Beda “Social Distancing” dan “Lockdown”, Cegah Penyebaran Virus Tanpa Panik
SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo meminta warga untuk lebih memusatkan kegiatan di rumah untuk menanggapi pandemik virus corona baru, COVID-19.
“Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Inilah saatnya bekerja bersama-sama, tolong menolong dan bersatu padu, gotong-royong,” kata Presiden Jokowi, Minggu (15/3).
Hal tersebut juga disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang mengatakan upaya yang bisa dilakukan saat menghadapi penyebaran penyakit menular, seperti COVID-19, adalah menghindari keramaian.
“Kita harus waspada dan kita harus disiplin dalam mengatur interaksi. Pencegahan penularan COVID-19 tidak bisa dilakukan hanya pemerintah,” kata Anies.
Ia juga meminta warga Jakarta untuk melakukan “social distancing”, atau menjaga jarak, mengurangi perjumpaan atau kontak fisik.
Tidak hanya di Indonesia, imbauan “social distancing” juga dikeluarkan di sejumlah negara, seperti Australia dan Selandia Baru.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, diikuti pemimpin sejumlah negara bagian telah menerapkannya, termasuk melarang acara dan kumpul-kumpul yang melibatkan 500 orang.
Berikut Emma Elsworthy dan ABC Indonesia menuliskan laporannya mengenai perbedaan antara “social distancing” dan “lockdown” yang perlu diketahui.
Perlunya “Social Distancing”
Upaya “social distancing” perlu dipahami sebagai salah satu bentuk pencegahan penularan COVID-19, selain untuk mengurangi beban layanan kesehatan masyarakat.
Definisi dari “social distancing” adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain dianggap mampu mengurangi kontak tatap muka langsung.
Langkah ini termasuk menghindari pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket, bioskop, dan stadion.
Saat menerapkan “social distancing”, lembaga otoritas kesehatan di Negara Bagian New South Wales (NSW Health), Australia, mengatakan pergi ke kantor atau menggunakan transportasi umum masih diperbolehkan.
Namun, kita harus menjaga jarak setidaknya 1,5 meter dari orang lain, meski pakar kesehatan mengatakan hal ini tidak bisa diterapkan di segala situasi.
Mereka yang memilih metode ini sebagai tindakan pencegahan juga perlu menghindari acara-acara sosial, seperti kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman, termasuk ke pesta pernikahan.
Kontak fisik secara langsung, seperti berjabat tangan, berpelukan, serta berciuman, juga harus tidak dilakukan, karena virus corona menyebar lewat droplet, atau tetesan air liur.
Metode “social distancing” sudah diterapkan di Provinsi Hubei, China, tempat virus corona berasal.
Saat wabah semakin merebak, otoritas kesehatan di China dengan cepat melarang acara-acara yang dihadiri warga dalam jumlah besar.
Karenanya, terdapat tingkat penularan yang menurun, ketimbang di Iran dan Italia, yang pemerintahnya tidak mengeluarkan imbauan ini.
Bedanya dengan Istilah “Lockdown”
Saat ini sejumlah negara di Eropa telah menutup tempat-tempat seperti sekolah, universitas, cafe, restoran, dan bioskop, atau pada dasarnya temmpat yang ramai dikunjungi warga.
Berbeda dengan “social distancing” yang sifatnya masih berupa imbauan dan dilakukan atas kesadaran tiap individu, status “lockdown” lebih kepada tindakan yang dilakukan pemerintah dengan memaksa menutup sejumlah tempat dan kawasan.
“Lockdown” adalah situasi yang melarang warga untuk memasuki tempat karena kondisi darurat.
“Lockdown” juga bisa berarti menutup orang yang masuk dan keluar dari sebuah negara, bergantung pada kebijakan tiap-tiap pemerintahnya.
Di Prancis, istilah “lockdown” adalah menutup semua tempat yang dianggap “tidak vital”, seperti restoran, bioskop, dan tempat pariwisata, seperti Menara Eiffel, yang berlaku mulai hari Minggu (15/3).
Tetapi, supermarket, apotek, bank, dan layanan publik, seperti transportasi umum, masih beroperasi, meski ada pembatasan siapa dan berapa orang yang bisa masuk ke dalam satu tempat.
Spanyol juga menerapkan “lockdown”, meski warga masih bisa pergi membeli makan dan obat, bahkan pergi ke kantor.
Tetapi, status “lockdown” tidak selamanya berarti menerapkan “social distancing”.
Meski “lockdown” sudah diberlakukan sejak 9 Maret, sejumlah warga Italia dilaporkan masih melakukan kontak tatap muka langsung dan bersosialisasi.
Akibatnya jumlah kasus positif corona malah naik menjadi 21.000, setelah status “lockdown” diberlakukan.
Italia masih menjadi negara di Eropa yang paling parah terdampak virus corona, dengan jumlah kematian sudah melebihi 1.400 orang hingga akhir pekan kemarin.
Perbedaan antara istilah “lockdown” dan “social distancing” telah membuat kebingungan banyak warga, termasuk di Australia dan Indonesia.
Ketidakpahaman soal definisi keduanya juga membuat kepanikan yang berlebihan.
Warga takut jika “lockdown” diberlakukan, mereka tidak bisa lagi berbelanja kebutuhan hidup, sehingga mereka memborong barang-barang di supermarket karena merasa panik.
Dengan memahami perbedaan kedua istilah ini, kita bisa menerapkan tindakan mana yang lebih efektif untuk mencegah penyebaran virus corona, tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, tapi juga memikirkan kondisi kesehatan orang lain. (abc.net.au)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...