Bangkitnya ICMI Dinilai Awal Islamisasi Politis di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Martin Sinaga mengatakan awal mula Islamisasi bersifat politik di Tanah Air adalah sejak runtuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto, di mana organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) bangkit dan memulai Islamisasi dengan menggunakan data-data statistik agama.
“Islamisasi begitu politis mulai dari jelang jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto, lalu bangkit ICMI yang memunculkan bahasa proporsionalisasi yang ditambatkan pada statistik,” kata Pendeta Martin saat menjadi pembicara dalam book sharing bertema ‘Kristenisasi vs Islamisasi, Dialog sebagai Alternatif?’ di Percetakan BPK Gunung Mulia, Jalan Raya Bogor KM 28 No 43, Cimanggis, Jakarta Timur, Selasa (26/5).
Menurut dia, gerakan itu membuat Kementerian Agama (Kemenag) dalam setiap ceramah senantiasa menggunakan kata ‘menurut statistik’. Bahkan, hal tersebut digunakan hingga ke daerah-daerah yang mayoritas pendudukanya memeluk agama Kristen.
“Kemenag ceramah apa saja, mulai dari buku, sekolah, desa, selalu mengatakan kata menurut statistik. Bicara semua statistik, akibatnya semua pejabat berbicara mengenai proporsional, logika itu dipakai sampai ke daerah kristen. Itulah dasar Islamisasi,” ujar Pendeta Martin.
Lebih jauh lagi, kata dia, pada tatanan sosial keberadaan peraturan daerah syariat menjadi bagian dari Islamisasi yang bersifat politik. “Naik sepeda motor diatur, pakaian juga, itu gejala yang menyebar dari peraturan daerah menyebabkan suasana lebih Islamis,” ujar dia.
Cara Mencegah
Oleh karena itu, Pendeta Martin meminta umat Kristen mengedepankan dialog sebagai respon mencegah Islamisasi politis yang terus berkembang. Menurut dia, dialog tersebut bisa dimulai dengan mengandalkan organisasi seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU).
“Islamisasi politik begitu berkembang, pertanyaan selanjutnya apa respon Kristen? Salah satunya bisa ditempuh lewat kerja sama dialogis oleh kelompok besar, PGI bersama Muhammadiyah dan NU,” ujar dia.
Selanjutnya, menurut dia, cara mencegah Islamisasi politik yang terus berkembang adalah dengan menempatkan sosok Kristen di jalur konstitusi, agar memiliki pengaruh pada kekuasaan. “Kekristenan harus mencoba mempengaruhi kekuasaan. Mungkin dulu tidak berhasil lewat partai politik, tapi orang Kristen harus mampu berbicara lewat jalur konstitusi,” tutur Pendeta Martin.
Cara terakhir, kata Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) itu adalah fokus pada otonomi daerah di kantong-kantong umat Kristen. “Kekristenan semakin fokus pada otonomi daerah, di kantong-kantong Kristen membangun daerah, sehingga akan berdampak nasional,” ujar Pendeta Martin.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...