“Efek Rumah Kaca” Intoleransi
SATUHARAPAN.COM - Seperti adagium yang sering tertulis, yang paling memilukan bukan ketika bencana terjadi, tapi malapetaka yang mengikutinya berhati-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun kemudian.
Demikian pula bencana sosial akibat konflik intoleransi. Kepedihan bukan saat kebencian dan kesetanan itu muncul, tapi efek yang ditimbulkan kemudian. Ia memendar di ruang dan waktu lain dengan korban-korban tak bernama lainnya dan pelaku-pelaku baru dengan motif-motif yang lebih bervariasi.
Jika melihat kasus Tolikara, Papua 17 Juli lalu, tidak berhenti di pedalaman Papua itu semata. Kasus intoleransi itu menyebar ke tempat lain dan meledak di Singkil pada Aceh 13 Oktober 2015. Bahkan sebelum kasus yang memancing reaksi nasional dan internasional itu muncul, sempat ada satu kasus yang sunyi pemberitaaan, yaitu “terbakarnya” sebuah Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Singkil pada 18 Agustus 2015. Meskipun polisi menutup kasus itu sebagai masalah “korslet arus listrik”, banyak pihak yang meragukannya hanya sebagai faktor kecelakaan.
Tidak berhenti di situ, aksi intoleransi juga merebak di lokasi lain dengan spektrum yang berbeda. Walikota Bogor Bima Arya mengeluarkan surat edaran pelarangan merayakan Asyura bagi umat Syiah pada 23 Oktober. Meskipun tidak mengeluarkan surat edaran, Ridwan Kamil, walikota Bandung juga ikut menimpali dengan celotehan bernuansa diskriminatif : “Saya Sunni dan tidak suka Syiah”.
Epidemik Sektarian
Tidak hanya berhenti pada kasus Tolikara dan Singkil, aksi-aksi intoleransi juga menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia. Di Manokwari, 29 Oktober lalu, ribuan massa turun ke jalan menolak rencana pembangunan mesjid di Andai, Manokwari. Sebaran poster-poster yang bertebaran dalam aksi damai (?) itu mengeksplisitkan Manokwari sebagai Kota Injil yang harus dihormati oleh umat lainnya.
Intoleransi adalah penyakit menular ganas yang bisa menyebar cepat tanpa terkendali. Daerah-daerah yang dikenal sebagai kota cinta pun, karena perbedaan dan keberagaman bisa berkumpul dalam kemesraaan, seperti Manado dan Kupang, bisa ditimbuhi penyakit epidemik ini.
Tiba-tiba kita merasa ada banyak sekali masalah yang muncul akibat pengelolaan perbedaan agama dan keyakinan yang salah. Relasi warga dan anak bangsa tersekat pada tembok mayoritas-minoritas. Kemajemukan Indonesia yang menjadi teladan bagi negara-negara lain, tiba-tiba hilang aura kecantikannya.
Jika kita boleh menunjuk tanggung-jawab, elite dan pemimpin politiklah yang pertama sekali patut disalahkan. Metamorfosis aksi intoleransi saat ini mengambil ruang yang lebih lokal. Sisi negatif otonomi daerah adalah peluang melahirkan kepala daerah secara prosedural demokratis, tapi sayangnya kurang memiliki pengetahuan atas keberagaman. Termasuk juga kurangnya kemampuan mengelola kemajemukan dan tidak sigap dengan rencana kontigensi mengatasi konflik bernuansa agama, primordial, dan keyakinan.
Kita tak meragukan kualitas intelejensia Bima Arya dan Ridwan Kamil, dua tokoh muda yang menjadi pioner dan cukup populer di kalangan remaja. Mereka sosok tampan dan menjadi kekasih media. Namun kesadaran kontigensi dan watak kebangsaan kerap lancung ketika berhadapan dengan penanganan kasus-kasus krusial bernuansa agama. Kebijakan Bima Arya yang melarang perayaan Asyura bagi jamaah Syiah karena takut muncul benturan konflik dengan organisasi-organisasi Islam garis keras adalah bukti lemahnya kepemimpinan. Ia tidak kuasa menjamin keamanan dan kesetaraan di depan hukum bagi seluruh warga.
Demikian pula favoritisme pada Sunni yang ditunjukkan Ridwan Kamil adalah bukti kalutnya pemimpin yang takut tidak populer. Karena gentar oleh tuduhan sebagai pendukung Syiah seperti yang diembuskan selama ini, ia malah memilih menjadi seperti kata Karl Marx, “the egoistic man”: menyembunyikan realitas penindasan dan hanya mengejar kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Sikap pemimpin seperti ini, alih-alih menjadi pengayom warga dan pelindung kota, malah “menjauhkan individu dari individu lain dan individu dengan komunitas”, sehingga tercerai-berai tanpa ikatan legal dan proteksi sebagai warga (Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi, 2014 : 25).
Akhirnya publik pun bertanya, bagaimana bisa karir pendidikan doktoral dari Australian National University yang dimiliki Bima Arya dan masteral dari University of California Ridwan Kamil, termasuk pengalaman mereka sebagai dosen di perguruan tinggi ternama tidak membekas pada watak pemerintahan untuk berlaku adil pada semua warga? Tesis klasik membuktikan, kesarjanaan setinggi apapun tidak selalu segaris-lurus dengan karakter kecendekiawanan dan intelektualisme seseorang. Sebab seperti kata Prof. Daoed Joesoef, menjadi intelektual tidak ada sekolahnya. Ia adalah pertarungan berat di gurun pasir, jalan menanjak untuk mau mengalahkan prestisiusme, egoisme, dan hedonisme demi memenangkan universalisme, humanisme, dan keadilan di dunia.
