Mencari Menteri Maritim Setangguh Ali Sadikin
SATUHARAPAN.COM – Wacana pembentukan Kementerian Maritim oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla telah mendapat tanggapan publik secara luas. Dari sudut pandang studi kepemimpinan, wacana ini mencerminkan juga paradigma yang sedang dibangun dan dijalankan oleh Jokowi-JK yang telah ia perkenalkan sebagai Revolusi Mental. Pembentukan kementerian ini tidak dipandang terbatas pada perombakan atau pembentukan sebuah kementerian baru. Ia , juga harus diikuti oleh perombakan paradigm manusia yang akan melaksanakan pembentukan atau perombakan kementerian dimaksud. Hal tersebut tentu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan khas.
Menarik untuk menggali dan meneropong profil kepemimpinan yang bagaimana kiranya yang dapat dipertimbangkan untuk memimpin sebuah Kementerian Maritim yang diidamkan Jokowi. Ini penting untuk memberi warna di tengah dominannya diskursus yang bersifat teknis ekonomis dan sektoral mengenai hal ini. Dengan pemerkayaan sudut pandang lewat teropong studi kepemimpinan, kita mengharapkan memberi dukungan bagi berjalannya revolusi mental yang diinginkan Jokowi, yang bukan sekadar revolusi institusional dalam membangun negara kita sebagai negara maritim.
Negara Maritim
Ketika dalam kampanye Pilpres Jokowi-JK mendeklarasikan tekad untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ranah akademis maupun media menyambutnya dengan berbagai penafsiran. Wacana yang berkembang tentu merupakan cerminan antusiasme dan optimisme atas paradigma baru yang dicanangkan. Meskipun demikian perlu pencermatan yang tegas agar wacana ini tidak kehilangan fokus bahkan akhirnya sarat beban sehingga tak dapat direalisasikan.
Catatan mantan Kabais TNI, Laksda TNI AL (Purn) Soleman Ponto (Tol Laut yang Membingungkan, Negara Maritim yang Diidamkan, 2014), penting untuk dicermati. Ia menengarai masih banyak yang belum mengerti poros maritim seperti apa yang dimaksudkan oleh Jokowi-JK. Ketidakmengertian itu pada saatnya dapat sangat berbahaya, karena, menurut dia, bila dibiarkan, pembangunan seperti yang dikehendaki oleh Jokowi-JK akan salah arah.
Merujuk pada Poros Maritim yang dimaksudkan Jokowi-JK, menurut Ponto, yang harus menjadi fokus ialah; menggunakan transportasi laut atau angkutan sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Ini penting ditekankan agar wacana tentang negara maritim benar-benar membumi dan dapat dijalankan. Bukan kebetulan pula ketika menyampaikan pidato kemenangan, Jokowi-JK memilih tempat di geladak kapal.
Bila kita menoleh kepada permasalahan ekonomi yang urgen saat ini, setidaknya ada tiga alasan mengapa Poros Maritim yang bertulang-punggung angkutan laut mendesak. Pertama, alasan kesatuan dan keutuhan wilayah NKRI. Di tengah perkembangan otonomi daerah yang menyebabkan masing-masing wilayah berlomba membangun diri, tidak terhindarkan tendensi untuk juga menutup diri. Oleh karena itu diperlukan sarana yang riel sekaligus natural untuk menegaskan kembali keutuhan dan kesatuan wilayah demi mencegah terkotak-kotaknya wilayah NKRI. Sarana angkutan laut berikut infrastruktur pendukungnya merupakan pilihan paling rasional dan realistis dibandingkan dengan alternatif lain.
