, keputusan Bupati Aceh Singkil untuk menertibkan gereja-gereja yang tak memiliki IMB tak dapat diterima. Ini banalitas.
Banalitas di Bogor
Yang kedua di kotamadya Bogor. Pada masa kolonial, kota Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg, yang dalam bahasa Belanda berarti tanpa kecemasan. Julukan itu memang sesuai, sebab pada masa itu orang-orang yang tinggal di Bogor dapat menikmati kehidupan dengan nyaman, tanpa kecemasan. Tetapi, sekarang Bogor tak dapat lagi disebut Buitenzorg. Orang tak dapat merasakan kenyamanan, termasuk dalam menjalankan ibadahnya. Perbedaan nampaknya tak lagi mendapat tempat di Bogor.
Pada tanggal 22 Oktober 2015, Walikota Bogor Bima Arya, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 300/1321- Kesbangpol tentang Himbauan Pelarangan Perayaan Asyura di Kota Bogor. Berbekal alasan bahwa pelarangan tersebut adalah bentuk tanggung jawab dari Pemerintah Kota Bogor dan Muspida atas situasi keamanan dan ketertiban di Kota Bogor dan penolakan semua ormas Islam di Kota Bogor dan MUI Kota Bogor sebagaimana tertuang dalam keputusan MUI Kota Bogor Nomor 042/SEK-MUI/KB/VI/2015 tentang paham Syiah, terbitlah Surat Edaran tersebut.
Tak kurang Komisi Nasional HAM RI mengeluarkan surat teguran dengan nomor 007/TIM-KBB/X/2015. Dalam surat teguran tersebut, Komnas HAM menyatakan bahwa Surat Edaran tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan penganut Islam Syiah di kota Bogor karena telah membatasi kebebasan mereka untuk merayakan hari besar keagamaannya.
Argumentasi utama Walikota Bogor untuk melarang perayaan Asyura adalah soal keamanan dan stabilitas kota Bogor. Dengan kata lain, ia berupaya untuk tetap menjadikan Bogor sebagai kota yang nyaman, yang tidak menimbulkan kecemasan. Bukankah kota yang aman dan stabil adalah kota yang aman dan nyaman, tak ada kecemasan, Buitenzorg.
Semangat itu tentu saja perlu diapresiasi. Setiap pemimpin memang harus mengupayakan keamanan dan stabilitas wilayah yang dipimpinnya. Namun, bila dengan argumentasi itu lalu pemimpin melakukan tindakan represif dengan melarang salah satu pihak, ini tentu patut dipertanyakan. Bukankah Walikota Bogor dapat meminta bantuan aparat polisi dan atau tentara untuk memastikan kemanan dan stabilitas kota Bogor tetap terjaga selama perayaan Asyura berlangsung? Sayang, alih-alih menjaga keamanan dan stabilitas, yang dilakukan Walikota Bogor justru menciderai semua itu. Dengan pelarangan itu maka para pemeluk Islam Syiah di Bogor tak lagi merasa aman dan stabil untuk menjalankan ibadah mereka. Ini pun banalitas.
Ketaatan setiap pemimpin pada ketentuan dan atau ketetapan hukum memang menjadi sebuah keniscayaan. Namun demikian, ketaatan itu harus selalu diarahkan pada dan demi kemaslahatan seluruh rakyat yang ada di dalam pimpinannya. Oleh karena itu, ketaatan pada ketentuan dan atau ketetapan hukum harus dilambari kebijakan dan kebajikan. Hukum atau peraturan memang diperlukan, sebab tanpa itu tak akan ada pegangan yang pasti untuk mengatur hidup bersama. Pada saat yang sama, hukum atau peraturan sebagai hal yang baku tidak boleh dijadikan sebagai hal yang beku. Ketaatan dalam memberlakukan hukum atau peraturan semata-mata sebagai hal yang baku dan beku hanya akan membawa setiap pemimpin melakukan banalitas.
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan berbagai tindak banalitas yang mungkin juga sudah dan atau akan muncul di tempat-tempat lain? Salah satu hal yang dapat dilakukan saat ini di tengah kemajuan zaman dan teknologi adalah melalui penguatan jejaring sosial untuk mendorong pemerintah pusat agar melakukan intervensi pada pemerintah daerah. Mengingatkan dan terus mendorong setiap pejabat publik untuk mengedepankan thoughtfullness sebagai ganti thoughtlessness. Ini jalan panjang yang harus ditempuh untuk mewujudkan Indonesia yang lebih manusiawi.
Penulis adalah Jurnalis Radio Pelita Kasih Jakarta
Editor : Trisno S Sutanto
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...