Bank Dunia: Jokowi Hadapi Kesenjangan Pendapatan Paling Parah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintahan Presiden Joko Widodo mewarisi ketimpangan pendapatan yang semakin dan bahkan paling parah dalam 15 tahun terakhir, yang berarti sejak era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Studi Bank Dunia yang dilansir hari ini (8/12) menyatakan dalam 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun, manfaat dari pertumbuhan ini lebih dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan sekitar 80 persen penduduk – atau lebih dari 205 juta orang – rawan merasa tertinggal.
Laporan Bank Dunia menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain.
Antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen terkaya di Indonesia meningkatkan konsumsi mereka sebesar 6 persen per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Di sisi lain, bagi 40 persen masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2 persen per tahun.
Hal ini mengakibatkan koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun – naik dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013.
Bank Dunia juga mengutip pendapat yang menunjukkan bahwa banyak warga Indonesia mulai khawatir. Sebuah survei persepsi masyarakat pada tahun 2014 mengenai ketimpangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia “sangat tidak setara” atau “tidak setara sama sekali”. Para responden juga menuntut pemerintah untuk bertindak.
“Saya merasa sekarang kondisinya tidak adil,” kata Nandang, seorang buruh tani di Jawa Barat. “Yang miskin terus hidup susah, tapi yang sudah kaya bisa gampang jadi lebih kaya. Kalau pemerintah bisa membantu, saya ingin punya pekerjaan yang lebih bagus,” kata Nandang, dikutip dalam laporan Bank Dunia.
Bila tidak ada tindakan, konsekuensi bagi Indonesia bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dapat melambat, disertai naiknya risiko konflik.
Empat Penyebab Ketimpangan di Indonesia
Dalam rencana pembangunan jangka menengah, pemerintah telah menetapkan sasaran untuk menurunkan tingkat koefisien Gini, dari 41 menjadi 36 pada tahun 2019.
Agar berhasil mencapai sasaran tersebut, Indonesia perlu mengatasi empat penyebab ketimpangan, yaitu:
Pertama, ketimpangan peluang. Nasib anak dari keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa hal utama, yaitu tempat mereka lahir atau pendidikan orangtua mereka. Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya. Setidaknya sepertiga ketimpangan diakibatkan faktor-faktor di luar kendali seseorang individu.
Kedua, ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.
Ketiga, konsentrasi kekayaan. Kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.
Keempat, ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.
Pilihan untuk Mengatasi Ketimpangan di Indonesia
Menurut Bank Dunia, ketimpangan yang semakin tinggi dapat dihindari. Kebijakan pemerintah dapat membantu Indonesia memutus rantai ketimpangan antar generasi, dengan mengatasi penyebab ketimpangan.
Contohnya, koefisien Gini di Brasil turun 14 poin setelah upaya bersama untuk menurunkan ketimpangan melalui kebijakan fiskal. Sebaliknya, menurut data tahun 2012, kebijakan fiskal Indonesia hanya menurunkan koefisien Gini sebesar 3 angka.
Pilihan bagi pemerintah Indonesia termasuk, pertama, memperbaiki layanan umum. Kunci bagi generasi berikut terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, camat, dan kabupaten, karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan dan peluang keluarga berencana bagi semua masyarakat.
Kedua, memperkuat program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa pendidikan.
Ketiga, menambah peluang pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja.
Keempat, menyediakan lapangan kerja yang lebih baik. Menggunakan pajak dan belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.
Kelima, meningkatkan ketaatan dalam pengumpulan pajak perorangan.
Menurut Bank Dunia, dukungan masyarakat cukup kuat untuk adanya kebijakan perlindungan sosial yang memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin dan rentan. Lebih dari setengah responden survei berpendapat kemiskinan bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali seseorang, misalnya latar belakang mereka atau pengalaman buruk. Hampir setengah dari seluruh responden mendukung program perlindungan sosial sebagai tindakan kebijakan yang penting.
Israel dan Hamas Hampir Mencapai Kesepakatan Gencatan Senjat...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Israel dan Hamas tampaknya hampir mencapai kesepakatan gencatan senjata yang ...