Banyak Anak, Masuk Surga, Benarkah?
Kabinet Jokowi-JK berjanji ada kementerian kependudukan
SATUHARAPAN.COM – Berbeda dengan ramalan kaum ateis bahwa dunia di masa depan akan makin sekuler, sejumlah indikator demografis berkata sebaliknya. Perkembangan jumlah penganut agama Islam, Hindu, Katolik dan Pentakosta di negara-negara sedang berkembang, ditambah dengan ekspansi berbagai sekte agama seperti Amish dan ultra-ortodoks Yahudi, menunjukkan bahwa dunia tidak sesekuler yang dibayangkan para ateis.
Gaya hidup kota yang praktis serta pendidikan yang makin maju memang pernah diramalkan akan membuat orang-orang makin rasional dan meninggalkan agama. Sejumlah penelitian ilmiah telah mengonfirmasi hal ini, seperti yang dilakukan oleh Naci Mocan dan Luiza Pogorelova. Studi mereka yang dilakukan di 11 negara Eropa, antara lain menunjukkan bahwa memperpanjang masa wajib belajar 1 tahun, telah menurunkan kehadiran 10 persen siswa di gereja. Penelitian lain di Turki menunjukkan, setelah wajib belajar diperpanjang dari lima menjadi delapan tahun pada 1997, perempuan yang mengidentifikasi diri sebagai orang saleh dengan mengenakan kerudung, turun sekitar 30-50 persen.
Namun, fakta-fakta ini tampaknya baru satu sisi permukaan saja dari potret religiusitas (keber-agama-an) dunia. Angka-angka demografis justru bergerak sebaliknya. Data kependudukan menunjukkan orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai orang beragama makin meluas, terutama di negara-negara sedang berkembang. Lebih dari itu, penghayatan agama secara ekstrem juga menunjukkan gejala peningkatan yang pada gilirannya dapat membawa implikasi rumit pada masa depan.
Adalah Prof. Erick Kaufmann, ahli demografi dari University of London yang mengungkapkan hal ini, dalam wawancaranya dengan Douglas Todd dari Vancouver Sun. Penulis buku The Population Bomb ini mengemukakan sebuah fakta mengejutkan dan mungkin juga dapat dikatakan kurang menggembirakan ditilik dari sudut pandang kehidupan spiritual yang berkualitas.
Menurut Kauffman, kecenderungan meningkatnya jumlah orang beragama di dunia bukan karena manusia makin serius dan terpanggil mempraktikkan ajaran agamanya. Pertambahan jumlah orang beragama terutama karena orang-orang yang mengklaim diri beragama menghasilkan lebih banyak anak dibanding mereka yang mengidentifikasi diri sebagai kaum sekuler.
Hal ini sebagian dapat dijelaskan dengan menyimak tingkat kelahiran di negara-negara seperti Eropa dan Amerika Utara (dan juga di negara-negara yang penduduk etnis Tionghoa-nya dominan). Di negara-negara ini yang relatif sekuler, tingkat kelahiran bayi makin hari makin rendah. Sedangkan hal sebaliknya terjadi di negara-negara seperti Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara, yang identifikasi diri terhadap agama yang dianutnya sangat tinggi. Tingkat kelahiran di negara-negara ini justru tidak berkurang bahkan cenderung bertambah.
Menurut Kauffman, data menunjukkan makin seseorang menganggap dirinya religius, makin besar kecenderungannya untuk memiliki anak lebih banyak. Dan lebih mengejutkan lagi, menurut dia, makin ekstrem cara seseorang menghayati agamanya, umumnya makin banyak anak yang dia miliki.
Di negara-negara Eropa hal ini kini telah memunculkan perubahan demografis yang membuat pemerintahnya mewaspadainya secara cermat. Peningkatan jumlah penduduk imigran di sejumlah kota membawa dinamika tersendiri dalam kehidupan keber-agama-an. Sementara penduduk asli umumnya adalah kaum moderat dan sekuler, para imigran ini umumnya adalah penganut agama yang konservatif. Jika penduduk setempat umumnya memiliki tingkat fertilitas yang rendah, sebaliknya dengan para imigran. Mereka cenderung membangun keluarga besar, dan anak-anak mereka cenderung meneruskan keyakinan orang tua mereka.
Data Kanada, misalnya, menunjukkan, tingkat kelahiran bayi di kalangan ateis hanya sekitar 1,4 bayi per perempuan. Bandingkan dengan perempuan Katolik (1,6), Protestan (1,6), Yahudi (1,8), Hindu (2,0) dan Islam (2,4). Sejarawan terkemuka Eropa, Walter Laquer memperkirakan pada tahun 2050 penduduk Eropa yang sekuler hanya tersisa sebanyak 120 juta, dan kaum imigran religius akan mendominasi.
