Banyak Rakyat Papua Setia kepada ULMWP
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggapan bahwa United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) hanya merupakan organisasi dari orang-orang Papua yang bermukim di luar negeri kurang mendekati kebenaran karena bukti-bukti menunjukkan banyak rakyat Papua yang setia pada organisasi ini.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, ULMWP memiliki pengaruh yang cukup kuat di kalangan rakyat Papua. "KKita lihat kemarin pada tanggal 1 Desember 2015, ULMWP menyerukan agar tidak ada pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, dan kita melihat tidak ada bendera Bintang Kejora yang berkibar, yang berkibar justru di luar negeri. Jadi ULMWP memiliki pengaruh politik yang cukup kuat di Tanah Papua," kata Cahyo dalam wawancara dengan satuharapan.com.
Menurut Cahyo, ULMWP merupakan representasi dari rakyat Papua diakui oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) atau kelompok negara-negara Pasifik Selatan. Organisasi ini merupakan gabungan dari tiga organisasi perlawanan masyarakat Papua yaitu Parlemen Nasional West Papua (PNWP), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB).
ULMWP diresmikan pada 1 Desember 2014. Empat tokoh yang didaulat menjadi pentolannya adalah Benny Wenda, Oktovianus Mote, Yacob Rumbiak, Rex Rumaikek dan Leonny Tanggama.
Lebih jauh, Cahyo mengeritik pernyataan yang meminta agar orang-orang yang terlibat dalam ULMWP meninggalkan Indonesia karena organisasi ini dianggap tidak memiliki pengikut di Papua. Menurut Cahyo, hal itu tidak tepat. Bahkan hal itu dapat menyakitkan perasaan masyarakat Papua.
"Pesan-pesan yang demikian menambah luka bagi orang Papua. Itu tidak bijaksana," kata Cahyo.
Cahyo justru menyarankan agar Indonesia membuka dialog dengan ULMWP. Soal bagaimana format dialognya, menurut Cahyo, ada banyak referensi yang tersedia.
"Saya belum melakukan kajian soal itu, namun apa pun bentuk perundingan itu harus merupakan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan wakil-wakil di Papua, apa pun bentuknya, apakah dialog ataupun musyawarah atapun disebut sebagai perundingan kita bisa melihat dari beberapa pengalaman negara lain seperti perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), " kata Cahyo.
"Kalau tidak sesuai dengan keingin masyarakat Papua, harus kita perbaiki atau kita modifikasi. Misalnya ada dialog yang dilakukan pemerintah Filipina yang berujung damai pada tahun 1996, sebaiknya dilaog seperti itu dibuka dan ditentukan oleh wakil-wakil Indonesia dan wakil-wakil rakyat Papua. Intinya wakil Indonesia dan Papua harus duduk bersama mencari alternatif-alternatif atau mencari kesepakatan-kesepakatan perdamaian di Tanah Papua," kata Cahyo, yang oleh sejumlah kalangan di Papua dinilai memiliki pemikiran yang cerdas dan netral tentang Papua.
Editor : Eben E. Siadari
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...