Menyembunyikan Otentisitas
Problem lain dari konflik intoleransi adalah munculnya kesadaran agama tidak otentik melalui pelbagai media dan pengajian. Situs-situs anonim dan informasi tanpa sumber di internet ikut menjadi arang pengetahuan anti-toleransi. Surat pembelaan Aliansi Nasional Anti Syi’ah (ANNAS) Bogor yang mengecam surat teguran Komnas HAM terkait surat edaran walikota Bogor menjadi salah bukti distorsi pengetahuan tentang Islam.
Dalam surat itu ANNAS menyebut “Syiah adalah sekte sesat dan keluar dari Islam secara asasi”, menjadi bukti berjalannya propaganda pemecah-belah umat Islam. Demikian pula rujukan Sidang Putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1984 yang terdapat dalam surat ANNAS, “Syiah sebagai ajaran sesat” adalah manipulasi literasi dokumen. Padahal dokumen asli MUI 1984 tidak menggunakan satu kata pun yang menyesatkan Syiah, kecuali penjelasan bahwa paradigma dan metode Syiah dalam beberapa hal berbeda dengan Ahlul Sunnah Wal Jamaah (Sunni).
Sekiranya sejarah dibentangkan dengan benar dapat dilihat bahwa keberadaan Syiah sebagai mazhab dalam Islam adalah pasti. Syiah bahkan tertua, jauh lebih tua dari Sunni. Titik tekan perbedaan Syiah – Sunni secara historis lebih banyak dipicu persaingan politik, antara sosok Ali ibn Abi Thalib (599 – 661) sebagai khalifah – yang kemudian diidentikkan figur utama dalam teologi Syiah - dengan tokoh-tokoh seperti Thalhah ibn Abdullah, Zubeir ibn Awwam, dan Muawwiyah ibn Abi Sofyan sebagai representasi Sunni, pada momentum politik suksesi.
Kalaupun ada perbedaan teologis, hal itu masih dalam orbit khazanah Islam. Kaum Syiah tidak mengingkari lima rukun Islam. Perbedaan hanya pada perlakuan waktu shalat, jumlah zakat yang diwajibkan, perbedaan waktu berbuka puasa, dan perbedaan sebagian rukun dan wajib haji. Posisi Al Quran tidak digugat, hanya perbedaan metode hermeunetis. Yang agak banyak ketika memperlakukan hadist. Kalangan Sunni menggunakan kodifikasi Bukhari dan Muslim, sedangkan kalangan Syiah menggunakan Kitab Al-Kafi (Abdul Moqsith, “Sunni, Syiah, Kita”, Tempo, 3-9 September 2012).
Namun, lembaran sejarah sudah dibuka dengan konflik berdarah sejak pertama. Konflik Sunni-Syiah dipicu oleh prahara pembunuhan Ali oleh tebasan pedang Abdurrahman ibn Muljam, sosok muslim ekstrem taat yang melakukan motif pembunuhan karena uang dan wanita. Aksi yang bibit historisnya jauh dari unsur teologis itu tumbuh dalam pohon waktu menjadi buah teologis di kalangan umat Islam seperti kita saksikan di banyak tempat di Timur-Tengah pasca pengebomam WTC 21 September 2001, penghancuran Al Qaeda dan Taliban di Afganistan, dan penjungkalan kekuasaan Saddam Hussein di Irak pada 2006. Terakhir, konflik di Suriah sejak 2011-2012 juga menjadi momentum penyebaran propaganda konflik Sunni-Syiah di seluruh dunia.
Beberapa penelitian dan penerbitan, memperlihatkan kebanyakan konflik anti-Syiah bukan realitas alamiah, tapi dipicu politik konspirasi dan kemiliteran skala global yang melibatkan Amerika Serikat dan negara anti-Syiah seperti Arab Saudi. Keterlibatan intelejen Amerika seperti CIA dan NSA terungkap dalam buku John Perkins (Confessions of an Economic Hit Man, The Secret History of American Empire), Dr. Michael Brant (A Plan to Devide and Destroy the Theology), kesaksian Edward Snowden, dan proyek Wikileaks Julian Assange.
Sebagian besar upaya intelejen itu berpusat pada aksi distorsi tentang Syiah dan membangun opini Syiah bukan bagian dari dunia Islam. Wartawan cum peneliti, Solahudin, penulis buku NII sampai JI : Salafy Jihadisme di Indonesia (2011), memperlihatkan bagaimana alur logistik dan propaganda anti-Syiah di Indonesia disponsori terutama oleh Arab Saudi melalui penyebaran paham Wahabisme.
Meskipun demikian, pelbagai sentimen sektarianisme-primordialisme itu tidak boleh dibiarkan hidup apalagi mekar di negara yang menganut Pancasila ini. Normativitas dan aktualisasi Pancasila seharusnya dimulai dari pemimpin yang tidak membiarkan ekstremisme sektarian hidup dan memecah-belah integritas bangsa dan kohesivitas sosial yang sejak awal memang telah beragam. Seharusnya pemimpin di Indonesia, dari level nasional hingga lokal bisa menjadi motor pencegah memanasnya ruang publik dan sosial akibat efek rumah kaca intoleransi.
Penulis adalah anggota Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh.
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...