Kedua, alasan stabilitas ekonomi. Ketika berkampanye di Papua, masyarakat mengeluhkan kepada Jokowi tentang tingginya harga-harga kebutuhan di pulau paling Timur Indonesia itu. Jokowi memberi solusi bahwa ‘tol laut’ akan menjawab hal itu. Sebab dengan kelancaran distribusi barang ke seluruh Indonesia via jalur laut, diharapkan stabilitas harga dapat dicapai lebih baik terutama untuk wilayah di luar pulau Jawa. Pada gilirannya ini menjadi pilar stabilitasi ekonomi yang penting. Stabilitas ekonomi merupakan perekat kesatuan bangsa yang tidak terlihat namun dapat dirasakan.
Ketiga, alasan kemandirian ekonomi. Data yang pernah dirilis oleh Kementerian Perdagangan mengatakan pembayaran jasa kegiatan ekspor/impor Indonesia tahun 2020 diperkirakan akan mencapai US$27 miliar. Pembayaran jasa ekspor/impor itu sebagian besar adalah untuk biaya kapal, asuransi dan logistik lainnya. Dan sebagian besarnya pula mengalir kepada armada pelayaran berbendera asing.
Lemahnya armada pelayaran domestik menyebabkan pembayaran jasa ekspor selama ini memakai metode freight on board (FOB). Dalam metode transaksi seperti ini, negara banyak sekali kehilangan devisa yang harus dibayarkan kepada armada pelayaran berbendera asing. Pemborosan devisa juga terjadi pada transaksi impor, karena kita menggunakan metode pembayaran impor CIF (Cost, Insurance, Freight). Dengan metode ini seluruh pembayaran jasa impor juga mengalir ke perusahaan berbendera asing karena yang menetapkan armada pengangkut adalah negara pengirim. Sekali lagi ini merupakan konsekuensi dari tidak cukup kuatnya armada pelayaran kita menerima order untuk mengeksekusi pengangkutan importasi.
Sejak era Soeharto, perihal metode pembayaran ekspor ini sudah merupakan bagian yang dikeluhkan. Defisit neraca transaksi berjalan kita yang dalam dua tahun terakhir telah menghantui stabilitas ekonomi eksternal, salah satunya disebabkan oleh hal ini. Akibatnya neraca pembayaran gampang goyah oleh tekanan nilai tukar. Oleh para nasionalis keblinger hal ini dianggap sebagai rekayasa asing. Padahal goyahnya neraca pembayaran lebih disebabkan oleh ketidakmampuan kita mengelola transaksi ekspor dan impor kita sendiri.
Berkaca pada Sejarah
Salah satu sumber studi kepemimpinan yang penting adalah sejarah. Lebih tajam lagi, studi sejarah yang dimaksud ialah riset-riset yang bergenre biografi sejarah, yang dapat dijadikan lumbung inspirasi dan benchmark kepemimpinan yang sangat potensial walau sering diabaikan oleh para sejarawan (Pimlott, 1999). Dari sejarah kita dapat berkaca tentang keberhasilan dan kegagalan sekaligus praktik-praktik yang telah dijalankan dalam konteks masyarakat suatu negara.
Membentuk atau merevitalisasi sebuah Kementerian Maritim dalam kaitan mewujudkan negara maritim membutuhkan kepemimpinan yang tegas, dan piawai melakukan turn around. Kepemimpinan yang tegas itu bukan hanya di tataran kelembagaan secara struktural. Pemimpin yang dimaksud harus juga menginspirasi orang-orang di dalamnya sehingga dapat berjalan seiring mewujudkan tujuan. Ia harus memiliki visi yang sama dengan Presiden, dibarengi dengan akses yang cepat kepada atasannya itu
Dalam kaitan dengan mewujudkan visi Negara Maritim, Thee Kian Wie (2005) mencatat sebuah kesaksian yang penting. Kesaksian tersebut berasal dari pengusaha terpandang di dunia kemaritiman, yaitu Soedarpo Sastrosatomo. Kesaksian ini dapat dijadikan acuan dalam menemukan sosok pemimpin di Kementerian Maritim.