Oleh karena itu Kauffman menyimpulkan efek kumulatif imigrasi dari negara-negara yang tergolong religius ke negara-negara maju, khususnya Eropa, dan tingginya fertilitas mereka akan membalikkan proses sekularisasi di Barat. Tidak hanya kaum beragama yang akhirnya menang atas non-agama (ateis, pen), tetapi juga kemenangan bagi mereka yang paling ekstrem dalam keyakinan mereka.
Agama dan Ledakan Penduduk
Boleh jadi akan ada ulama –walaupun jumlahnya mungkin tidak banyak – yang happy akan kekalahan tren sekularisme ini. Namun, para ahli demografi memiliki kekhawatiran tersendiri. Fakta-fakta ini justru memunculkan pertanyaan, sejauh mana agama bertanggung jawab terhadap ledakan penduduk, yang merupakan salah satu masalah klasik peradaban.
Di Era Soeharto, pengendalian jumlah penduduk merupakan isu utama. Program Keluarga Berencana (KB) telah menjadi cerita sukses bukan hanya di tingkat regional tetapi dunia. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah menjadi lembaga yang penting dan berakar, dikenal hingga ke pelosok-pelosok. Kaum ulama dan budayawan juga berhasil dimobilisasi untuk mengampanyekan KB sehingga pesan-pesan tentang pentingnya pengendalian jumlah penduduk tidak disampaikan lewat jalur formal birokrasi belaka.
Namun dalam 10 tahun terakhir, harus diakui isu ini sedikit terpinggirkan atau paling tidak bukan lagi menjadi concern utama dalam wacana kebijakan publik. Bahkan dalam sejumlah forum, ketimbang mengedepankan arti penting pengendalian populasi, Pemerintah lebih suka berbicara tentang ‘bonus demografi,’ yaitu besarnya porsi jumlah penduduk dengan umur produktif dibanding penduduk usia muda dan usia lanjut pada dekade 2020-2030.
Sejumlah anggota kabinet yang berlatar belakang partai religius tertentu, tidak malu-malu memperlihatkan anak-anaknya yang berjumlah banyak (tidak hanya dari satu istri) di depan kamera televisi dan membanggakan ‘banyak anak’ sebagai salah satu ciri khas partainya. Di media sosial, muncul pula banyak wacana yang mencari rasionalisasi dari prinsip “banyak anak, masuk Surga. Prinsip ini menjadi semacam pesan yang dicari pembenarannya dalam ayat-ayat suci. Digambarkan bahwa dengan banyak anak, berarti akan mendapat banyak pahala dari merawat dan mendidik anak. Dikemukakan pula bahwa istri yang meninggal ketika melahirkan, tergolong mati syahid. Sementara dengan banyak anak, apabila mereka kelak tumbuh menjadi saleh, akan merupakan tabungan amal yang tidak putus.
Harapan pada Jokowi
Ditilik dari kacamata individu barangkali penafsiran seperti ini sah dan masuk akal. Namun, sebagai makhluk sosial dan umat yang tidak mungkin menutup diri dari kehidupan persekutuan dengan sesama, motif untuk memiliki banyak anak supaya masuk Surga perlu dicermati. Motif semacam ini dapat memberi kesan selfish, mementingkan diri sendiri dengan memonopoli sebisa mungkin anugerah Tuhan yang seharusnya milik bersama. Sebab, bumi yang kita diami ini makin menanggung beban berat dengan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Padahal bumi adalah tempat hidup bersama dan karena itu tiap makhluk harus memiliki tanggung-jawab untuk juga berbagi dengan sesama. Berbagi dalam hal ini bukan diartikan sekadar memberi sesuatu dari miliknya kepada orang lain, tetapi berbagi ruang dan berbagi sumberdaya milik bersama.
Berbagai penelitian menunjukkan dampak laju penduduk yang tidak dikendalikan sudah ada di depan mata. Contohnya adalah kelangkaan air. Saat ini sebagian masyarakat dunia telah mengalami kekurangan air bersih. Lebih dari 600 juta orang di Asia Pasifik tidak memiliki akses terhadap air bersih, 400 juta di antaranya berada di Afrika dan 200 juta sisanya ada di Amerika Latin. Di pihak lain, laporan PBB menyatakan bahwa sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan 2,5 miliar memiliki sistem sanitasi yang buruk atau tidak memadai.
Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dalam berbagai pemberitaan mengatakan akan menyediakan satu pos menteri untuk urusan kependudukan. Hal ini patut diapresiasi karena merupakan sinyal diangkatnya lagi isu ini ke pentas prioritas, Pada saat yang sama, diperlukan arahan yang lebih tegas dan konkret kepada para pembantunya di kabinet untuk mendukung prioritas ini, atau paling tidak, menghindari untuk mengambil tindakan-tindakan atau gaya hidup yang justru sebaliknya.
Pada saat yang sama, para alim ulama, lembaga keagamaan, budayawan dan pembentuk opini publik semestinya memberikan dukungan yang diperlukan. Program-program sosialisasi melalui media tentu juga tidak boleh ketinggalan.
Eben Ezer Siadari adalah co-author Teologi Kerja Modern dan Etos Kerja Kristiani (2013)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...