Soedarpo, yang dikenal sebagai pendiri perusahaan pelayaran Samudra Indonesia dan juga pendiri Bank Niaga (sekarang CIMB Niaga) menyebut nama Ali Sadikin, menteri pelayaran di masa-masa akhir kepresidenan Soekarno, sebagai ikon kemaritiman. Soedarpo bahkan berani mengatakan yang dilakukan oleh Ali Sadikin di dunia kemaritiman merupakan “satu-satunya keberhasilan Orde Lama.”
Pada 1964, Presiden Soekarno memutuskan bahwa Indonesia sebagai negara maritim memerlukan armada dagang yang tangguh. Beliau kemudian membentuk Kementerian Pelayaran dan menunjuk Ali Sadikin sebagai menteri dan penanggung jawab.
Ali Sadikin kemudian memanggil dan berkonsultasi kepada para pemangku kepentingan di dunia kemaritiman. Dari diskusi dengan mereka, Ali Sadikin mengetahui bahwa salah satu yang perlu dibenahi ialah bongkar muat kapal dan keagenan. Ini sebetulnya merupakan sumber devisa, karena keduanya dibayar sebagai bagian muatan. Hanya, ketika itu ada peraturan yang mengharuskan pelaku industri menyerahkan pendapatan itu kepada Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri untuk ditukar dengan rupiah. Padahal kurs resmi sangat rendah. Jadi di sini pengusaha merasa kehilangan banyak uang. Soedarpo kemudian mengusulkan kepada Sadikin, kalau ia ingin agar perusahaan-perusahaan domestik menambah armadanya, ia harus memberikan kepada pengusaha kebebasan menggunakan devisa.
Soedarpo bersaksi bahwa Ali Sadikin mendengar. Dan ia bahkan tidak ragu-ragu melakukan terobosan berani. Demi mewujudkan gagasan itu Ali Sadikin berani memotong kompas. Ia bukannya pergi menemui Menkeu, untuk membicarakan soal devisa tersebut, tetapi langsung kepada Presiden. Ia mengatakan kepada Soekarno, “Bapak telah memerintahkan bahwa Bapak menginginkan adanya armada dagang. Kalau Bapak memberikan perintah ini, saya jamin kita akan punya armada dagang.”
Dan itulah yang terjadi. Soekarno kemudian mengumumkan Dekrit Pemerintah No 5 tahun 1964 yang menentukan bahwa semua kegiatan pelayaran harus dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran: keagenan, bongkar muat dan pergudangan. Bersamaan dengan itu ia melakukan peraturan agar setiap perusahaan pelayaran memiliki surat izin bongkar muat yang merupakan cikal bakal diharuskannya semua muatan untuk proyek Pemerintah harus diangkut di bawah armada berbendera Indonesia. Sayangnya, Soekarno kemudian jatuh dan program yang dicanangkan ini tak sempat berjalan lama.
Apa yang ingin dikatakan dalam hal ini lah Kementerian Maritim yang akan dibentuk nanti oleh Jokowi dipastikan akan berhadapan dengan berbagai tarik-ulur kepentingan. Diperlukan penanggung-jawab yang berani melakukan terobosan dan memiliki kapasitas yang memadai untuk mengakses dan meyakinkan Presiden. Menteri Maritim yang kita butuhkan harus setangguh, bahkan kalau boleh lebih dari Ali Sadikin.
Daftar Pustaka:
Widodo, Joko, Revolusi Mental, Kompas, 10 Mei 2014
Ponto, Soleman, Tol Laut yang Membingungkan, Negara Maritim yang Diidamkan, ditulis pada blog Catatan dan Analisis Soleman B. Ponto, 2 September 2014
Pimlott, Ben, Is Contemporary Biography History? Political Quarterly 70 (1), 31-41, 1999.
Kian Wie, Thee, Pelaku Berkisah, Ekonomi Indonesia 1950-an-1990-an, Penerbit Kompas, 2005
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...